Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu risiko terberat memiliki hemofilia atau kelainan pembekuan darah adalah menjadi penyandang disabilitas. Musababnya, pasien Hemofilia kerap mengalami pendarahan pada beberapa anggota tubuh yang memiliki fungsi gerak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Spesialis Anak Novie Chozie Amalia mengatakan, pada pasien hemofilia dengan derajat berat, di mana faktor pembekuan darahnya hanya satu persen, maka rata-rata episode terjadinya pendarahan bisa seminggu sekali, terutama di persendian. "Tidak adanya faktor pembeku darah dapat merusak persendian sekaligus otot ketika terjadi pendarahan," kata Spesialis Anak Konsultan Hematologi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu dalam diskusi daring "Masa Depan Hemofilia di Indonesia" pada Selasa, 26 April 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejala pendarahan pada pengidap hemofilia antara lain area persendian sering bengkak atau tubuh memar. Bila tidak berobat, maka persendian dan otot yang rusak tidak lagi mampu menopang tubuh. Akibat lanjutannya, pasien hemofilia tidak dapat memegang sesuatu hingga tak bisa berjalan.
Dokter yang juga penyandang hemofilia, Satria Dananjaya asal Kalimantan Timur mengatakan, bentuk lutut kiri dan kanannya berbeda akibat pendarahan yang terjadi di persendian dan otot sekitar lutut saat duduk di kelas IV sekolah dasar, Bentuk yang tidak sama itu membuat keseimbangannya terganggu dan rentan mengalami cedera berulang.
"Saat itu, untuk mengatasi peedarahan di sekitar lutut, saya harus ke Jakarta dan dirawat selama delapan bulan," kata Satria. Tidak hanya berdampak pada fungsi tubuh, Satria juga merasakan dampak hemofilia pada kondisi mentalnya yang sempat drop. "Saya tahu sekali rasanya saat sakit."
Terdapat dua jenis terapi bagi pasien hemofilia. Pertama, terapi secara on demand atau pengobatan yang dilakukan saat pendarahan terjadi. Kedua, terapi profilaksis, yaitu pengobatan yang dilakukan sebelum pendarahan terjadi dan dilakukan secara berkala. "Terapi profilaksis merupakan pencegahan dengan memberikan obat agar tidak terjadi pendarahan yang parah," kata Novie.
Selama ini, terapi yang diberikan kepada pasien hemofilia adalah dengan memberikan faktor pembeku darah dan terapi gen. Namun demikian, tidak semua faktor pembeku darah dapat diberikan kepada pasien hemofilia. Pada pasien yang memiliki reaksi imunitas tubuh berbeda atau dikenal dengan inhibitor, faktor pembeku darah tidak dapat bekerja lantaran dianggap benda asing dan dinetralisir secara alamiah oleh tubuh.
Supaya dampak lanjutan Hemofilia tidak merusak fungsi tubuh lainnya, ada beberapa tata laksana pengobatan sekaligus pencegahan. Deteksi dini berupa pemeriksaan faktor pembeku darah melalui laboratorium dapat dilakukan sedini mungkin di fasilitas kesehatan. Bahkan penyakit hemofilia dapat terdeteksi melalui biopsi janin dari usia 8 sampai 12 minggu.
Data Riset Kesehatan Dasar 2020 menunjukkan, hemofilia terjadi pada 1 dari 5.000 sampai 10 ribu kelahiran bayi laki laki. Hemofilia dibawa oleh Gen X, di mana laki-laki hanya memiliki satu Gen X. Bila gen X tersebut membawa kromosom hemofilia, maka tidak ada lagi Gen X lain yang menggantikannya. "Maka terjadilah hemofilia," kata Novie.
Tidak seperti laki laki yang memiliki satu Gen X, perempuan memiliki dua Gen X. Dengan demikian, Hemofilia hampir tidak terjadi pada perempuan. Meski begitu, perempuan rentan menjadi pembawa faktor risiko hemofilia kepada keturunannya. Sebab itu, salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan genetik.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.