Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hutan Gundul, Banjir Muncul

Banjir yang melanda di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan mencatat hampir 100 korban meninggal dan kerugian sekitar Rp 100 milyar. Ratusan hektar tambak udang lenyap serta jalan & jembatan rusak.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

B~ELUM sebulan bencana alam galodo terjadi di Sumatera Barat, musibah ~akibat musim hujan terjadi lagi di Sulawesi Selatan. Bencana di Solok itu makan korban sekitar 35 orang, sedangkan banjir yang melanda Sulawesi Selatan diperkirakan makan korban seratus orang meninggal. Sementara itu, kerugian sekitar Rp 100 milyar. Tak pelak lagi, inilah kerugian paling besar akibat bencana alam. Ratusan hektar tambak udang lenyap tak berbekas. Padahal, untuk satu hektarnya saja, paling sedikit sudah keluar modal Rp 5 juta. Diduga, sektor inilah yang paling terpukul akibat air bah itu, di samping kerusakan puluhan kilometer jalan dan Jembatan. Wilayah yang termasuk paling parah tercatat Kabupaten Polmas (PolewaliMamasa). Hujan deras yang tak henti-hentinya sejak pertengahan Desember menyebabkan penduduk yang tewas paling besar di kawasan ini. Di sepanjang jalan Polmas-Majene bau bangkai ternak menyengat hidung. Hubungan darat dengan kabupaten lain sempat pula terputus di beberapa tempat tertimbun longsoran. Akibatnya, harga bahan pangan melonjak drastis. Beras sekilo terpaksa ditebus dengan harga Rp 2.000,00. Gubernur Sulawesi Selatan A. Amiruddin menilai, banjir saat ini merupakan musibah terbesar yang dialami daerahnya. Sebab, selain Polmas rusak berat, Kabupaten Majene, Pinrang, Barru, Maros, Pangkajene Kepulauan, dan Enrekang ikut pula digasak air. Menurut Gubernur, penyebab banjir kemungkinan besar adalah perusakan di hulu sungai. Entah itu karena ladang berpindah atau penebangan kayu secara sembrono. Hasilnya tanah gundul, hutan pun rusak, yang menjadi sumber bencana alam. "Akibat bencana itu tidak saja menghambat pembangunan, tetapi juga dapat merusakkan hasil pembangunan yang telah dengan susah payah klta hasilkan, uJar Presiden Soeharto ketika membuka Pekan Penghijauan Nasional (PPN) ke-27 di Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu pekan lalu. Karena itu, Kepala Negara mengingatkan agar kebiasaan berladang berpindah itu diubah. Banjir besar yang makan korban dan kerugian besar pernah terjadi November tahun lalu di Lampung. Ketika itu lebih dari 100 orang mati. Kerugian ditaksir Rp 10 milyar. Itu juga gara-gara pencukuran hutan secara sewenang-wenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus