P~ENEGAK hukum di Medan kesandung akal bulus empat nelayan Malaysia. Sampai akhir pekan lalu, sudah enam bulan mereka kehilangan jejak para penangkap ikan yang memasuki perairan Indonesia secara tak sah itu. Ceritanya: Pertengahan Juni lalu, keempat nelayan asing itu, yang dituduh melakukan penangkapan ikan secara gelap di teritorial Indonesia, disidan~g di Pengadilan Negeri Medan. Hakim menghukum mereka masing-masing 12 bulan penjara atau membayar denda Rp 65 juta. Keempat terhukum - Lim Cong Wah, Kee Woi Nam, Tan Hock Chun, dan Lim San Kak memilih keputusan yang terakhir. Tapi sebelum keputusan dilaksanakan mereka sudah angkat kaki lebih dulu dari Medan. "Mereka kini dinyatakan sebagai buronan," kata seorang penegak hukum. Mengapa keempat nelayan itu bisa raib? Ketika keempat penduduk Desa Hutan Melintang itu - yang ditangkap patroli Bea Cukai di Pulau Jemur, Selat Malaka, 21 November 1986, dan dari perahu mereka disita I ton ikan mentah - diproses untuk diadili, majikan mereka, Tee Tat Hua, datang ke Medan. Ia minta kepada pengadilan agar anak buahnya bisa ditahan di luar. Permintaan itu diperkuat oleh Takwir Hj Din, Konsul Jenderal Malaysia di Medan. "Hua bisa dipercaya," tulis Takwir kepada Pengadilan Negeri Medan. Tapi rekomendasi itu tak digubris pengadilan, kecuali Takwir bersedia jadi penjamin. Takwir tak keberatan. Tapi ia hanya membatasi diri pada kesanggupan menghadirkan terdakwa selama persidangan. Lalu ia menyerahkan jaminan Rp 5 juta ke panitera pengadilan. "Apabila terdakwa tidak hadir pada persidangan, uang ~jaminan disita negara RI," tambah Takwir dalam suratnya. Setelah itu, Takwir minta Tee membikin surat di depan notaris, yang berisi jaminan bahwa para nelayan itu akan hadir di persidangan, tidak keluar dari wilayah RI, dan menanggung biaya perkara. Berdasarkan surat Takwir itulah Hakim Ketua Simanjuntak, yang memeriksa keempat nelayan, awal Februari lalu memerintahkan jaksa mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Sejak itu, keempat nelayan tersebut menjalani tahanan luar. Pada persidangan 11 Juni lalu mereka menyatakan bersedia membayar denda sebesar yang ditetapkan pengadilan. Tapi eksekusi tidak dilakukan pada hari itu juga, karena mereka mengaku tak punya uang. Lalu pengadilan minta mereka membuat surat perjanjian bahwa denda dibayar setelah Tee datang lagi ke Medan. Ternyata, Tee tak muncul-muncul di pengadilan mengantarkan denda. Menurut sebuah sumber TEMPO Tee di hari yang dijanjikan sebenarnya sudah berada di Medan. Karena enggan membayar denda, ia lalu memboyong keempat anak buahnya. Para penegak hukum mencoba menghubungi Takwir untuk minta bantuan. Tapi, kata Konjen Malaysia itu, jaminan yang diberikannya sudah dicabut kembali. Alasannya, jaminan Takwir hanya berlaku sampai akhir persidangan saja. "Di Malaysia, surat jaminan hapus begitu vonis dijatuhkan," begitu penjelasan Konsul Muda Zulkipli Sudin. Siapa yang bertanggung jawab atas larinya keempat nelayan Malaysia itu? Para penegak hukum di Medan kelihatan sama-sama cuci tangan. "Tanggung jawab kami mengadili sampai memvonis saja," kata hakim. "Kami yakin, mereka tidak akan lari, karena dijamin konsulnya," kata Rommel Tarigan, Kasubdit Pidana Kejaksaan Negeri Cabang Belawan. Imigrasi Belawan juga mengaku tak tahu menahu mengenai kaburnya keempat nelayan itu. "Kami baru diberi tahu setelah mereka kabur," kata R. Napitupulu, pejabat di Imigrasi Belawan. Maka, dua pekan lalu Imigrasi Belawan, yang tak mau kehilangan tongkat dua kali, langsung menangkap lagi delapan nelayan Malaysia yang dibebaskan hakim karena masa penahanannya menurut KUHAP telah habis, dan mengirimkan mereka ke lembaga pemasyarakatan Labuhan Deli. Kedelapan nelayan itu ditangkap 2 Juni 1987, atas kesalahan yang sama dengan empat nelayan yang berhasil menjadi buron. Alasannya, "Supaya mereka tidak lari," kata Sofumbowo Larosa, Kakanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara. Ini memang sudah urusan keimigrasian, dan bukan urusan hakim lagi. Tapi Takwir jengkel juga mendengar nasib kedelapan nelayan Malaysia yang ditahan lagi itu. "Ambil mesin ketik," katanya kepada bawahannya. Dan ia langsung mengetik surat protes atas penahanan kembali warganya, yang disampaikan melalui saluran diplomatik kepada pemerintah Indonesia. Monaris Simangunsong, Irwan E. Siregar, dan Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini