Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNJUK rasa seribuan dokter di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin pekan lalu ternyata berhadiah. Tiga hari sebelum demonstrasi, sudah beredar pesan berantai lewat WhatsApp yang menjanjikan ganjaran bagi dokter yang ikut unjuk rasa. "Instruksi PB IDI. Untuk mengikuti aksi damai, Senin 24 Oktober 2016. Seragam Sneli. Daftar segera, wajib. Mendapat 5 SKP," kata Dharmawan Ardi Purnama, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta Utara, dalam pesan WhatsApp kepada anggotanya.
Pesan serupa menyebar di grup WhatsApp "IDI Line Official". Adalah dokter Putra, anggota grup ini, yang menyampaikan ajakan demonstrasi itu. "Sesuai dengan instruksi PB IDI untuk melakukan aksi damai hari Senin, 24 Oktober 2016.... Daftar segera, mendapatkan (5 SKP IDI) dalam ranah pengabdian profesi," kata Putra.
SKP kependekan dari satuan kredit profesi. Sesuai dengan ketentuan Ikatan Dokter Indonesia, setiap dokter wajib mengumpulkan 250 SKP dalam satu periode atau setiap lima tahun. Kredit ini biasanya didapat melalui seminar, simposium, lokakarya, dan pelatihan. Lima SKP setara dengan satu kali mengikuti seminar nasional dengan biaya pendaftaran Rp 1-5 juta.
Dharmawan membenarkan telah mengirim pesan tersebut. Ia mengatakan hal itu merupakan kesepakatan rapat pengurus IDI wilayah DKI Jakarta pada Kamis dua pekan lalu. "Saya hanya meneruskan," ujarnya, Rabu pekan lalu. Adapun Putra tak bersedia menjelaskan maksud dalam pesan tersebut. "Soal SKP itu bisa ditanyakan di IDI wilayah DKI Jakarta," kata Putra.
Para dokter turun ke jalan untuk menolak pendidikan dokter layanan primer (DLP) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Mereka beralasan DLP serupa dengan program studi dokter umum sehingga akan terjadi tumpang-tindih. Kualitas dokter, kata mereka, dapat dikerek dengan program pengembangan keprofesian berkelanjutan yang diadakan IDI. "DLP ini hanya akan menghabiskan uang negara," ujar juru bicara aksi IDI, Agung Sapta Adi.
Menurut Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, DLP merupakan pendidikan profesi yang setara dengan dokter spesialis. Penjelasan undang-undang itu menyebutkan dokter layanan primer diperlukan untuk memenuhi kualifikasi layanan kesehatan di tingkat pertama dalam sistem jaminan kesehatan nasional, sekaligus mengendalikan mutu dan biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter. Dengan perbaikan kualitas dokter pada fasilitas primer, diharapkan jumlah rujukan ke pelayanan tingkat lebih tinggi berkurang.
Menurut Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar IDI Abdul Razak Thaha, aksi para dokter di depan Istana Merdeka merupakan luapan kekesalan terhadap Kementerian Kesehatan yang memaksakan pendidikan DLP. Pemaksaan, kata dia, sudah terjadi sejak pembahasan rancangan undang-undang. "Saat pembahasan, kami sudah menolak," ujarnya Selasa pekan lalu.
IDI menuding pendidikan DLP merupakan pasal susupan dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Abdul Razak ingat betul, saat dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, aturan tersebut belum ada dalam naskah akademik. Program DLP mendadak muncul menjelang rapat paripurna Dewan untuk mengesahkan undang-undang tersebut pada Juli 2013.
Orang yang disebut IDI aktif mendorong pasal tentang pendidikan DLP ke dalam undang-undang adalah anggota staf ahli Menteri Kesehatan, Akmal Taher. Saat itu, dia menjabat Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dan mewakili pemerintah untuk membahas rancangan undang-undang dengan Senayan.
Akmal membantah tudingan bahwa DLP pasal susupan. Ditemui di ruang kerjanya di kantor Kementerian Kesehatan, ia menjelaskan panjang-lebar kronologi pembahasan rancangan undang-undang, tapi menolak dikutip. "Saya tidak ingin berpolemik," katanya Senin pekan lalu.
Abraham Andi Padlan, Ketua Persatuan Dokter Umum Indonesia, organisasi di bawah IDI yang ikut membahas Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, mengatakan mereka tak pernah terlibat dalam pembahasan program DLP. Ia baru mengetahui program itu menjelang rapat paripurna pengesahan undang-undang. "Kami menolaknya, tapi tetap saja dipaksakan," ujarnya.
Bekas anggota staf ahli DPR yang turut menyiapkan rancangan undang-undang tersebut, Laksono Trisnantoro, membenarkan kabar bahwa DLP tidak tertera dalam naskah akademik. Menurut dia, pasal DLP muncul tiga bulan menjelang pengesahan. "Tapi tidak benar juga kalau dibilang tidak pernah dibahas," kata Kepala Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada ini, Rabu pekan lalu.
Para dokter bukannya tak mencoba menempuh jalur hukum. Lewat Persatuan Dokter Umum Indonesia, mereka mengajukan permohonan uji materi pada Oktober 2014. Tapi Mahkamah Konstitusi mengandaskan permohonan itu pada Desember tahun lalu.
Saat gugatan masih bergulir di Mahkamah, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mendeklarasikan implementasi DLP. Pemerintah pun mengizinkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran membuka pendidikan DLP, meskipun peraturan pemerintahnya belum ada. Baru pada Selasa pekan lalu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membahas sinkronisasi rancangan peraturan pemerintah untuk program tersebut.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran membuka pendaftaran pascasarjana DLP secara online pada 25 Juli-6 Agustus 2016. Dokter yang hendak mengikuti program ini minimal harus sudah satu tahun lulus uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter. "Harapannya, dengan program ini, kesehatan masyarakat semakin baik," ujar Rektor Universitas Padjadjaran Tri Hanggono Achmad, Senin pekan lalu.
Universitas Padjadjaran menerima 45 mahasiswa dari berbagai daerah dalam kelas perdana ini. Dekan Fakultas Kedokteran Yoni Fuadah Syukriani mengatakan pemerintahlah yang menanggung biaya kuliah sebesar Rp 13,5 juta per mahasiswa per semester. Kuliah diselenggarakan secara tatap muka dan jarak jauh. Tatap muka dilakukan di kampus Universitas Padjadjaran tiga minggu sekali. "Teorinya di kampus, prakteknya disertai laporan yang dilakukan mahasiswa," katanya.
Ini yang membuat IDI meradang. Bagi mereka, deklarasi dan pembukaan program DLP di Universitas Padjadjaran menunjukkan pemerintah memang tergesa-gesa. Tapi protes keras dari IDI, termasuk demonstrasi para dokter pekan lalu, tak menyurutkan tekad Kementerian Kesehatan. "DLP tetap berjalan karena sudah perintah undang-undang," ujar Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek, Kamis dua pekan lalu.
Tak mau menyerah, fokus IDI kini beralih ke DPR. Pada 27 September lalu, utusan lembaga ini menemui Badan Legislasi DPR, mengusulkan Dewan merevisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Mereka mendapatkan lampu hijau.
"Baleg menanyakan kesiapan kami membuat naskah akademik," kata Ketua Umum Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis. IDI langsung menyanggupinya. Sejak pekan pertama Oktober lalu, mereka ngebut menyusun naskah akademik dengan bantuan sejumlah akademikus dan guru besar bidang kedokteran.
Gerakan memutar IDI tampaknya manjur. Fraksi Partai NasDem dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah memasukkan revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ke usul Program Legislasi Nasional 2017. Usul tersebut mereka ajukan kepada Badan Legislasi pada Senin pekan lalu. "Sudah kami serahkan," ujar Sekretaris Fraksi NasDem Syarif Abdullah Alkadrie.
Rusman Paraqbueq, Danang Firmanto, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo