Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS difteri bermunculan kembali di Indonesia. Tak kurang dari sebelas provinsi dinyatakan mengalami kejadian luar biasa infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae tersebut. Hingga akhir November lalu, tercatat 38 orang meninggal akibat penyakit yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan itu.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek mengatakan lembaganya sudah meneliti penyebab maraknya difteri. "Salah satunya adalah tidak diimunisasi atau imunisasinya tak lengkap," katanya, Senin pekan lalu. Nila mengingatkan masyarakat penolak imunisasi agar sadar bahwa sikap mereka berdampak negatif terhadap kesehatan publik. "Jangan merusak masyarakat lain."
Persoalan imunisasi yang tidak menyeluruh bukan pertama kali ini terjadi. Majalah Tempo edisi 17 November 1984 dalam tulisan berjudul "Imunisasi dan Umur Bayi" mengulas persoalan tersebut. Saat itu angka kematian bayi masih sangat tinggi, yaitu 93 per 1.000 kelahiran. Sangat jauh dibandingkan dengan Singapura yang hanya 15 per 1.000 kelahiran.
Upaya mengerem angka kematian bayi yang menakutkan itu terlihat dari peringatan Hari Kesehatan Nasional di Padang, Sumatera Barat, bertema "Imunisasi Anak Menjamin Generasi Muda Sehat untuk Pembangunan". Profesor Loedin, Ketua Hari Kesehatan Nasional, mengatakan imunisasi atau pengebalan untuk menghadapi penyakit menular akan menjadi program prioritas Departemen Kesehatan.
Program imunisasi dilaksanakan untuk menghadapi enam penyakit "maut": tetanus, tuberkulosis, batuk rejan, polio,difteria, dan campak. Dikenal empat cara yang disebut vaksinasi, yaitu suntikan BCG (untuk menghadapi tuberkulosis), suntikan DPT (menghadapidifteria, pertusis atau batuk rejan, dan tetanus), suntikan campak, dan obat tetes polio.
Saat itu usaha melakukan vaksinasi di Indonesia masih jauh dari target. "Tidak sampai 20 persen," ujar dr Sudiyanto, Kepala Imunisasi Bagian Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sasaran yang semestinya adalah 4 juta bayi berumur 0-1 tahun, hampir 20 juta anak berusia 1-4 tahun, 65,5 juta anak usia sekolah 6-14 tahun, dan lebih dari 36 juta ibu hamil atau berusia subur. "Teknologinya sudah ada, aplikasinya juga mudah, tapi dananya tidak ada," kata Sudiyanto.
Satu paket imunisasi membutuhkan biaya US$ 5. Jadi untuk 4 juta bayi usia 1-4 tahun saja diperlukan dana sekitar Rp 20 miliar. Padahal anggaran program 1984 cuma Rp 6,1 miliar untuk semua paket tadi. Bayangkan, betapa jauhnya kekurangan dana itu.Namun tekad untuk memburu kekurangan itu tak bisa ditunda dan pengerahan dana hampir tak bisa ditawar. "Semahal-mahalnya biaya pencegahan, biaya pengobatan suatu penyakit senantiasa jauh lebih mahal," ujar Sudiyanto.
Berbagai faktor juga menyebabkan daya jangkau imunisasi begitu rendah, di antaranya kurangnya pengertian masyarakat tentang perlunya vaksinasi. Masalah utama muncul di pusat kesehatan masyarakat, yang tersebar sampai ke daerah terpencil. Selain kurangnya tenaga dokter di puskesmas, ujung tombak Departemen Kesehatan itu lebih banyak dianggap sebagai balai pengobatan dan bukan pos pencegahan penyakit.
Departemen Kesehatan merencanakan membina "prokesa" (promotor kesehatan desa), tenaga paramedis yang akan membantu dokter dalam program imunisasi. Tapi dr Kartono Mohamad, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, menyebutkan organisasi kemasyarakatan perlu disertakan seperti dalam program Keluarga Berencana, yang sudah terlihat berhasil. Tanpa itu, masyarakat di desa-desa akan sulit dicapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo