PARA pengamat ekonomi belakangan ini beranggapan tingkat inflasi
mulai menggawat. Itu pula yang, rupanya menjadi topik
pembicaraan dalam sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin pekan
lalu, di Bina Graha. Menteri Penerangan Ali Moertopo seusai
sidang merasa keberatan mengumumkan angka laju inlasi
sekarang. Sebab "bisa dimanipulir orang banyak," katanya.
Tapi Menpen menjelaskan inflasi di Indonesia sekarang sudah
berada pada tingkat yang cukup serius, hingga harus ditangani
secara serius pula. Ujarnya: "Presiden Soeharto sangat
prihatin." Kepala Negara minta agar aparatur pemerintah yang
menangani masalah ini benar-benar mengikuti kebijaksanaan yang
telah diambil untuk mencegah berlarutnya inflasi tersebut.
Selama ini angka laju inflasi biasanya diumumkan seusai sidang
Kabinet atau Dewan Stabilisasi Ekonomi. Angka itu juga bisa
dilihat dalam catatan Biro Pusat Statistik atau Laporan Mingguan
BI. Maka menyusul keterangan Menpen, Menteri Perdagangan &
Koperasi Radius Prawiro setelah diterima Presiden Kamis pekan
lalu, menjelaskan langkah yang akan ditempuh guna mencegah
peningkatan laju inflasi.
Menurut Radius, laju inflasi dari April sampai Agustus 1979
berjumlah 13,94% yang dihitung dengan Indeks Harga Konsumen
berdasar 150 macam barang dan jasa di 17 kota besar. Sedang laju
inflasi Januari-Maret adalah 5,49% yang dihitung berdasar 62
bahan pokok. Ini sedikit berbeda dengan laporan Bank Indonesia
yang menyebutkan laju inflasi selama kwartal pertama 1979 adalah
6,41 %.
Langkah pencegahan yang akan dilakukan antara lain dengan
menekan biaya produksi dan peningkatan efisiensi setelah
kelemahan unit-unit produksi ditemukan. Mengapa laju inflasi
melonjak keras? Di samping pengaruh kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM), menurut Menteri Radius, juga disebabkan kenaikan
harga minyak bumi di pasaran internasional hingga harga bahan
baku yang diimpor juga meningkat. Harga dalam negeri juga
meningkat karena beberapa barang produksi dalam negeri, misalnya
pakaian jadi, sudah menjadi komoditi ekspor.
Radius Prawiro tidak menyinggung pengaruh Kenop-15. Tapi Menteri
Pertambangan dan Energi Subroto dalam suatu wawancara dengan
Suara Karya mengungkapkan 5 sebab tingginya inflasi. Pertama,
Kenop-15 yang merangsang ekspor hingga mengurangi persediaan
beberapa jenis barang di dalam negeri. Andil Kenop-15 pada laju
inflasi diperkirakan sekitar 50%.
Penyebab berikutnya, pengaruh musiman dari Hari Raya Idul Fitri.
Kemudian juga peningkatan harga dasar beberapa hasil pertanian
seperti gabah. Kenaikan harga BBM disebut sebagai penyebab
keempat. Yang terakhir, inflasi impor yang disebabkan kenaikan
harga barang-barang impor.
Menurut Subroto untuk mencegah kenaikan laju inflasi--terutama
menjelang musim paceklik Pebruari mendatang--penyediaan dan
pengamanan barang harus dilakukan sejak sekarang. Untuk mencegah
kelangkaan suplai barang-barang dalam negeri yang terang sang
ekspor diperlukan pengendalian melalui pengenaan pajak ekspor
yang bisa dinaikkan atau diturunkan.
Grup Tertentu
Kemungkinan timbulnya kelangkaan barang juga disinggung Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed pekan lalu. Di samping perlunya
memonitor terus-menerus situasi barang di daerah-daerah, Soehoed
mengusulkan diadakannya sistim pusat-pusat pengadaan. Barang
bisa ditumpuk di pusat ini berdekatan dengan daerah yang mungkin
akan mengalami kelangkaan hingga cepat bisa disalurkan kalau
perlu.
Tapi yang lebih menarik dari keterangan Soehoed agaknya
pidatonya di depan para pengusaha Jawa Tengah di Balaikota Sala
awal September ini. Menurut Soehoed, setelah 10 tahun membangun
tampak gejala kegiatan ekonomi semakin terkonsentrir pada
grup-grup bisnis tertentu saja. Ini menimbulkan distorsi dan
kepincangan yang perlu diluruskan dan dinetralisir. "Saya tidak
menunjuk grup-grup khusus siapa. Tapi kenyataannya nampak ada
satu konsentrasi usaha-usaha pada lingkungan-lingkungan
tertentu. Ini tidaklah kita ingini," katanya. Soehoed cenderung
berpendapat keadaan ini terjadi dengan sendirinya dan bukannya
karena direncanakan.
Keterangan Soehoed ini sempat menimbulkan berbagai tafsiran.
Masyarakat mengira yang dimaksud kelompok pengusaha kuat yang
dekat dengan pemerintah termasuk non-pri. Tapi balon dugaan itu
kempes kembali setelah empat hari kemudian Soehoed menjelaskan
bahwa yang dimasuknya adalah grup dari modal asing dan bukannya
pengusaha Indonesia.
Yang juga sempat menimbulkan "keetan" adalah keterangan Dr.
Arifin Siregar, Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia) pekan lalu. Dalam wawancaranya dengan Berita Buana,
Arifin Siregar antara lain mengharapkan pemerintah mengendorkan
kebijaksanaan moneter agar kegiatan ekonomi tidak lesu. Arifin
Siregar, yang sehari-hari menjabat Direktur Bank Indonesia,
mengungkapkan "Bank Sentral kini setiap tahun harus membayar
bunga sebesar 17% untuk hutang-hutang kita."
Ucapan ini kabarnya sempat disinggung dalam Sidang Kabinet
Terbatas bidang Ekuin pekan lalu. Kamis pekan lalu Berta Buana
memuat penjelasan dan hutan Direktur Bina Humas Departemen
Penerangan Ismael Hassan yang menegaskan pembayaran hutang luar
negeri Indonesia hanya sebesar 14% dari seluruh hasil ekspor. Ia
mengutip pidato kenegaraan Presiden 16 Agustus lalu di depan DPR
yang secara panjang lebar menjelaskan masalah hutang luar negeri
ini.
ISEI kemudian juga mengeluarkan penjelasan. Pinjaman luar negeri
kita menurut ISEI masih tetap dalam batas yang wajar dan tidak
membahayakan kemampuan membayarnya kembali. Pandangan yang
diloncarkan dalam wadah ISEI didasarkan atas pendapat pribadi
dan bukan pendapat anggota yang bersangkutan scbagai pejabat
pemerintah maupun swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini