Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ini Halal, Itu Haram ?

Sejumlah ulama, pejabat, wartawan, diundang pabrik indomie dan pt fsi, produsen susu dancow. hasilnya dua produk itu halal. soufyan daud, diduga sebagai pembuat selebaran makanan berlemak babi.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROF. Ibrahim Hosen menyantap Indomie. "Enak," kata pimpinan Majelis Ulama Indonesia itu sembari menyeka mulut. Peristiwa itu terjadi dua pekan lalu, tatkala sejumlah ulama diundang produsen Indomie ke pabrik mereka, untuk meyakinkan bahwa produk mereka halal. Pekan lalu giliran Sekjen Departemen Agama Tarmizi Taher disuguhi susu Dancow ketika meninjau pabrik PT FSI di Pasuruan, Jawa Timur, bersama sejumlah pejabat, ulama, dan wartawan. PT FSI khusus mencarter pesawat F-28 Pelita Air Service untuk mengangkut rombongan itu. Tanpa ragu-ragu, Tarmizi -- setelah menyaksikan proses pembuatan susu itu menenggak susu yang dihidangkan. Dua peristiwa itu menunjukkan bagaimana besarnya heboh makanan (yang diduga) berlemak babi merebak. Hingga pekan ini, pernyataan, tanggapan, selebaran gelap, komentar, dan imbauan berbagai pihak masih terus saja mengalir. Sebagian menuding Depkes yang dianggap kurang cepat turun tangan meneliti, hingga menyebabkan soal ini meluas tak keruan. Sabtu pekan lalu, Menkes Adhyatma menjawab. Ia menjelaskan, kini Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tengah meneliti susu Dancow. Selanjutnya, juga akan diteliti sekitar 63 produk yang dicurigai mengandung babi. Alhamdulillah, POM bekerja cepat. Senin pekan ini, telah dilaporkan pada Presiden bahwa susu Dancow dan mentega Palmboom, dua dari 63 jenis yang diteliti, dinyatakan halal. Unsur lecitine -- yang dicurigai berasal dari lemak babi -- dalam kedua produk itu "Terbukti terbuat dari lemak nabati atau tumbuh-tumbuhan," ujar Tarmizi Taher pada Antara seusai diterima Presiden. Pengumuman itu tentu saja membuat produsen Dancow lega. Sebab, akibat isu lemak babi ini, penjualan susu itu melorot tajam. Di Jakarta, dua hari setelah isu meletus di koran-koran pada 15 Oktober tak sekaleng Dancow pun terjual. Itulah yang membuat Anthony F. Walker, Presdir PT FSI, panik berat. Untuk menyatakan bahwa produknya halal, FSI sampai perlu mengeluarkan biaya iklan Rp 340 juta. Walker juga sempat mendatangi Menteri Koperasi Bustanil Arifin Senin pekan lalu. Bos susu Dancow itu melaporkan bahwa mulai minggu depan pabriknya tidak akan lagi mengambil susu dari Boyolali, kalau keadaan tak berubah. Artinya, sekitar 71 ribu peternak tak akan bisa menyetorkan susunya ke KUD. Bustanil pun prihatin. Menteri Koperasi itu agaknya membayangkan dampak ekonomi yang akan menimpa sekian ratus ribu anggota keluarga peternak sapi. Untung, Dancow dinyatakan halal, dan pihak FSI sudah menegaskan tak akan mengurangi pembelian dari peternak. Yang masih harus menunggu penelitian ada 61 produk. Beberapa produsen kabarnya mengontak Tri Susanto, dosen Teknologi Pangan Universitas Brawijaya, Malang, yang pertama kali melontarkan "isu babi" itu. Mereka minta Tri mau beriklan untuk merehabilitasikan citra merk dagangnya. Tapi Tri menolak. Rupanya, ia menarik pengalaman dari pemasangan iklan di koran Jawa Pos oleh biskuit Siong Hoe, Senin dua pekan lalu. "Mereka minta pernyataan untuk meyakinkan distributornya, tapi kenyataannya dijadikan iklan," tutur Tri pekan lalu. Doktor teknologi pangan ini tampaknya cukup "tersiksa" oleh hasil penelitiannya. Kini hampir tiap hari ia bolak-balik Malang-Surabaya, antara lain ke POM Kanwil Depkes dan Gapmmi Ja-Tim untuk menjelaskan urusan makanan yang dicurigainya itu. Ketika diwawancarai, ia menolak banyak bicara karena diimbau berbagai pihak. Tri tampaknya sangat kesal dengan adanya upaya pihak ketiga yang memanipulasikan hasil penelitiannya. Dari 34 produk makanan dan minuman yang ditelitinya -- seperti disebutnya dalam majalah Canopy edisi Januari 1988 -- entah oleh siapa telah ditambah menjadi 63 produk makanan. Kini, banyak selebaran yang mencantumkan 63 produk itu sebagai barang yang layak dicurigai atau syubhat (lihat Agama). Tak sedikit yang langsung menyebut "haram". Salah satu pembuat selebaran itu sudah diketahui Tri Susanto. Malah, Tri sudah berkirim surat minta agar, "selebaran itu diralat sesuai dengan aslinya." Yang dimaksud Tri adalah Haji Soufyan Daud, 42 tahun, Kepala Sub-Bagian Penyusunan Anggaran Ditjen Haji, Departemen Agama. Orang Aceh ini memang mengaku membuat selebaran soal makanan haram ini. "Saya terdorong oleh kebingungan umat," ujarnya pada TEMPO pekan lalu. Ketua Badan Pemeriksa Koperasi Pasar Matraman, Jakarta Timur, ini mengaku diserbu pertanyaan pedagang pasar dan warga Aceh jemaah pengajian di Matraman. Maka, setelah membaca Berita Buana edisi 15 Oktober dan koran lain, Haji Soufyan lantas mengetik surat edaran, yang diperbanyaknya 20 kopi dan disebar pada jemaah pengajian. Entah oleh siapa, surat edaran Soufyan sudah tersebar di 107 KK warga Aceh yang tinggal di Matraman. Haji Soufyan menolak anggapan bahwa ia memanipulasikan hasil penelitian Tri Susanto. "Tuduhan itu salah alamat," katanya. Seharusnya, kata Soufyan, Tri menelusuri selebaran itu lewat koran Berita Buana. Ia sendiri, yang mengaku kagum pada Tri, sudah bersurat ke Malang. Isinya: berterima kasih atas ketulusan Tri membuat penelitian yang menyadarkan umat Islam. Tri disarankan meneruskan penelitiannya lewat laboratorium. Upaya pemeriksaan laboratorium itulah yang kini sedang dilakukan di Ditjen POM Depkes. Penelitian dilakukan dengan dua cara: mikroskopik dan gas kromatografi. Pemeriksaan secara mikroskopik dilakukan di 27 provinsi terhadap contoh makanan yang dicurigai. Sedang secara gas kromatografi dilakukan di Jakarta, karena balai POM di daerah belum punya peralatan ini. "Satu sampel biayanya bisa lebih dari Rp 100 ribu," tutur Menkes Adhyatma. Pemerintah agaknya serius menangani soal yang sensitif ini. Dalam pertemuan dengan pers Senin pekan ini di Departemen Penerangan, tak kurang dari lima menteri langsung memberikan keterangan. Menpen Harmoko, yang membuka pertemuan itu, mengingatkan agar pers berhati-hati menulis soal ini. "Terutama yang menyinggung SARA," ujar Harmoko. Toriq Hadad, M. Baharun (Surabaya), A. Thaha, dan Syafiq Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus