SEBUAH sedan terkurung di tengah lautan massa pemuda. Pengemudi mobil diminta turun, sementara seorang demonstran mencoba mengempiskan bannya. Rupanya, pentil ban itu sulit dicabut, kendati anak muda itu sampai keringatan mencoba memutar dan menariknya. Alhasil, "Besss . . .," ban mobil itu kempis, setelah si pemilik mobil dengan sukarela turun tangan menggembosinya. Adegan itu disambut tawa riuh oleh sejumlah pejabat tinggi, termasuk Presiden Soeharto, serta bekas aktivis Angkatan 66, yang bersama-sama menyaksikan pemutaran film Djakarta 1966 di Istana Negara Jumat malam pekan lalu. Acara yang berlangsung santai itu diawali dengan penuturan Presiden mengenai peristiwa sekitar kebangkitan Orde Baru. Runtuhnya rezim Orde Lama terjadi melalui mekanisme yang konstitusional, tutur Presiden Soeharto. MPRS ketika itu memang mencabut kepercayaannya terhadap mendiang Bung Karno. Jadi, Bung Karno jatuh, "Sama sekali bukan oleh kup militer terselubung yang dilakukan TNI," tutur Presiden. Lahirnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966, tutur Kepala Negara, adalah keputusan politik untuk mengatasi keadaan yang serba tak menentu. Konflik pun terjadi, kekuatan PKI berhadapan dengan kekuatan non-PKI. Kekuatan-kekuatan yang ada, kata Presiden, saling curiga, culik-menculik. Sementara itu, keadaan kian memburuk, karena tak ada tindakan tegas untuk meredam sumber konflik. Situasi tak nyaman itu mendorong mahasiswa turun ke jalan, lewat aksi KAMI, yang disusul aksi serupa oleh pelajar dan kelompok lain anti-PKI. Buntutnya, lahir Tritura Tri Tuntutan Rakyat, yang menghendaki pembubaran PKI, pembubaran kabinet, dan penurunan harga. Tritura, kata Presiden, "Menggema di seluruh tanah air dan mendapatkan dukungan rakyat." Pada situasi demikian itu, Supersemar lahir dan digunakan untuk mengatasi keadaan, antara lain dengan membubarkan PKI. Tapi, "Di sinilah ada penilaian seolah-olah keluarnya Supersemar itu karena kekuatan senjata, dengan ujung bayonet di belakangnya, seolah Bung Karno dipaksa menandatanganinya. Tuduhan itu sesungguhnya tidak benar," ujar Kepala Negara. Dituturkan pula oleh Presiden bahwa berbekal Supersemar itu Kopkamtib mengambil tindakan tegas terhadap menteri-menteri yang terlibat dalam aksi G-30-S. Hal ini yang mendorong Bung Karno melakukan reshuffle kabinet. Namun, "Ada penilaian seolah-olah Supersemar itu digunakan untuk membubarkan kabinet. Padahal, sebetulnya tidak demikian," tutur Presiden. Presiden Soeharto prihatin bahwa penafsiran-penafsiran yang dinilai bengkok itu masih didengungkan orang di luar negeri. Bahkan, tutur Presiden, pada sebuah forum terbuka yang dihadiri oleh Ketua MPR/DPR Kharis Suhud beberapa waktu lalu, "Masih ada tetangga kita yang berpendapat bahwa Orde Baru lahir dari kup militer yang sukses." Penilaian itu, "Segera dibetulkan oleh Saudara Kharis Suhud," kata Pak Harto. Kerancuan penafsiran sejarah tersebut, menurut Pak Harto, sumber tidak jauh-jauh: ada dalam negeri sendiri. "Yang disebarkan ke luar negeri." Kharis Suhud mengakui, ketika bertandang ke AS, 10-27 September lalu, pertanyaan sekitar Supersemar itu banyak dia terima. Forum yang dihadiri oleh ketua MPR/DPR ini, antara lain, dengan Asosiasi Indonesia-Amerika, masyarakat bisnis, dan pertemuan tak resmi dengan pengamat Indonesia di Amerika. Mereka yang mempersoalkan Supersemar itu, menurut Kharis Suhud, terkesan sangat dipengaruhi oleh Correll Papers, makalah keluaran Cornell University yang ditulis oleh Ben Anderson dan Ruth T. McVey. Makalah ini sebetulnya hasil riset lama, pada 1966-1967. Akibatnya, ya, cerita-cerita burung itulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini