Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tampillah, Wahai Figur

Sejumlah mahasiswa ugm, yogya, mendatangi gedung dprd yogya menuntut agar nkk/bkk dibubarkan. di itb bandung berlangsung dialog terbuka dengan mendikbud fuad hasan mempertanyakan hak otonomi kampus.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimaklumi bila masyarakat Yogya hari itu heran. Pemandangan seperti itu sudah bertahun-tahun tak pernah tampak. Sekitar 125 orang mahasiswa -- 75 berjalan kaki dan sisanya naik sepeda motor -- Sabtu siang 29 Oktober lalu beramai-ramai mendatangi gedung DPRD Yogyakarta di Jalan Malioboro. Kelompok itu mengatasnamakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Mereka membawa sebuah bendera merah putih. Sembari berjalan, mereka menyanyikan lagu perjuangan dan lagu bernada protes. Sesekali mereka meneriakkan yel-yel: Hidup kampus, hidup mahasiswa, hidup ABRI, dan bubarkan NKK/BKK. Awalnya adalah sebuah diskusi untuk memperingati Sumpah Pemuda, yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Hasil diskusi selama lebih kurang dua jam itu yang dihadiri mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM kemudian dituangkan dalam sebuah pernyataan sikap. Topik yang paling banyak disorot adalah masalah otonomi kampus dengan ketentuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan. NKK/BKK, dianggap alat penguasa untuk memudahkan pengendalian mahasiswa. Akibat cengkeraman NKK/BKK ini, secara tidak langsung otonomi kampus, yang semestinya dimiliki mahasiswa, secara perlahan-lahan tergerogoti. Menurut para mahasiswa itu, hal ini tak boleh berlanjut terus. Maka, diskusi meminta: Kembalikan hak otonomi kampus pada mahasiswa tinjau kembali policy yang bersangkutan dengan NKK/BKK dan kembalikan demokrasi kampus yang bersih dan bebas. Ketiga hal itulah yang mereka tuangkan dalam pernyataan sikap, yang diberi judul: Penegasan Sikap Golongan Muda Mahasiswa UGM. Para peserta diskusi juga sepakat untuk beramai-ramai mendatangi DPRD Yogya segera setelah diskusi berakhir, buat menyampaikan pernyataan sikap itu. Mereka menolak disebut melakukan unjuk rasa. "Kami bukan berdemonstrasi, hanya sowan, kata Untoro Hariadi, 21 tahun, koordinator peringatan Hari Pemuda Mahasiswa UGM. Maka, ramai-ramailah mereka ke DPRD. Di teras gedung DPRD DIY itu mereka diterima oleh Hadidarmodjo, Sekretaris Dewan, didampingi Mayor Abdul Halim, Kasi Intel Korem Pamungkas. Setelah membacakan pernyataan dan menyerahkannya ke Sekretaris Dewan, dengan tertib mereka membubarkan diri. Menggugat otonomi kampus tidak hanya terjadi di Yogya. Sabtu, 5 November 1988, di ITB Bandung berlangsung dialog terbuka antara Menteri P & K Fuad Hassan dan mahasiswa, yang nyaris tanpa titik temu. Fuad Hassan, yang hadir di kampus ITB dalam rangka menutup Pameran Seni Murni '88, bersedia bertemu dengan mahasiswa. Tapi hanya 17 ketua himpunan jurusan ITB yang diizinkan masuk ruang pertemuan. Usai pertemuan, para mahasiswa yang menamakan dirinya Komite Pembelaaan Mahasiswa ITB itu menyerahkan sebuah pernyataan yang berjudul: Sebuah Catatan Buat Fuad. Dalam dialog itu, para mahasiswa mengemukakan, salah satu tendensi berbahaya yang mestinya dihindari adalah tidak diakuinya otonomi universitas. Departemen P & K dinilai terlalu melakukan pengawasan yang menyeluruh terhadap kegiatan dan program universitas. Otonomi universitas, kata para mahasiswa itu, hendaknya tidak dilihat sebagai ancaman bagi pemerintah. Dialog yang juga dihadiri Irjen Departemen P & K R. Sudjoko dan Rektor ITB Prof. Dr. Hariadi Supangkat itu tidak menghasilkan titik temu. "Kami harus mengakui pertanyaan mahasiswa agak impulsif, membuat kami sendiri ragu-ragu terhadap masalah yang kami ajukan," ujar Heradian Yato, 23 tahun, Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Fisika ITB, yang ikut dalam pertemuan itu. Dalam dialog itu, Menteri Fuad berkelit dengan menjelaskan arti istilah-istilah kebebasan mimbar, otonomi kampus, dan sebagainya. Menurut dia, mahasiswa di manapun tidak memiliki kebebasan mimbar akademis, karena hak itu hanya dipegang oleh para guru besar. Kendati begitu, di Indonesia kebebasan mimbar itu lebih longgar dilaksanakan, dengan membolehkan para dosen melakukannya secara mandiri. Setelah sepi selama sekitar 10 tahun, yang dilakukan oleh mahasiswa UGM dan ITB itu menarik perhatian. Selama satu dasawarsa itu, berkat konsep NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), kampus-kampus di Indonesia tenang dan bebas dari politik. Maka, ada yang menghubungkan munculnya kembali kegiatan mahasiswa ini dengan digantikannya lembaga Kopkamtib dengan Bakorstanas dua bulan silam, dengan tugas dan wewenang yang jauh lebih terbatas. Namun, benarkah mereka memang menyuarakan aspirasi -- setidaknya sebagian besar -- mahasiswa di kampus mereka? "Karena kegiatannya di luar kampus, mereka tidak berhak membawa nama Gadjah Mada. Mereka itu mewakili pribadi," kata Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM, pada TEMPO. Menurut Untoro Hadi, gerakan mereka merupakan momentum awal untuk menentukan langkah selanjutnya. Katanya, "Bapak-Bapak jangan khawatir, gerakan kami tidak akan ditunggangi. Gerakan kami murni dan tanpa pamrih." Apakah para mahasiswa itu akan ditindak? "Saya bukan orang yang dengan gampang menjatuhkan sanksi akademis," sahut Koesnadi. "Saya akan berdialog dengan mereka. Dialog antara bapak dan anak," katanya. Ekor aksi turun jalan itu memang ada. Tiga mahasiswa UGM yang dianggap bertanggung jawab terhadap kegiatan itu pekan lalu diperiksa di Polresta Yogyakarta. Antara lain dipersoalkan disebut-sebutnya Khomeini dan Qadhafi dalam lagu protes mereka. Lagu yang berjudul Mengapa Diam itu, dengan syair bikinan sendiri, menyontek lagu Di Sini Senang, di Sana Senang. Nama Khomeini dan Qadhafi dalam lagu itu terdapat pada refreinnya, yang berbunyi: Apa perlu kita panggil Khomeini/Apa perlu kita panggil Qadhafi/Apa perlu kita panggil Koesnadi/Kalau kita tak punya nyali. Bait-bait lagu itu, menurut Untoro, memang agak peka. Maksud mereka yang sebenarnya, kita saat ini kekurangan figur yang mampu menyelesaikan persoalan pendidikan. Jadi, "Kami merindukan figur itu. Jika sekarang ada, tampillah, wahai, figur. Kami merindukan kedatanganmu," ujarnya. Laporan Aries Margono (Yogya) dan Sigit Haryoto (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus