tidak ada pilihan lain
kecuali sebuah kampus INS baru
dengan semangat lama:
kepercayaan pada diri sendiri
(Taufik Ismail)
KESAN dan harapan penyair Taufik lsmail yang datang ke
PalabihanKayutanam 28 Maret 1971 merupakan lantangan bagi
pimpinan Ruang Pendidik INS (RP-INS) Abdul Hamid dan para
alumni. Pada tanggal 31 Oktoher kemarin INS (dulu singkatan dari
Indonesisch Nederlandsche School -- sekarang Institut Nasional
Syafie) sudah berusia 50 tahun. Pimpinan INS dan alumninya telah
menjadi tua. Mereka datang ke Palabihan menghadiri hari jadi
almamater dengan segala kerentaan diri dan semangat perjuangan
yang lindap.
Tapi RP-INS di tahun 1976 ini tidak dapat dianggap tua.
Kehadiran INS di tengah-tengah masyarakat terputus-putus karena
dua musibah besar yaitu "bumi-hangus" tahun 1948
dan"bumiangkat" 1958. Pada tahun 1967 pendiri INS Engku Sjafei
mulai kembali merambah semak-belukar dari komplek Palabihan.
Tetapi ia hanya bisa menyaksikan kelahiran INS yang
ketiga-kalinya selama dua tahun. Tahun 1969 ia meninggal dunia
dan dimakamkan di sebelah makam ibundanya Andung Chalidjah di
tengah-tengah kampus INS.
Pesantren?
Pimpinan RP-INS yang melanjutkan usaha Sjafei untuk mengasuh
Ruang Pendidikan yang "lahir kembali" ini adalah Abdul Hamid.
Sampai tahun 1976 ini bangunan yang dapat dipulihkan di atas
tanah seluas 18 hektar itu baru 3100 M2, sedangkan pada tahun
1937 luas bangunan INS sudah meliputi 5000 M2. Menurut Engku
Hamid sampai sekarang RP-INS masih dalan "tahap-rehabilitasi".
Yang dipulihkan bukan saja bangunan dan fasilitas. tetapi juga
integritas. Dalam keadaan seperti sekarang Ruang Pendidik ini
masih lemah dalam banyak hal. Malahan eksistensinya dipersoalkan
bukan saja oleh orang di luar RP-INS tapi juga oleh para alumni
yang telah tua-renta, nyinyir dan lebih banyak mengganggu dari
pada menolong.
Barangkali karena ihwal seperti ini, pada tanggal 31 Oktober
baru lalu dalam upacara yang diadakan dekat pusara pendirinya
Mohammad Sjafei dan Andung Chalidjah, Engku Hamid menjelaskan
apa itu INS. Kata Hamid, sudah banyak nama julukan yang
diberikan untuk INS. Ada yang menamakan Sekolah Liar, Sekolah
Anak Nakal Sekolah Tukang, Sekolah Gambar dan Musik, Sekolah
Menganyam dan Tanah Liat dan Sekolah Mesin. Akhir-akhir ini ada
pula yang menamakan Sekolah Kerja dan malahan memasukkan INS ke
dalam jenis pesantren. Pokoknya orang menganggap INS sebuah
sekolah dan ini dianggap Pimpinan RP-INS keliru, karena tidak
memahami masalah yang konsepsionil, kata Hamid.
"Sekolah", tutur Abdul Hamid, "hanya menitik-beratkan penguasaan
pelajaran sampai batas tertentu, tetapi pendidikan menyiapkan
anak didik untuk menjadi pribadi yang relatif siap untuk terjun
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya". Atas
dasar pengertian inilah maka Pimpinan INS itu dengan gamblang
mengatakan: "INS bernama Ruang Pendidik, bukan Sekolah".
Pelanjut Sjafei ini juga merasa perlu menjernihkan pengertian
tentang kegiatan pekerjaan tangan di Ruang Pendidik INS. INS
menyatu-padukan pendidikan umum dengan ketrampilan "bukanlah
sekolah kejuruan". Ketrampilan yang diberikan di INS tidak
merupakah vocational training, tetapi manual work. Ia merupakan
alat yang tak dapat dipisahkan, bukan pelengkap. Hamid
mengibaratkan manual work sebagai jari-tangan dari tubuh
manusia, sedangkan vocational training sebagai pensil atau pisau
yang jadi pelengkap tangan.
Kesulitan Terus Menerus
Dengan menoleh pada bekas-bekas murid INS yang berasal dari
daerah Kayutanam dan sekitarnya kebanyakan tidak meninggalkan
kampungnya, tetapi meneruskan usaha orang tua mereka di bidang
pertanian dan pertukangan, maka Hamid tidak cermas anak-didik
INS akan menjadi orang asing dalam masyarakatnya. Malahan ia
yakin anak-didik itu akan menjadi generasi baru "yang lebih
terdidik" dan sekaligus "mencegah urbanisasi".
Meskipun Ruang Pendidik INS telah punya konsep pendidikan yang
jelas untuk menghadapi perkembangan masyarakat dan telah pula
mendidik anak-anak sesuai dengan konsep itu, namun kesulitan
yang serius tetap menghadang. Yaitu kesulitan keuangan yang
terus menerus. Ruang Pendidik ini memerlukan biaya besar, tetapi
di samping itu harus tenggang-rasa dalam memungut
biaya-pendidikan dari siswa-siswanya yang kebanyakan berasal
dari keluarga miskin.
Dalam ruangan pameran diperagakan hasil-hasil dari manual work
INS mulai dari perabot, anyaman, keramik sampai benda-benda
souvenir yang bahannya ada di lingkungan INS. Tentang mutu dan
disain "telah memenuhi selera modern" komentar Zulharrmans Ketua
PWI Jaya yang hadir pada hari jadi INS tersebut bersama
rombongan Dirjen Radio TV dan Film drs. Sumadi yang datang
mewakili Menpen Mashuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini