Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Setelah mas djan berdandan

Sukidjan, 25, dianggap yang berhak atas sebuah pusaka kraton solo yang terpendam di tugu manik ketonggo. anak angkat bupati pati, tidak kenal sawito. mencela sawito yang ambisius dan haus kekuasaan. (ag)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menjelajah hutan Ketonggo, wartawan TEMPO Dahlan Iskan, menemui Mas Djan di Pati yang disebut-sebut sebagai pemilik pusaka di bawah Ketonggo. Di sela-sela kesibukan menerima tamu-tamunya, Mas Djan sempat menyisihkan beberapa jam untuk wawancara. Berikut ini laporannya: INl masih ada hubungannya dengan Sawito. Tampaknya memang seperti lakon wayang saja: ada sebuah pusaka yang hilang, kemudian timbul konflik memperebutkannya. Tapi benarkah kedatangan Sawito di hutan Ketonggo (TEM PO, 16 Oktober 1976) untuk memperebutkan pusaka yang konon terpendam di bawah punden Tugu Manik Ketonggo? Wallahualam. Yang jelas, Sukidjan alias Mas Djan (TEMPO, 13 Nopember 1976) yang disebut-sebut sebagai pemilik pusaka itu mengatakan, tak seoran pun yang bisa mendapatkan pusaka itu . . . Akan hal riwayat pusaka itu sendiri, Mas Djan menceritakan kepada TEMPO begini: Waktu itu, tahun 1963, ia baru berumur 12 tahun sebagai anak angkat bupati Pati M. Sutjipto alm. Pada suatu malam, anak kelas I SMP kelahiran desa Kayen (Pati) ini menerima dawuh dari langit agar keesokan harinya mencari mangga di belakang kabupaten. Di sana memang terdapat pohon mangga jenis gedong yang konon satu-satunya di Indonesia. Tanpa banyak kesulitan, Mas Djan segera melihat sebuah mangga besar tergolek di tanah dekat pohon. Tapi begitu mau diambil, perhatiannya terpana oleh ujung cambuk kuda yang pangkalnya tertanam di tanah. Setelah digali ala kadarnya, tampak sebuah peti antik yang ternyata berisi pakaian kebesaran kraton -- lengkap dengan keris-kerisnya. Kereta Itu Lenyap Tergopoh-gopoh Mas Djan-kecil melaporkan barang itu kepada ayah angkatnya. Bupati Sutjipto kemudian mencoba pakaian itu setelah lebih dulu dicobakan di tubuh Mas Djan. Entah bagaimana, urusan pusaka ini kemudian sampai ke tangan Kejaksaan dan kemudian jadi urusan Kejaksaan Agung di Jakarta. Instansi terakhir inilah yang kemudian memutuskan agar sang pusaka disimpan di museum Yogya. "Berita acara penyerahannya mungkin masih ada di museum", ujar Mas Djan. Kisah pusaka ini ternyata belum berakhir di situ. "Belum sampai satu jam berada di museum, sudah lenyap lagi", tutur Mas Djan. Ia tak bersedia menegaskan di mana pusaka itu sekarang. Tapi kepada Parto Pandan -- juru kunci punden Tugu Manik Ketonggo ia mengatakan, bahwa begitu pusaka lenyap dari museum, Mas Djan mendapat dawuh lagi agar mencarinya di hutan Ketonggo. Begitulah. Tanpa pamit, ia memenuhi dawuh dari langit itu. Dari Pati ia naik bis menuju Ngawi. Begitu turun dari bis ia dijemput oleh kusir sebuah kereta yang mengaku mendapat tugas sebagai penjemput. Tentu saja Mas Djan heran siapa yang menyuruh kusir itu membawanya ke hutan Ketonggo. Lebih heran lagi ketika ia turun dari kereta. Tiba-tiba kendaraan berkuda itu lenyap. Sebagai gantinya, di situ sudah ada seekor kijang yang mengais-ngaiskan mulutnya, seolah-ol mengajak Mas Djan menuruti langkahnya. Dan memang. Mas Djan mengikuti kijang itu sampai ke satu tempat yang bernama Tugu Manik Ketonggo. Konon di situlah pusaka kraton itu kini berad Dan Mas Djan, 17 hari lamanya besemedi di sana .... Kabar itu rupanya menyebar di kalangan khalayak. Menurut cerita Parto Pandan, pernah ada seorang yang punya jabatan lumayan mencoba menggali Tugu Manik Ketonggo itu. Namun yang keluar bukan pusaka, tapi seekor ular besar nan berbisa. Adakah kedatangan Sawito ke Ketonggo juga untuk meraih benda itu? "Tak seorang pun yang bisa mendapatkan pusaka itu", tegas Mas Djan seolah-olah memberi isyarat, hanya dirinyalah yang berhak. "Kalau toh Sawito merasa mendapat sesuatu berupa cahaya-cahaya umpamanya, itu hanyalah palsu", tukasnya. Ia sendiri mengaku tidak kenal Sawito. Namun sebelum Sawito datang di Ketonggo, ia sudah "diberitahu" bahwa Ketonggo akan kedatangan tamu. Menurut Mas Djan, orang tua yang ikut dalam rombongan Sawito tak lain adalah mertua Sawito sendiri, Panji Trisirah orang Sala yang meninggal dua tahun lalu. Konon sang mertua inilah yang mengarahkan Sawito menjadi seorang yang ambisius. "Pak Panji sendiri kan sampai dikeluarkan dari Kraton Solo karena kesalahannya yang tak bisa dimaafkan", tutur Mas Djan. Adakah kesalahan itu berupa pencurian keris yang kemudian dipakai Sawito waktu jadi pengantin? Sukijan tak mau menjelaskan. Menurut Mas Djan kedatangan Sawito di Ketonggo didorong oleh ambisi. "Padahal semedi itu untuk menseimbangkan jiwa. Bukan untuk memenuhi suatu ambisi", tuturnya. "Kekuasaan itu memerlukan pengetahuan yang luas. Ia harus tahu soal-soal hubungan luar negeri, diplomasi dan pemerintahan. Tidak bisa hanya dengan kebatinan. Kecuali kalau yang diperintah itu makhluk halus semua". Begitu pendapat Mas Djan. Masih dalam nada tinggi ia meneruskan: "Dan lagi, pemimpin itu tidak bisa begitu saja tumbuh langsung di atas. Ia harus tumbuh dari rakyat sehingga mengetahui apa saja kesulitan dan kesengsaraan rakyat. Ditinjau dari sudut silsilah pun Sawito tak punya hubungan langsung dengan Kraton Solo. Kalau mau menghubungkan saja, saya masih lebih dekat. Tapi apalah gunanya", ujar Mas Djan. Tampaknya ia memang tidak mempedulikan soal-soal kehebatan. Kegiatannya sehari-hari lehih banyak disibukkan dengan menerima tamu atau bepergian. Banyak tamunya yang kecele, lantaran Mas Djan sedang bepergian ke Jakarta atau Bandung, Sumatera, Kalimantan atau Irian. "Di Indonesia ini tinggal ke Maluku yang belum. Mungkin dalam waktu dekat saya ke Ambon", tuturnya. Tetapi surat dari Kalimantan sudah mendesak dipenuhi lebih dulu. Apa yang diurus Mas Djan? Ia tak bersedia menjelaskan. Tapi sebagian besar tamunya tampak melakukan konsultasi mengenai sesuatu penyakit atau kemelut dalam jiwa. Meskipun hanyak dikunjungi "pasien" hidupnya tak tampak mewah. Kini ia tinggal bersama ayah angkatnya yang baru, di sebuah bangsal kompleks kabupaten Pati. Di zaman sebuah kemerdekaan, bangsal itu kabarnya berfungsi sebagai gedogan -- kandang kuda. Dalam usianya yang 25 tahun sekarang ini Mas Djan masih bujangan. Dan tampaknya ia memang tidak akan kawin. Meskipun ia sudah menamatkan STM jurusan bangunan air, namun fisiknya bukanlah "fisik STM". Gerak-geriknya lebih mirip seorang wanita. Ia gemar menanam bunga, hingga di halaman rumahnya (yang tak lain juga halaman belakang kabupaten) penuh dengan bebungaan. Pagi itu ia baru saja memandikan neneknya yang sudah tua, untuk kemudian menghias diri. Rambutnya yang panjang disisir rapi. Kuku-kuku kakinya dipoles kiteks warna merah tua. Alisnya juga tampak dipertebal dengan alat kosmetik tapi bibirnya dibiarkan tanpa lipstik. Celananya sepanjang lutut (kemudian ganti bray) dan di telapak kakinya terpasang sepasang sandal wanita yang mestinya cocok untuk stelan kebaya ...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus