SETELAH menjelajah hutan Ketonggo, wartawan TEMPO Dahlan Iskan,
menemui Mas Djan di Pati yang disebut-sebut sebagai pemilik
pusaka di bawah Ketonggo. Di sela-sela kesibukan menerima
tamu-tamunya, Mas Djan sempat menyisihkan beberapa jam untuk
wawancara. Berikut ini laporannya:
INl masih ada hubungannya dengan Sawito. Tampaknya memang
seperti lakon wayang saja: ada sebuah pusaka yang hilang,
kemudian timbul konflik memperebutkannya. Tapi benarkah
kedatangan Sawito di hutan Ketonggo (TEM PO, 16 Oktober 1976)
untuk memperebutkan pusaka yang konon terpendam di bawah punden
Tugu Manik Ketonggo? Wallahualam. Yang jelas, Sukidjan alias Mas
Djan (TEMPO, 13 Nopember 1976) yang disebut-sebut sebagai
pemilik pusaka itu mengatakan, tak seoran pun yang bisa
mendapatkan pusaka itu . . .
Akan hal riwayat pusaka itu sendiri, Mas Djan menceritakan
kepada TEMPO begini: Waktu itu, tahun 1963, ia baru berumur 12
tahun sebagai anak angkat bupati Pati M. Sutjipto alm. Pada
suatu malam, anak kelas I SMP kelahiran desa Kayen (Pati) ini
menerima dawuh dari langit agar keesokan harinya mencari mangga
di belakang kabupaten.
Di sana memang terdapat pohon mangga jenis gedong yang konon
satu-satunya di Indonesia. Tanpa banyak kesulitan, Mas Djan
segera melihat sebuah mangga besar tergolek di tanah dekat
pohon. Tapi begitu mau diambil, perhatiannya terpana oleh ujung
cambuk kuda yang pangkalnya tertanam di tanah. Setelah digali
ala kadarnya, tampak sebuah peti antik yang ternyata berisi
pakaian kebesaran kraton -- lengkap dengan keris-kerisnya.
Kereta Itu Lenyap
Tergopoh-gopoh Mas Djan-kecil melaporkan barang itu kepada ayah
angkatnya. Bupati Sutjipto kemudian mencoba pakaian itu setelah
lebih dulu dicobakan di tubuh Mas Djan. Entah bagaimana, urusan
pusaka ini kemudian sampai ke tangan Kejaksaan dan kemudian jadi
urusan Kejaksaan Agung di Jakarta. Instansi terakhir inilah yang
kemudian memutuskan agar sang pusaka disimpan di museum Yogya.
"Berita acara penyerahannya mungkin masih ada di museum", ujar
Mas Djan.
Kisah pusaka ini ternyata belum berakhir di situ. "Belum sampai
satu jam berada di museum, sudah lenyap lagi", tutur Mas Djan.
Ia tak bersedia menegaskan di mana pusaka itu sekarang. Tapi
kepada Parto Pandan -- juru kunci punden Tugu Manik Ketonggo ia
mengatakan, bahwa begitu pusaka lenyap dari museum, Mas Djan
mendapat dawuh lagi agar mencarinya di hutan Ketonggo.
Begitulah. Tanpa pamit, ia memenuhi dawuh dari langit itu. Dari
Pati ia naik bis menuju Ngawi. Begitu turun dari bis ia dijemput
oleh kusir sebuah kereta yang mengaku mendapat tugas sebagai
penjemput.
Tentu saja Mas Djan heran siapa yang menyuruh kusir itu
membawanya ke hutan Ketonggo. Lebih heran lagi ketika ia turun
dari kereta. Tiba-tiba kendaraan berkuda itu lenyap. Sebagai
gantinya, di situ sudah ada seekor kijang yang mengais-ngaiskan
mulutnya, seolah-ol mengajak Mas Djan menuruti langkahnya. Dan
memang. Mas Djan mengikuti kijang itu sampai ke satu tempat yang
bernama Tugu Manik Ketonggo. Konon di situlah pusaka kraton itu
kini berad Dan Mas Djan, 17 hari lamanya besemedi di sana ....
Kabar itu rupanya menyebar di kalangan khalayak. Menurut cerita
Parto Pandan, pernah ada seorang yang punya jabatan lumayan
mencoba menggali Tugu Manik Ketonggo itu. Namun yang keluar
bukan pusaka, tapi seekor ular besar nan berbisa. Adakah
kedatangan Sawito ke Ketonggo juga untuk meraih benda itu? "Tak
seorang pun yang bisa mendapatkan pusaka itu", tegas Mas Djan
seolah-olah memberi isyarat, hanya dirinyalah yang berhak.
"Kalau toh Sawito merasa mendapat sesuatu berupa cahaya-cahaya
umpamanya, itu hanyalah palsu", tukasnya.
Ia sendiri mengaku tidak kenal Sawito. Namun sebelum Sawito
datang di Ketonggo, ia sudah "diberitahu" bahwa Ketonggo akan
kedatangan tamu. Menurut Mas Djan, orang tua yang ikut dalam
rombongan Sawito tak lain adalah mertua Sawito sendiri, Panji
Trisirah orang Sala yang meninggal dua tahun lalu. Konon sang
mertua inilah yang mengarahkan Sawito menjadi seorang yang
ambisius. "Pak Panji sendiri kan sampai dikeluarkan dari Kraton
Solo karena kesalahannya yang tak bisa dimaafkan", tutur Mas
Djan. Adakah kesalahan itu berupa pencurian keris yang kemudian
dipakai Sawito waktu jadi pengantin? Sukijan tak mau
menjelaskan.
Menurut Mas Djan kedatangan Sawito di Ketonggo didorong oleh
ambisi. "Padahal semedi itu untuk menseimbangkan jiwa. Bukan
untuk memenuhi suatu ambisi", tuturnya. "Kekuasaan itu
memerlukan pengetahuan yang luas. Ia harus tahu soal-soal
hubungan luar negeri, diplomasi dan pemerintahan. Tidak bisa
hanya dengan kebatinan. Kecuali kalau yang diperintah itu
makhluk halus semua".
Begitu pendapat Mas Djan. Masih dalam nada tinggi ia meneruskan:
"Dan lagi, pemimpin itu tidak bisa begitu saja tumbuh langsung
di atas. Ia harus tumbuh dari rakyat sehingga mengetahui apa
saja kesulitan dan kesengsaraan rakyat. Ditinjau dari sudut
silsilah pun Sawito tak punya hubungan langsung dengan Kraton
Solo. Kalau mau menghubungkan saja, saya masih lebih dekat. Tapi
apalah gunanya", ujar Mas Djan.
Tampaknya ia memang tidak mempedulikan soal-soal kehebatan.
Kegiatannya sehari-hari lehih banyak disibukkan dengan menerima
tamu atau bepergian. Banyak tamunya yang kecele, lantaran Mas
Djan sedang bepergian ke Jakarta atau Bandung, Sumatera,
Kalimantan atau Irian. "Di Indonesia ini tinggal ke Maluku yang
belum. Mungkin dalam waktu dekat saya ke Ambon", tuturnya.
Tetapi surat dari Kalimantan sudah mendesak dipenuhi lebih dulu.
Apa yang diurus Mas Djan? Ia tak bersedia menjelaskan. Tapi
sebagian besar tamunya tampak melakukan konsultasi mengenai
sesuatu penyakit atau kemelut dalam jiwa.
Meskipun hanyak dikunjungi "pasien" hidupnya tak tampak mewah.
Kini ia tinggal bersama ayah angkatnya yang baru, di sebuah
bangsal kompleks kabupaten Pati. Di zaman sebuah kemerdekaan,
bangsal itu kabarnya berfungsi sebagai gedogan -- kandang kuda.
Dalam usianya yang 25 tahun sekarang ini Mas Djan masih
bujangan. Dan tampaknya ia memang tidak akan kawin. Meskipun ia
sudah menamatkan STM jurusan bangunan air, namun fisiknya
bukanlah "fisik STM". Gerak-geriknya lebih mirip seorang wanita.
Ia gemar menanam bunga, hingga di halaman rumahnya (yang tak
lain juga halaman belakang kabupaten) penuh dengan bebungaan.
Pagi itu ia baru saja memandikan neneknya yang sudah tua, untuk
kemudian menghias diri. Rambutnya yang panjang disisir rapi.
Kuku-kuku kakinya dipoles kiteks warna merah tua. Alisnya juga
tampak dipertebal dengan alat kosmetik tapi bibirnya dibiarkan
tanpa lipstik. Celananya sepanjang lutut (kemudian ganti bray)
dan di telapak kakinya terpasang sepasang sandal wanita yang
mestinya cocok untuk stelan kebaya ...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini