TAK ada papan nama. Tak ada ijazah atau gelar yang akan diberikan kepada para lulusannya. Tak ada pula ujian semester, yang lazim diadakan perguruan tinggi umumnya. Kampusnya pun teramat sederhana: hanya sebuah ruang pertemuan, yang biasa digunakan menerima kedatangan tamu, dengan bangku-bangku ala kadarnya. Ini bukan perguruan tinggi liar, yang mesti dijauhi. Tapi itulah Institut Pengembangan Masyarakat (IPM), yang terletak di pondok pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Sebuah bentuk perguruan tinggi alternatif, yang bertujuan mencetak kader-kader pembangunan masyarakat kelas bawah. Atau, dalam bahasa K.H. Hamam Dja'far, pimpinan pondok Pabelan, IPM yang tak mencari popularitas itu bermaksud meluluskan "ulama cendekiawan yang lebih peka terhadap masalah-masalah sosial". Telah berjalan sekitar 4 bulan, mahasiswa angkatan pertama institut ini 42 orang -- 20 di antaranya wanita. Mereka akan mendapat gemblengan selama empat semester, atau dua tahun. Tutor bertugas menjabarkan lebih jauh mata kuliah yang diberikan oleh dosen tamu -- yang sebutan lokalnya: narasumber. Dan para dosen tamu, tentu saja, orang pilihan. Di antaranya, Muchtar Buchori, peneliti bidang sosial-budaya dari LIPI. Dawam Raharjo, salah seorang pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Nurcholish Madjid, cendekiawan yang antara lain menjadi dosen Pascasarjana di IAIN Syarief Hidayatullah, Jakarta. Lalu, Abdurrahman Wahid, cendekiawan dan Ketua Umum PB NU. Juga Arief Budiman, yang kini bekerja di lembaga penelitian Universitas Satya Wacana, Salatiga. Y.B. Mangunwijaya, pastor dan arsitek yang mengajar di UGM, yang suka menulis novel. Gagasan pertama bentuk pendidikan ini dicetuskan oleh K.H. Hamam. Kemudian memperoleh sosok yang jelas setelah ada diskusi dengan beberapa orang, antara lain Dawam. Makin nyata bentuk lembaga beserta pelaksanaan teknisnya, setelah diadakan dua kali seminar (1974 dan 1984), untuk menyusun kurikulum. Maka, IPM lahir dengan tiga kelompok mata kuliah. Ada kuliah pokok (studi Islam, pengembangan masyarakat, dan informatika), kuliah dasar (misalnya kewiraswastaan, sejarah dan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi). Kelompok ketiga terdiri dari kuliah bahasa Inggris, penulisan laporan ilmiah, metodologi riset, manajemen, dan kepemimpinan. Tapi bukan sebuah lembaga pendidikan alternatif bila kurikulum tersebut tak bisa ditawar. Mahasiswa IPM diberi hak menentukan mata kuliah yang mereka perlukan atau tak mereka perlukan. Hingga, pekan lalu, mungkin karena baru angkatan pertama dan baru berjalan kurang dari setengah tahun, usul menambah atau mengurangi mata kuliah belum ada. Bahkan syarat masuk menjadi mahasiswa direncanakan tak memandang ijazah. Kini memang, semua yang duduk di IPM tamatan Kulliyatul Mu'alimien al-Islamiyah (KMI) -- pendidikan setingkat SMTA -- yang ada di Pondok Pabelan sendiri. Ini semata pertimbangan praktis, agar institut ini bisa mulai diselenggarakan tahun ini. Idealnya, siapa pun akan diterima. Kriterianya cuma satu, dan ini pun sulit mengetesnya, karena yang bersangkutan sendirilah yang bisa tahu: memiliki kemampuan dan motivasi kuat untuk menjadi penggerak atau pemimpin informal. Persyaratan yang bebas ini, menurut Abbas -- jebolan Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, Bandung, yang menjabat Lurah Pabelan, yang kemudian menjadi Direktur IPM -- akan dilaksanakan tahun depan. Dan agar mahasiswa memperoleh pandangan bulat terhadap masyarakat, petani atau tukang kayu pun akan diundang menjadi dosen. Sebab, kata Abbas, arti pembangunan, misalnya, tentu berbeda ditilik dari kaca mata profesor dan petani. Yang boleh dibilang kuliah praktek adalah tugas memotivasi perkumpulan remaja di kampung seputar Pabelan. Maka para mahasiswa punya kesempatan untuk langsung menerapkan ilmunya dalam masyarakat. Mereka memang diharapkan bisa menjadi kader yang siap pakai. Dan kuliah praktek sekaligus merupakan kesempatan untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Kata Abbas, jangan seperti sementara mubalig yang hanya bisa menyoroti masalah susila, dengan contoh terbatas, umpamanya poster film yang menampilkan wanita setengah telanjang. Padahal, menurut Abbas, masalah "susila" itu bisa lebih luas. Seseorang dikota besar yang sekali makan menghabiskan puluhan ribu rupiah hanya untuk memanjakan lidahnya, sementara ada petani yang hanya berpenghasilan Rp 500 sehari, dan itu untuk menghidupi seluruh keluarga, jelas merupakan bahan diskusi tentang "rasa susila" yang sangat menarik. Adapun uang kuliah di IPM mirip yang berlaku di pesantren. Mahasiswa membayar dengan cara mengurusi semua kegiatan di kampus -- yakni dari menyelenggarakan administrasi sampai membersihkan ruangan dan mengisi bak mandi. Dengan dukungan pondok pesantren Pabelan, bantuan dan LP3LS dan P3M (Pendidikan Pengebangan Pesantren dan Masyarakat) yang berkantor di Jakarta, IPM bisa berjalan tanpa harus memungut uang kuliah. Maka, M. Sidiq Berlian, 21, mahasiswa asal Palembang misalnya, merasa senang sekali bisa melanjutkan ke IPM setelah menamatkan KMI. "Sekarang saya makin sadar bahwa dunia ini tidak hanya terdiri atas hitam putih, tetapi sangat kompleks," katanya. Nanti, setamat IPM, ia berniat pulang kampung, untuk membantu masyarakat. Ada kemungkinan, bila kini IPM mula tersebar luas, mahasiswa akan datang dari berbagai penjuru. Hal ini bukannya tak diperhitungkan oleh pihak Pabelan. Padahal sarana yang ada serba terbatas: dari ruang kuliah sampai asrama, dan sebagainya. Tapi bukan lembaga pendidikan alternatif bila masalah ini menjadi persoalan besar. "Bila perlu," kata Abbas, "kuliah bisa dilakukan di ruang tamu rumah penduduk, atau malah di bawah pohon di dalam lingkungan pondok."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini