Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam Jamaah, Setelah Katanya ...

Walau Jakgung melarang ajaran darul hadis/Islam Jamaah, tapi jamaah Lemkari masih mengamalkannya. Mengharamkan makmum sholat pada non-jamaah. Aliran serupa muncul di Sul-Teng, Padang, termasuk Ahmadiyah.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Islam Jamaah, Setelah Katanya ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEBERMULA sederhana saja. K.H. Misbach, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, September lalu diundang Lemkari atau Lembaga Karyawan Dakwah Islam. Dalam acara di Surabaya itu, Pak Kiai dimohon berdoa untuk "pemantapan" anggota Lemkari. Namun, tanpa basa-basi, Misbach menolak hadir. Dia beralasan: Lemkari masih mengamalkan ajaran Darul Hadis. Dan seperti diungkapkan kembali oleh Pak Kiai, 17 tahun lalu Jaksa Agung telah melarang beredarnya ajaran Darul Hadis atau Islam Jamaah di Indonesia. Kemudian, 1972 Lemkari dibentuk, dan bergabung dalam keluarga besar Golkar. Lalu lembaga ini, sekaligus, sebagai tempat penampungan eks pengikut Darul Hadis atawa Islam Jamaah. Dan selama Lemkari di bawah panji Golkar, masyarakat memang tak peduli. Tapi setelah munculnya UU Nomor 3/1985 dan UU Nomor 8/1985 tentang Parpol, Golkar, dan Ormas, barulah Lemkari "digoyang" dan dipertanyakan. Goyangan jadi seru setelah pernyataan Pak Kiai yang tak mau berdoa tadi. Terutama di Jawa Timur, sorotan terhadap Lemkari tak bisa dibendung. Bisa dipahami, karena di provinsi inilah Darul Hadis lahir, yaitu di Pesantren Burengan, Kediri. Di sana Lemkari punya anggota sekitar 50 ribu, suatu jumlah yang memang bukan kecil. Lalu, pada 2 Oktober lalu, sebuah tim dibentuk untuk meneliti kegiatan Lemkari di Kediri, Jombang, dan Kertosono. Tim terdiri dari orang MUI, Departemen Agama, Direktorat Sospol Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Tinggi, Laksusda, dan Polisi (TEMPO, 19 November). Penelitian itu rampung bekerja pada 29 Oktober lalu. Hasilnya? "Tiga pusat pondok Lemkari di Jawa Timur ini masih mengamalkan ajaran Ubaidah," kata Sekretaris Umum MUI Jawa Timur, H.M. Sun'an Karwalip. Ubaidah? Ya, dialah Haji Nurhasan Ubaidah yang pernah menyebut dirinya "Amirul Mukminin pilihan Allah" dan imam Islam Jamaah yang meninggal dalam tabrakan di Cirebon, 13 Maret 1982. Kepada dialah ribuan orang meminta dirinya dibai'at jadi pengikutnya. Ubaidah sendiri ditabalkan jadi imam pada Desember 1941. Ulama dan kaum muslimin agaknya tak lupa pada apa yang terjadi di tahun 1970-an. Ketika itu para pengikut Islam Jamaah getol menyebarkan ajarannya. Para tokoh dan pemuka masyarakat dicoba dirangkul. Sedangkan yang sudah menjadi anggota, selain harus patuh mutlak pada Ubaidah, juga membayar infak (pungutan) 10 persen dari penghasilan. Umumnya jemaah Ubaidah gampang dikenal. Mereka suka bercelana panjang "antibanjir". Mereka juga mengharamkan makmum salat pada orang non-Jamaah. Selain itu, mereka konon diharuskan menyebut "kafir-kitabi" kepada umat Islam lain, karena belum berbaiat. Pengikut juga mesti hanya memakai hadis manqul, yang penyampaiannya, katanya, urut langsung dari Nabi Muhammad hingga kepada sang imam. Tudingan lain: jemaah wanita bersedia memberikan (sialan) "infak badan" kepada sang imam tapi yang ini dibantah mati-matian. Kini, MUI Jawa Timur memilih langkah tegas seperti dulu juga. "Pendirian kami satu, Lemkari harus dibubarkan," kata Kiai Misbach, 74 tahun. Kalau Lemkari dibiarkan dan kegiatannya tetap seperti sekarang, ujar Kiai lagi, "Berarti mereka dibiarkan mendirikan negara dalam negara. Sebab, mereka lebih taat pada amir daripada terhadap orang lain, termasuk pada pemerintah." Sedangkan Ketua DPD Golkar Jawa Timur, Moh. Said, menyatakan, "Saya juga setuju kalau Lemkari dibubarkan." Jauh dari Jawa Tlmur, perkara Lemkari terjadi pula di Kendari, Sulawesi Tengggara. Paling akhir ribut itu muncul ke permukaan sejak Mei lalu. Ketika itu seorang anggota Lemkari menjebolkan beduk Masjid Nurul Taqwa di Desa Lambusa, Kecamatan Konda. Penduduk marah. Dibantu aparat keamanan, mereka menggerebek pusat kegiatan Lemkari d sana. Di Sumatera Barat, Lemkari juga disikut. Yakni dalam perkara membangun Masjid Ulok Karang Selatan, di Kota Padang. Menurut orang-orang di sana, "Mihrab masjid itu mencong, tak lurus ke kiblat di Mekah." MUI Padang berang, lalu melapor ke DPRD. Tapi, menurut Haji Mufit Jamal, pengurus Lemkari setempat, itu gara-gara letak tanah yang tak memungkinkan. "Di dalam kami salat ke kiblat yang sama." Yang paling membikin ramai di Ranah Minang, justru ajaran lain, yang biarpun sama-sama Golkar tapi tak ada hubungannya dengan Lemkari. Yaitu, Jam'iyyatul Islamiyah (JI). Sang imam adalah Haji Karim Djamak. Tapi ada yang membingungkan, karena namanya mirip. Pada 1981, Jamiatu Islamiyah ajaran Darussamin (dia bekas murid Karim Djamak) dilarang Kejaksaan Tinggi. Ini kata Bermana Imsal, pengurus JI Karim Djamak. Tapi, menurut K.H. Zanan Thaib, Ketua MUI Kabupaten Kerinci, Jambi, Departemen Agama setempat pernah meminta Djamak agar menghentikan kegiatannya. Pada 1963, Pangdam Sriwijaya (waktu itu Makmun Murod) pernah melarang kegiatan mereka, yang ketika itu memakai nama Pengajian Urwatul Wusqo. Dilarang rupanya bukan menjadikan padam. Pengikut Djamak malah merebak ke Medan, Jakarta, hingga Ambon. Ditaksir, pengikutnya kini sudah 50 ribuan. Bahwa kemudian, katanya, kegiatan mereka itu meresahkan, penyulutnya sederhana juga. Belakangan, jemaah JI menguasai Musala Ittihadul Muslimin di Kelurahan Datok Tunggulitan, Padang. Mereka menggantikan nama surau itu jadi Iqomatil Islamiah. Surau itu dipakai untuk tempat pengajian mingguan. Pada 11 November lalu, masyarakat di situ mengadu ke Kejaksaan Tinggi. Sebagian "dosa" yang dipaparkan: pengajian itu enggan menampung zakat dari luar. Mereka, katanya, bahkan menyalurkan zakat atau infak itu bukan untuk fakir miskin, tapi dikirim ke Sungai Penuh, Kerinci, pada guru besar dan imam mereka, Karim Djamak. Tudingan pada Djamak agaknya menjadi-jadi setelah keresahan muncul di Dodok Tunggul Hitam, Tanjung Ampalu, Sawahlunto, Sijunjung, dan di Kenagerian Air Haji, Ranah Pesisir. Sekarang kabar yang beredar untuk Djamak: dia mengubah syahadat dengan menghilangkan kata "Muhammad" sehingga tinggal ashadu anna rasulullah, -- "Katakan bahwa aku ini rasulullah." Karim juga disebut menyumpah jemaahnya dengan cara menginjak Quran. Tudingan paling keji bahkan dikemukakan oleh seorang "pihak berwajib" di Ampalu: "Bila berkehendak sang guru berhak pula menggauli perempuan jamaahnya." Tapi Jam'iyyatul Islamiyah menyebut semua tudingan itu fitnah. "Demi Tuhan, kalau saya katakan semua ini, bukan karena saya bekas murid beliau," kata Yatim. Menurut dia, sengitnya tudingan itu berasal dari orang dalam juga. Yakni dari salah seorang murid Djamak, yang pada 1961 bersaing dengan gurunya itu merebut Mardiyah, yang kini jadi istri kedua Djamak. Menurut seorang pejabat kejaksaan Sungai Penuh, tak ada yang aneh di pengajian Djamak. Memang, katanya, Djamak suka membikin kaget-kagetan pengikutnya. Misalnya, dengan mengatakan "babi dan anjing tak haram" dan "beraslah yang haram". Tapi ia menambahkan, "Babi dan anjing baru haram kalau dimakan." Dan beras itu haram kalau dari hasil curian. Djamak sendiri tenang saja menghadapi semua itu. "Biarlah, Tuhan yang Mahatahu," kata Djamak, yang lebih suka mengenakan baju gunting Cina itu. Memang, banyak suara yang mengusulkan agar ajaran Djamak dilarang. Tapi orang-orang Jam'iyyatul Islamiyah optimistis, itu tak akan terjadi. Jumat lalu, Djamak menghadap Jaksa Tinggi Sumatera Barat. "Pak Jaksa menangis," kata dr. Aswin Rose, sekretaris Jenderal organisasi itu. Anggapan boleh saja berlebihan. Tapi seberapa jauh satu ajaran menyimpang, mungkin itu nomor dua. Sedangkan yang jadi pangkal utama sehingga lahir keributan selalu perkara keeksklusifan sebuah kelompok. Bukan hanya pada Lemkari atau Jam'iyyatul Islamiyah pimpinan Djamak, bahkan pada yang sejenis itu. Jemaat Ahmadiyah -- yang pertama muncul bukan di Indonesia -- sering pula tampil ke puncak perbincangan . Setelah umat terbiasa mendengar polemik Muhammadiyah-NU dulu, hadirnya Ahmadiyah memang mengagetkan. Maklumlah, mulanya Mirza Ghulam Ahmad memakzulkan dirinya sebagai nabi terakhir, setelah Muhammad saw. Dan pengikutnya percaya: Mirzalah nabi atau setidaknya orang suci yang harus diturut. Bila di Quran disebut "Ahmad" yang menurut umat Islam adalah "Muhammad", maka orang Ahmadiyah menganggap "Ahmad" itu, ya, Mirza Ghulam. Lahir di Qadian, India, pada 1900, Ahmadiyah cepat menyebar ke berbagai negara yang penduduknya muslim. Belakangan, Ahmadiyah di Lahore menyebal. Mereka merevisi status Ghulam dari "nabi" menjadi "orang suci". Tapi kalangan muslim mengecam Ahmadiyah sebagai gerakan yang ditumbuhkan Inggris yang saat itu menjajah India, agar umat Islam tidak berontak memerdekakan negerinya. Ketika itu, Pak Ghulam sendiri memang berbaikan dengan Inggris. Betapapun dikecam, bahkan dilarang, Qadiani toh masih eksis di Indonesia. Belakangan, yang lebih semarak adalah Ahmadiyah Lahore. Namun menurut kalangan LPPI, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, pada prinsipnya keduanya itu sama. Lahirnya kelompok Lahore, menurut mereka, lantaran keimaman Ahmadiyah tak diwariskan Ghulam pada mereka. Soal Ahmadiyah paling akhir meledak di Parung, Bogor. Warga setempat merasa terganggu kegiatannya. Sedang LPPI, seperti disiarkan koran Terbit, 16 November lalu, menuduh Ahmadiyah memalsukan ayat Quran. Misalnya, kata wa al-quran al-hakim pada Surat Yasin, entah sengaja entah tidak, hilang. "Kalau kaset-kaset dan video saja dibajak, orang ribut, masa Quran dibajak dan dipalsukan tidak diambil tindakan apa-apa," kata Amin Djamaluddin, dari LPPI. Lima tahun lalu, muncul pula apa yang disebut Inkar Sunnah. Berawal dari pemikiran bahwa para periwayat hadis, Bukhari atau Muslim, katanya bisa saja keliru. Lalu begitu anggapan mereka, pegangan satu-satunya bagi umat Islam adalah Quran. Hadis, tidak. Mulanya adanya aliran itu terbetik di Kampung Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Kemudian muncul di berbagai tempat di Jakarta. Tempo hari, di Masjid Asy-Syiva, kompleks Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ada mubalig Inkar Sunnah yang melarang azan. "Karena tidak ada di Quran," katanya. Tapi gara-gara hal serupa, di Pasar Rumput, seorang haji dan lima pengikutnya malah diangkut ke Koramil. Bahkan di Cempaka Putih, rumah Sadiman, penjual bakso, dirusakkan. Yang paling ekstrem dari penafian hadis adalah ajaran Teguh Esha, pengarang novel Ali Topan Anak Jalanan. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat lalu melarang ajaran anak muda ini. Karena "cara salat tak ada dalam Quran", lalu ia ciptakan salat model sendiri dalam bahasa Indonesia -- plus berjurus silat. Bahkan Teguh memaksa istrinya hengkang dari tempat kerjanya, lalu mereka hidup berpindah-pindah. Dalam suratnya pada seorang sahabatnya di TEMPO, waktu itu ia bilang, "Kami hijrah fi sabilillah ke Jawa Barat, karena di Jakarta orang-orang zionis terus memburu kami." Ia pernah ditahan sehari oleh (bukan zionis, tapi) Kodim Jakarta Pusat, Mei 1986. Banyak lagi aliran yang telah mengguncang umat. Di Tangerang, misalnya, ada "masjid seribu pintu" yang dibanjiri jemaah yang diprotes masyarakat. Pembangunan masjid yang, katanya, didasarkan wangsit itu kemudian dihentikan. Di Pekalongan, Nursan terpaksa menginap di kantor polisi setelah ia menjadi "nabi baru". Jebolan kelas satu SD itu mengajarkan salat 68 rakaat sehari semalam -- itulah ajaran yang dinamainya "Kasampurnaning Urip". Ia menyebarkan ajaran itu lantaran "dipesan oleh Eyang" dan "mimpi salat di Mekah." Di Sulawesi Selatan, keanehan sekelompok orang tampak pada setiap musim haji. Mereka tak beribadat haji ke Mekah, tapi cukup ke puncak Gunung Bawakaraeng, dan bertawaf mengelilingi tugu beton triangulasi yang dipancangkan Belanda. Tahun lalu, angin dingin dan hujan lebat menghajar para "haji" itu: 13 orang tewas. Lain pula Aliran Bantaqiyah di Aceh. Merekalah yang paling gagah. Berjubah putih, beserban, mengacungkan pedang dan membawa bendera hijau-merah. Mereka turun ke jalan di Sigli dan Meulaboh memekikkan "Allahu-Akbar." Jenderal L.B. Moerdani, yang waktu itu masih Panglima ABRI, menyebut mereka itu sebagai "orang-orang yang kurang kerja". Bukan hanya ajaran yang diturut sejumlah pengikut dengan taat yang kena jitak kejaksaan. Pemikiran yang rada-rada aneh dan mengagetkan juga kena berangus. Kaset-kaset kuliah agama Nazwar Syamsu, misalnya. Almarhum Nazwar memang gemar astronomi. Lalu ia mereka-reka pikiran, dan mengatakan Nabi Isa terbang ke Venus setelah penyaliban. Di sana, menurut Nazwar Syamsu, yang tinggal di Padangpanjang itu, Nabi Isa lalu beranak pinak. Kasus terakhir adalah pelarangan brosur tasawuf, Ikhtisar Konsep Materi Da'wah Islamiyah dan Ajaran-Ajaran Islam -- ditulis Djailani Darman -- oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan. Dalam buku itu la ilaaha illallah diterjemahkan "Tiada ketuhanan selain Tuhan". Persis seperti dulu pernah dilontarkan Dr. Nurcholish Madjid, staf peneliti LIPI. Tapi mengelompok sendiri, menyebarkan ajaran yang sedikit banyak berbeda dengan yang lazim, sebenarnya tak cuma monopoli orang Islam dan penganut aliran Kepercayaan. Dari lingkungan Kristen juga ada: bersumber dari luar, menyebar di sini, lalu dilarang. Kasus yang pernah muncul adalah ajaran Saksi Jehova, yang menolak Yesus sebagai Tuhan. Ramai pula perkara Children of God -- yang menerjemahkan kasih sebagai kebebasan hubungan seksual. Di Malaysia, pemerintah juga pusing oleh ulah jemaah tertentu. Maka, mereka melarang apa yang dinamakan ajaran Islam Sungsang. Tapi yang unik, walau tak dilarang, adalah Darul Arqam. Jemaah ini membentuk masyarakat terpisah dari umum. Mereka yang selalu berjubah, dan wanitanya bercadar, membentuk permukiman sendiri. Sekarang, model Darul Arqam juga menyebar di Jakarta. Awal November ini, pemerintah Malaysia menyatakan "sungsang" pada Kadiruniyah. Ajaran Naqsabandiyah ini berpusat di Medan, dengan "tuan guru"-nya Kadirun Yahya. Tuan Guru yang profesor ini mengkritik umat Islam yang "tak mampu mengetahui rahasia pelaksanaan menyebut kalimat Allah". Padahal, katanya, dua muridnya berhasil menyiram air kalimah Allah ke Gunung Galunggung yang menggelegak tempo hari, hingga padam. Apakah ajaran-ajaran begitu dilarang? Pelarangan memang sudah banyak. Di Jawa Barat saja yang dilarang sudah 123 aliran. Tapi sering sia-sia: mereka muncul lagi, berbaju baru. Bagaimanapun ajarannya (salah-benar sering tak menjadi soal), betapapun dilarang, para penganutnya tak peduli. Jemaah, taat, membutuhkan guru atau imam untuk "mencari kebenaran". Maka, tokoh pintar, teateral, berkemampuan bicara baik (syukur kalau dia punya kemampuan gaib) selalu diserbu pengikut. Ghulam Ahmad, Nurhasan Ubaidah, Kadirun Yahya, Karim Djamak, bahkan Bung Karno, memiliki syarat itu. Dan paling ekstrem itu pernah terjadi di Guyana: Jim Jones mengajak pengikutnya bunuh diri, dan dituruti bersama. Yang galibnya dipersoalkan -- walau pengikutnya pasti membela mati-matian -- adalah itikad tokoh pujaan itu. Mungkin saja dia "benar ingin menyelamatkan umat". Namun, tak sedikit yang duniawi semata. Yang paling bisa diterima adalah bila motifnya kejiwaan, paranoia, seperti yang ditudingkan pada Teguh Esha: menganggap diri besar. Menghadapi mereka, selama ini pemerintah selalu mengambil langkah gampang: melarang. Cara lain memang pernah ditempuh, yakni mengajukan si tokoh ke pengadilan. Kalau dia memang jelas melanggar hukum, dipidanakan. Tapi melarang dan melarang tak dengan sendirinya menyelesaikan masalah. Sementara itu, Rasulullah pernah bersabda: "Suatu saat umat-Ku akan terbelah menjadi 73 firqah alias golongan. Hanya satu firqah yang menjadi bagianku." Repotnya, umat Islam lalu berlomba membentuk firqah itu, dan masing-masing membanggakan golongannya saja yang benar. Zaim Uchrowi dan M. Baharun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus