Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ia Yang Menunggu

Presiden menolak permohonan grasi terpidana mati Azhar bin Mohammad Safar, 44. Ia divonis mati oleh PN Cirebon. Anggota jamaah Imron ini menolak UUD 1945 dan pancasila.

26 November 1988 | 00.00 WIB

Ia Yang Menunggu
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
AZHAR bin Mohamad Safar, 44 tahun kini tinggal menunggu waktu saja untuk berhadapan dengan regu tembak. Permohonan grasi dari terpidana mati ini telah ditolak Presiden 14 September yang lalu. Keputusan ini telah disampaikan oleh Pengadilan Negeri Cirebon kepada Azhar pada 8 November yang lalu, di tempat ia ditahan, LP Cirebon, Jawa Barat. Saat diadili enam tahun yang lampau, Azhar sempat merepotkan para hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia semula bersikeras meminta untuk diadili sebuah pengadilan Islam. Karena terus bersitegang, hakim ketua, Pitoyo, mengusirnya dari ruang pengadilan, dan persidangan berlangsung tanpa terdakwa. Baru dua pekan kemudian, dalam sidang kedua, ia meleleh dan bersedia diadili oleh pengadilan itu. Ia kemudian mengakui menentang UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Ia menjadi anggota Jamaah Imran, yang terbentuk di Cimahi, Jawa Barat, 1980 dengan Imran -- bekas "preman" dari Medan -- sebagai imam. Mereka bertujuan mendirikan negara Islam. Azhar mengaku melatih anggota Jamaah Imran menggunakan senjata api di rumahnya di Menteng Pulo, Jakarta. Ia pernah menghubungi Kedutaan Iran di Jakarta menawarkan diri untuk menculik Menteri Perminyakan Irak yang akan berkunjung ke Jakarta, Desember 1980. Sebagai tangan kanan Imran, ia pula yang bertugas mengumpulkan dana dan senjata. Dari rumahnya aparat keamanan memang menyita senjata api dan bahan peledak. Maka, pengadilan memberinya vonis mati. Upayanya melakukan naik banding dan kasasi sia-sia, ditolak. Akhirnya, ia mangajukan grasi. Kelompok Imran terkenal setelah Maret 1981, 14 anggota Jamaah Imran dipimpin Salman Hafidz menyerbu pos polisi Cicendo, Bandung, dan menewaskan tiga bintara polisi. Puncak gerakan ini adalah pembajakan pesawat Garuda Woyla di bandar udara Don Muang, Bangkok, Maret 1981, yang menyebabkan tewasnya kapten pilot pesawat itu, Herman Rante, dan anggota Kopasandha, A. Kirang. Beberapa anggota jamaah ini sudah diadili. Imran telah dieksekusi mati Maret 1983. Menyusul Februari 1985, Salman Hafidz menjalani hukuman mati di Cimahi, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus