SAMBUTAN hangat terhadap deklarasi kemerdekaan Palestina dan pernyataan politik PLO 15 November 1988 harus dikaji secara lebih serius. Masih banyak yang harus ditempuh Yasser Arafat dan PLO sebelum bangsa Palestina mencapai cita-cita mendirikan negara yang kukuh di tengah-tengah pergolakan Timur Tengah. Benar bahwa para menteri luar negeri Masyarakat Eropa bersidang 21 November guna menyiapkan sikap politik KTT Masyarakat Eropa, yang bersidang 2-4 Desember mendatang di Pulau Rhodes, Yunani. Pemerintah Yunani bahkan bersedia mendahului keputusan KTT Masyarakat Eropa dengan mengumumkan pengakuannya terhadap Palestina. Kalangan pejabat tinggi Prancis dan Jerman Barat pun menyambut baik kesediaan PLO berunding dengan Israel atas dasar resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB No. 242 (1967) dan 338 (1973), sekalipun kantor-kantor PLO di Eropa Barat tetap berstatus penghubung. Benar bahwa beberapa negara Non-Blok seperti Indonesia, Yugoslavia, Arab Saudi, dan India sudah memberi pengakuan segera terhadap Palestina. Lagi pula, Mesir, yang merupakan negara kunci di Timur Tengah, secara tegas mengaku kemerdekaan Palestina sekalipun ia terikat pada Perjanjian Camp David dengan Israel. Presiden Husni Mubarak bahkan segera menyusun strategi bersama negara-negara Arab dalam usaha memanfaatkan momentum diplomatik yang diciptakan oleh deklarasi Palestina merdeka pekan lalu. Benar juga bahwa Uni Soviet dan Jerman Timur memberi "dukungan penuh" terhadap prakarsa Yasser Arafat, karena hal itu dinilai memajukan proses perdamaian di Timur Tengah. Tetapi Uni Soviet dan Jerman Timur belum juga memberi pengakuan yang diinginkan Palestina. Semua perkembangan tadi sengaja dimaksudkan oleh PLO agar Amerika Serikat dan Israel menerima baik pernyataan politik PLO tentang kesediaannya berunding atas dasar Resolusi 242 dan 338. Bukankah selama bertahun-tahun Amerika Serikat dan Israel meminta itu sebagai dasar untuk mengadakan perundingan? Mengapa Amerika Serikat dan Israel sekarang menolak berunding dengan PLO? Resminya, Amerika Serikat dan Israel meminta "pernyataan tegas dan terbuka" bahwa PLO mengakui Israel, dan agar PLO menghentikan "semua tindak teror" terhadap Israel. Agaknya, ada interpretasi baru tentang Resolusi 242 yang menjamin hak hidup semua negara di Timur Tengah dalam "perbatasan yang mantap dan diakui", serta Resolusi 338 yang menuntut semua pihak yang bersengketa untuk "mencapai penyelesaian menyeluruh atas dasar perundingan". Tugas Yasser Arafat sungguh rumit. Di satu pihak, ia sadar bahwa jalan satu-satunya mencapai Palestina yang merdeka dan kekal adalah dengan mendekatkan strategi PLO dengan visi perdamaian Amerika Serikat tentang Timur Tengah. Tanpa dukungan Amerika Serikat, perundingan apa pun dengan Israel akan kandas. Berbulan-bulan lamanya Arafat berjuang dengan gigih melawan saingan-saingannya dalam tubuh PLO agar "garis keras" ditolak oleh sidang Dewan Nasional Palestina. Hasil pemilu 1 November di Israel dan 8 November di Amerika Serikat memberi peluang baginya bahwa garis "realisme, moderat, dan kenyal" adalah satu-satunya jalan yang layak ditempuh PLO. Arafat akhirnya berhasil, sekalipun sidang Dewan Nasional Palestina di Aljir 12-15 November lalu tidak dihadiri wakil-wakil DNP yang berasal dari Syria dan permukiman Tepi Barat Sungai Yordan. Yaser Arafat juga harus memperhitungkan intifada yang digerakkan secara mandiri oleh pemimpin Palestina di wilayah yang diduduki Israel. Maka, masuk akal kalau pernyataan politik PLO 15 November 1988 pada satu pihak "mengutuk teror dalam segala manifestasinya", tetapi di lain pihak memasukkan rumus kunci "tindak kekerasan oleh rakyat Palestina di wilayah yang diduduki Israel dapat dibenarkan". Bagian kedua pernyataan itulah yang disorot tajam oleh Israel dan Amerika Serikat. Arafat yakin bahwa strategi tekanan diplomatik yang sedang ditempuhnya perlu ditindak-lanjut melalui kampanye diplomatik di Washington, New York, Paris, London, Bonn, dan Roma. Di pusat-pusat keuangan itulah lobi Yahudi harus diyakinkan tentang layaknya garis "realisme, moderat, dan kenyal". Menyadari keberhasilan Arafat menarik simpati di berbagai pusat kota negara Barat, Israel kini tengah melancarkan kampanye tandingan. Medan politik yang dihadapi Arafat bukan hanya Timur Tengah, Eropa Barat, dan Amerika Serikat. Ke dalam, ia menghadapi tiga tantangan yang berat. Pertama, Arafat harus mulai memikirkan secara gamblang dan rinci definisi wilayah Negara Palestina. Ia tahu bahwa masalah pelik tentang perbatasan bukan sekadar masalah Israel, tetapi juga Yordan, Syria, Irak, serta sejumlah negara Arab lain yang merasa harus ikut serta menentukan corak, bentuk, dan luas wilayah Palestina merdeka. Kedua, Arafat harus pandai menjaga keseimbangan puak dalam tubuh PLO yang dipimpinnya. Sekarang ini Al Fatah, induk utama PLO, menguasai sebagian besar posisi penting dalam organisasi yang mewakili 5,5 juta bangsa Palestina di seluruh dunia (termasuk cendekiawan, golongan profesional, dan tenaga terampil di Amerika Utara, Brasil, Argentina). Dewan Nasional Palestina harus dipelihara sedemikian rupa sehingga dalam setiap tahap perjuangan, kesatuan garis "realisme, moderat, dan kenyal" tetap dipertahankan. Itulah sebabnya pernyataan politik 15 November sama sekali tidak menyebut susunan kabinet atau pemerintah Palestina yang seharusnya mengambil alih tugas dewan eksekutif PLO. Ketiga, Arafat harus meyakinkan bangsa Palestina bahwa pada satu saat mereka akan mengakui secara "tegas dan terbuka" hak hidup Israel sebagai negara tetangga. Langkah itu bukan saja akan merupakan keberanian politik yang luar biasa, tetapi juga dasar pelaksanaan Resolusi 242 dan 338 secara lebih kongkret. Amerika Serikat dan Israel seharusnya lebih sadar betapa besar pengorbanan yang sudah ditunjukkan Arafat. Menjelang hari setiakawan rakyat Palestina 29 November, hari ulang tahun pertama intifada 8 Desember, dan ulang-tahun ke-40 hak-hak azasi manusia 10 Desember mendatang rakyat Palestina mengharap kali ini momentum yang dilancarkan 15 November lalu bisa membuahkan hasil yang mereka dambakan. Amerika Serikat dan Israel harus memberi sambutan yang jauh lebih positif daripada sekadar menuntut jaminan keselamatan Israel. Bukankah keselamatan Israel itu tergantung cara Israel dan Amerika Serikat memperlakukan Palestina?***
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini