Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tugas wakil menteri sudah tidak relevan diterapkan karena menteri sudah memiliki beberapa staf ahli dan dilengkapi dengan direktorat jenderal.
Sebagian jabatan wakil menteri dalam kabinet Jokowi diisi oleh barisan partai pendukung pemerintah.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga terdapat jabatan wakil menteri.
JAKARTA – Pengamat politik mengkritik langkah Presiden Joko Widodo yang diduga akan kembali menggemukkan kabinetnya. Indikasi itu terlihat dari terbitnya peraturan presiden yang mengakomodasi jabatan Wakil Menteri Sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mempertanyakan urgensi jabatan Wakil Menteri Sosial padahal Kementerian Sosial kurang strategis. Jabatan Wakil Menteri Sosial terakhir kali diisi di era pemerintahan Presiden Sukarno 1959. Namun Jokowi justru menghidupkannya kembali pada akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangi menilai posisi Wakil Menteri Sosial ini sarat kepentingan politik akomodatif. "Praktik politik akomodatif semacam ini menandakan bahwa Presiden masih merasa perlu melakukan konsolidasi politik, padahal ini sudah di tahun-tahun terakhir masa jabatannya," kata dia, 25 Desember 2021.
Menurut Pangi, tugas wakil menteri sesungguhnya sudah tidak relevan diterapkan dalam pemerintahan pasca-reformasi. Sebab, menteri sudah memiliki beberapa staf ahli serta dilengkapi dengan direktorat jenderal yang membantu merumuskan dan mengeksekusi kebijakan kementerian.
Di samping itu, Pangi menganggap ada beberapa kementerian yang tak mempunyai kerja strategis justru dilengkapi dengan wakil menteri. Ia mencontohkan Kementerian Desa, Kementerian Agama, serta Kementerian Pertahanan.
Pangi juga mempertanyakan penambahan posisi Wakil Menteri Sosial di saat negara tengah menghadapi pandemi Covid-19. Tambahan jabatan wakil menteri ini dipastikan akan berakibat pembengkakan anggaran pegawai di Kementerian Sosial. "Dengan kondisi negara saat ini yang sedang memulihkan diri dari pandemi, juga tidak bijak," ujar Pangi.
Pelantikan dua belas wakil menteri di Istana Negara, Jakarta, 25 Oktober 2019. BPMI Setpres/Kris
Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial pada 14 Desember, yang salah satu isinya mengatur penambahan jabatan Wakil Menteri Sosial. Wakil Menteri Sosial akan bertugas membantu Menteri Sosial merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pencapaian kebijakan lintas unit eselon I di Kementerian Sosial.
Peraturan Presiden Nomor 110 ini juga menghapus Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin serta Badan Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Sosial.
Saat ini, kabinet kerja Jokowi mempunyai 15 wakil menteri di 14 kementerian. Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara diisi oleh dua wakil menteri karena dinilai mempunyai persoalan kerja yang kompleks. Masih ada delapan jabatan wakil menteri yang hingga kini belum diisi.
Sebagian posisi wakil menteri itu dijabat oleh anggota partai politik pendukung pemerintah. Misalnya, Wakil Menteri Pariwisata Angela Tanoesoedibjo, yang merupakan putri Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo; Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga dari Partai Golkar; Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid dari Partai Persatuan Pembangunan; serta Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat John Wempi Wetipo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Lalu Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi, yang merupakan Ketua Umum Pro-Jokowi (Projo)—relawan pendukung Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Aisah Putri Budiarti, menguatkan pendapat Pangi. Aisah mengatakan posisi wakil menteri berdampak banyak pada kerja dan anggaran kementerian. Ia menganggap jabatan wakil menteri berpotensi mempersulit koordinasi internal di kementerian dan antar-kementerian. "Kalau yang mengisi (wakil menteri) tidak memiliki kapasitas yang baik di bidang tersebut," kata Aisah, kemarin.
Ia menjelaskan, jabatan wakil menteri awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 10 undang-undang ini mengatur bahwa presiden dapat mengangkat wakil menteri ketika terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus. Penjelasan pasal ini mengurai bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan anggota kabinet.
Satu tahun berikutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat aturan turunan dari undang-undang itu, yang menetapkan bahwa wakil menteri harus berasal dari pegawai negeri dengan jabatan eselon I. Pada 2011, Yudhoyono merevisi ketentuan tersebut dan menghapus syarat pejabat eselon I.
"Implikasinya, ketentuan posisi wakil menteri melebar dan presiden punya kewenangan besar menunjuk siapa saja," ujar Aisah.
Juru bicara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, mengatakan penambahan kursi Wakil Menteri Sosial merupakan kewenangan Presiden yang diatur undang-undang untuk membantu kerja menteri. "Presiden punya kewenangan itu," kata Masduki, kemarin.
Adapun Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial, Asep Sasa Purnama, menjawab diplomatis saat dimintai konfirmasi mengenai penghapusan Ditjen Penanganan Fakir Miskin. "Kami mengikuti saja baiknya bagaimana," ujarnya.
Politikus PPP, Achmad Baidowi, tak menyoal posisi Wakil Menteri Sosial ini. Ia menilai wajar posisi wakil menteri menjadi wadah untuk mengakomodasi partai politik pendukung pemerintah. "Ini bagian dari kesempatan presiden untuk menjalankan haknya," katanya.
INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo