SI "Gadis Langka Suka", ferry dari Penang Malaysia, Selasa pekan lalu merapat di dermaga pelabuhan Belawan. Disambut wali kota Medan Agus Salim Rangkuti, kedatangan ferry itu menandai pulihnya hubungan laut dua kota yang telah beku sejak 10 tahun silam. Penumpang pelayaran perdana itu adalah rombongan wisatawan yang dipimpin sekretaris kota Penang Lakhbir Singh Chahl, mewakili wali kotanya. Agaknya, sasaran utama pembukaan kembali hubungan laut Belawan-Penang itu untuk menggaet turis ke Medan lebih banyak. Sekalipun lewat bandar udara Polonia, Medan, wisatawan dari Malaysia meningkat terus: dari 15 ribu pada 1981 menjadi 18 ribu tahun berikutnya, lalu naik lagi menjadi 23,8 ribu pada 1983, dan tahun lalu mencapai 40 ribu. Dengan ferry itu diharapkan arus turis semakin deras mengalir ke Sumatera Utara. Dibandingkan tiket pesawat yang Rp 100.000 pulang pergi, ongkos naik ferry - yang menyeberangi Selat Malaka dalam waktu delapan jam - yang cuma Rp 43.700 itu bisa jadi alternatif menarik. "Kalau orang Penang bisa bebas berkunjung ke Medan, kami juga berharap sebaliknya," tambah Hamid Arabi, pengurus Kamar Dagang Penang, kepada TEMPO. Harapan itu tampaknya sukar terlaksana. Terutama karena bagi pelancong Indonesia yang ke luar negeri, sekalipun murah biayanya, dekat jaraknya, terkena kewajiban membayar Surat Keterangan Fiskal (SKF) Rp 150.000. Dengan membayar fiskal, yang jauh lebih mahal dibanding ongkos perjalanan itu, kemungkinan ferry berkapasitas 200 orang itu bisa terancam kosong sekembalinya ke Penang. Ada beberapa pihak mengusulkan adanya keringanan pembayaran fiskal itu, seperti yang berlaku bagi Pulau Batam (Riau) dengan Singapura. Untuk Batam-Singapura, kata Dirjen Pajak Salamun A.T. kepada TEMPO, memang ada aturan tersendiri. Sebab, katanya, banyak penduduk Batam yang bekerja di Singapura. "Jaraknya pendek dan biaya perjalanan sangat murah," tambahnya. Hal yang sama berlaku juga di perbatasan Kalimantan- Malaysia. Ketentuan ini terbatas untuk mereka yang tinggal pada jarak tertentu. "Sedangkan orang-orang dari Belawan ke Penang tentunya pergi berdagang," katanya. "Jadi, mereka mestinya menjadi wajib pajak." KETENTUAN membayar fiskal ke luar negeri Rp 150.000 itu berlaku sejak 15 November 1982, untuk semua orang Indonesia tanpa kecuali, termasuk bayi. "Tujuannya, untuk mendeteksi pajak orang yang bepergian ke luar negeri," kata Salamun. Di samping itu, katanya, juga dimaksudkan untuk mengerem orang untuk pergi ke luar negeri. Namun, Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., dalam suatu seminar nasional hukum pajak di Universitas Padjadjaran, Bandung, pertengahan bulan lalu, menganggap SKF pembayaran pajak di muka sama sekali tidak ada landasannya. Bahkan ia juga menilai, keharusan membayar SKF tanpa pandang bulu -termasuk pegawai negeri yang ditugasi negara, mahasiswa, dan bayi - tidak masuk akal. Mereka tidak tergolong wajib pajak. Karena itu, ia menyaran kan agar SKF dicabut saja atau diberlakukan semacam pungutan tersendiri khusus untuk mereka yang akan pergi ke luar negeri. Tapi, bagi Salamun, SKF itu sah. Pada dasarnya, fiskal itu "uang muka" pajak pendapatan seseorang. Artinya, fiskal yang sudah dibayarkan - berapa kali pun - bisa diperhitungkan dengan pajak penghasilan si wajib pajak. Bahkan, katanya, fiskal ke luar negeri untuk orang yang belum punya penghasilan, seperti bayi atau anak-anak, bisa dikompensasikan dengan pajak ayahnya sebagai wajib pajak. Pembayaran SKF itu, kecuali untuk mengisi kas negara, juga bisa dipakai untuk menjaring apakah seseorang perlu membayar pajak atau tidak. "Bila seseorang sudah membayar pajak penghasilannya, dengan bukti yang jelas, pembayaran fiskal itu bisa diperhitungkan," katanya. Tapi, katanya, kebanyakan orang tidak mau mengurusnya atau tidak tahu cara meminta kembali uang fiskal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini