Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jalur Kilat Menjala Pahala

Cukup dua jam untuk bisa mengaji Alquran. Keindahan membaca tidak terlalu penting.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA, brosur itu dinilai muskil. Masa, belajar membaca Alquran cuma perlu dua jam? Djalaluddin, karyawan BUMN yang pernah mengaji setahun penuh untuk menghafal beberapa surat pendek, merasa penasaran. Bersama rekan sekantornya, ia mencoba mengikuti cara belajar itu. Eh, ternyata berhasil. Dalam tempo dua jam, ia lancar membaca Alquran. ''Pikiran saya ringan sekali menerima pelajaran yang tidak dicekoki hafalan itu," katanya.

Metode belajar mengaji temuan Rosyady, lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, ini tampaknya cukup ampuh. Dibandingkan dengan jurus lain yang ada saat ini, metode yang disebut An-Nuur itu boleh jadi paling kilat. Tengoklah gaya belajar pesantren yang menghabiskan umur bertahun-tahun, atau metode Iqro—selama ini dikenal paling cepat memberikan pemahaman membaca Alquran—yang makan waktu setengah tahun.

Jurus Iqro, yang mencakup enam jilid buku, amat bergantung pada kemampuan murid dan ketelatenan ustad. Dalam tiap jilid, sang guru harus tekun membimbing muridnya. Bila ustad menganggap belum tepat, sang murid harus mengulang pelajaran, sehingga bisa makan waktu sebulan untuk setiap jilid buku.

An-Nuur, sebaliknya, amat ringkas. Dalam dua jam, para santri diberi tiga materi sekaligus: pengenalan huruf hijaiah (setengah sampai satu jam), pengenalan tanda baca (setengah jam), dan sisanya pembacaan surat-surat. Yang menarik, metode yang baru dikembangkan empat tahun lalu ini, kata Rosyady, sering keluar dari pakem yang ada.

Ia memberikan contoh. Dalam pengenalan huruf hijaiah, Rosyady menyamakan bentuk huruf dengan benda. Huruf ta, misalnya, disamakan dengan bentuk mata dan bibir yang tersenyum. Selain itu, berbeda dengan cara konvensional, ia mengajarkan bentuk huruf secara acak. Tujuannya adalah agar muridnya tak sekadar menghafal, tapi benar-benar mengenali huruf. Dalam tahap ini, pelajarannya termasuk perubahan bentuk huruf hijaiah yang berada di depan, tengah, atau akhir kata.

Tahap berikutnya adalah mengenal tanda baca, fatha, kasro, dan doma, yang disambung dengan tajwid. Untuk memudahkan, Rosyady menggolongkan huruf hijaiah dan tanda bacanya dalam analogi ''raja-tentara-rakyat". Semua huruf tanpa tanda baca alias tanpa mahkota digolongkan sebagai ''rakyat". Tanda baca sukun, yang berfungsi mematikan huruf, disebut ''tentara", sedangkan syiddah—tanda baca yang mendobelkan bunyi huruf—disebut ''raja". Tanpa maksud politis, kata Rosyady, ''Dalam metode ini, rakyat selalu tertindas. Ia kalah oleh tentara, sedangkan tentara dikalahkan raja."

Ia menunjuk kata mirrobbihim. Kata yang berasal dari rangkaian huruf minarobihima itu, dengan kaidah tanda baca, berubah bunyinya. Huruf mim dan nun yang ''rakyat" bertemu dengan tanda baca sukun yang ''tentara", maka bunyinya menjadi minar. Namun, karena di depan huruf itu terdapat tanda syiddah, yang ''raja", sukun harus bertekuk lutut, sehingga bunyinya menjadi mirrobbihim.

Ini cara yang menggelitik tapi efektif. Salah satu peserta An-Nuur amat terkesan dengan analogi rakyat yang selalu tertindas itu. Ia menganggap gaya pengajaran ini mudah dipahami sehingga para murid bisa dengan cepat membaca sebaris kalimat Arab. ''Itulah yang dimaksud membaca. Mereka bisa melafalkan bunyi kalimat dengan panjang pendeknya meski tanpa lagu," kata salah satu pengajar An-Nuur.

Maskuri Abdillah, Direktur Pusat Pengkajian Sumber Daya Akademik IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengaku takjub dengan penemuan ini. Bersama beberapa kawannya, alumni Perguruan Tinggi Ilmu Alquran itu pernah mengembangkan jurus sejenis sepuluh tahun lalu. Tapi metode yang dicobanya itu perlu waktu lebih lama. Untuk mengenal huruf dan bisa membaca potongan-potongan huruf Alquran, diperlukan waktu satu setengah sampai dua jam dalam lima kali pertemuan.

Namun, ia punya sedikit kritik. An-Nuur, katanya, tak bisa diterapkan untuk anak-anak. ''Kalau untuk murid SMP ke atas, mungkin efektif," katanya. Selain itu, ia berpendapat, belajar Alquran tak boleh berhenti sebatas bisa membaca, tapi harus berlanjut dengan mempelajari tajwid yang benar dan memahami bahasa Arab sehingga dapat mengerti maknanya.

Idealnya memang begitu. Tapi kegairahan masyarakat mengaji ala An-Nuur patut juga disyukuri. Ratusan orang rela berjejalan mengikuti pelajaran yang murah dan cepat ini. La, dua jam untuk menjala pahala, siapa tidak suka?

Irfan Budiman, Agus Hidayat, Upik Supriyatun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus