DUA berkas laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur diserahkan ke Komnas Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung pada 31 Januari ini. Sekitar 20 nama—termasuk Jenderal Wiranto, para bupati Tim-Tim, pemimpin milisi—disebutkan sebagai pihak yang secara langsung terlibat dalam crime against humanity pascajajak pendapat di Tim-Tim pada Agustus 1999. Sebagian lagi dipersalahkan karena "mengetahui dan tidak melakukan tindakan pencegahan yang efektif" sampai terjadinya pelanggaran hak asasi.
Penyebutan nama itu sendiri mengundang risiko untuk KPP. Tim Advokasi Perwira TNI —Muladi dan Buyung Nasution cs—sudah mengancam akan menggugat KPP ke pengadilan dengan alasan penyebutan nama itu sudah merupakan hukuman untuk para jenderal. Tapi, pembelaan KPP juga sangat masuk akal. Penyebutan nama mereka yang diduga bersalah dilakukan dengan memegang asas praduga tak bersalah, dan penyebutan itu tidak menyimpang dari Undang-Undang Hak Asasi dan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bukankah hasil kerja KPP nanti perlu ditindaklanjuti lagi oleh kejaksaan sebelum mereka yang diduga bersalah dinyatakan sebagai tersangka? Selain itu, KPP perlu mempertanggungjawabkan kerjanya pada masyarakat dengan mengumumkan nama-nama. Akuntabilitas adalah modal utama KPP dalam soal Tim-Tim ini.
Dan pertanggungjawaban KPP tak hanya penting untuk publik dalam negeri. Hasil KPP juga harus bisa meyakinkan masyarakat dunia. Sebab, PBB pun sudah membentuk tim khusus investigasi pelanggaran hak asasi manusia di Tim-Tim (CIET), yang hasilnya sama-sama diumumkan pada 31 Januari ini. Walaupun tidak menyebut nama jenderal, CIET jelas menunjuk "pejabat tertinggi TNI" sebagai pihak yang mengetahui pelanggaran hak asasi di Tim-Tim. Komisi PBB ini bahkan menduga TNI "mengetahui dan menyetujui" pembentukan milisi di Tim-Tim—dan milisi disebut-sebut bertanggung jawab atas "bumi hangus" dan kekerasan di sana. CIET juga merekomendasikan kepada Dewan Keamanan dan Sekjen PBB untuk mengadakan penyidikan lebih lanjut di Tim-Tim guna mencari bahan untuk digelarnya pengadilan internasional hak asasi manusia—yang sejauh ini baru terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.
Maka, apa pun tindakan "memusuhi" KPP—misalnya memerkarakan KPP ke pengadilan—selain mengingkari upaya menegakkan persamaan hukum antara sipil dan militer, sebenarnya hanya mendorong agar para jenderal diseret ke pengadilan internasional. Sebab, jika kelak hasil KPP tidak ditindaklanjuti dengan langkah yang memadai—umpamanya pengadilan lokal yang jujur—sulit bagi para jenderal untuk menghindar dari international tribunal yang digelar PBB. Kalaupun para jenderal kelak mampu berkelit, dan kemudian PBB menjatuhkan sanksi kepada negeri ini, apakah adil jika rakyat banyak harus menanggung "dosa" segelintir orang?
Pilihan yang tersedia memang tak banyak: rekomendasi KPP seharusnya diikuti dengan pengadilan lokal yang terbuka, bebas intervensi, dan adil. Jika hasil pengadilan nanti kredibel dan diterima luas masyarakat internasional, asas ne bis in idem akan berlaku, para jenderal yang sudah dihukum di sini tak bisa lagi diadili di mana pun untuk kejahatan yang sama. Itulah cara terbaik "menyelamatkan" para petinggi TNI dari ancaman hukuman di pengadilan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini