DALAM kasus Bank Putera Multikarsa (BP), pemerintah telah melakukan apa yang harus dilakukan terhadap bank yang keropos, yakni likuidasi. Direktur Utama BP, Masyhud Ali, boleh masygul. Sinivasan sebagai pemegang saham mayoritas bisa saja mengupayakan penyelamatan sampai "titik lobi" yang penghabisan. Hanya, upaya menyelamatkan industri perbankan dua tahun terakhir ini secara pahit telah mengajarkan bahwa ratusan triliun rupiah yang dihamburkan—untuk biaya rekapitalisasi—belum juga memperlihatkan hasilnya. Bahkan, menyelamatkan bank lama-kelamaan seperti memikul beban Sisyphus. Tiap kali seperti akan berhasil, tiap kali gagal lagi.
Sekadar contoh, rekapitalisasi perbankan, yang mestinya selesai akhir 1999, ternyata meleset dari jadwal. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang berwenang menyehatkan perbankan, terkesan tak cukup mampu untuk itu. Becermin pada kasus Bank Bali dan, belakangan, Astra, BPPN tampak kian sulit dipahami dan semakin membingungkan. Lembaga yang dioperasikan oleh kaum profesional muda itu—sebagian besar lulusan luar negeri—tak ubahnya sebuah misteri, atau mirip bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan menimbulkan masalah baru.
Tentu harus ada yang mencegah bencana yang tak perlu terjadi itu. Pergantian kepala BPPN mungkin adalah satu dari sekian upaya pencegahan, di samping pembatasan intervensi dari kelompok-kelompok kepentingan yang tak habis-habis merongrong para pengambil keputusan. Peningkatan transparansi—khususnya dalam merinci pelaksanaan penyehatan perbankan—seharusnya dapat membantu mengidentifikasi tingkat masalah dan kendala pemecahannya. Audit terhadap Bank Indonesia dan terbongkarnya Rp 80 triliun bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tak bisa dipertanggungjawabkan lagi-lagi menunjukkan bahwa di samping penyehatan perbankan tidak lancar, telah terjadi pengucuran BLBI yang tak jelas juntrungannya. Ini berarti selain industri perbankan itu sendiri bermasalah, lembaga yang ditugasi untuk menyelamatkan perbankan—Bank Indonesia dan BPPN—juga bermasalah. Ketidakmampuan BPPN dan tiadanya akuntabilitas di pihak BI bahkan telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat nasional ataupun internasional terhadap lembaga keuangan di negeri ini.
Terkait dengan merosotnya kepercayaan itulah, bisa diposisikan peran IMF yang diduga sangat menentukan vonis mati terhadap Bank Putera. Keterlibatan IMF seharusnya tidak perlu karena dengan CAR yang minus 48,15 persen, BP sungguh tak pantas untuk dibiarkan hidup. Namun, BP masih juga ditempatkan dalam perawatan BPPN selama satu setengah bulan. Kuat dugaan, tanpa tekanan internasional, mungkin perawatan itu akan terus ditolerir, dengan akibat kas negara terkuras lagi. Dampak berikutnya, sektor riil tetap sulit digerakkan dan pemulihan ekonomi makin tertunda.
Mengapa BP kolaps? Bank ini di-rush sebagai dampak dari terbongkarnya kredit macet Texmaco kepada BNI sekitar Rp 9,8 triliun. Tapi, sebab utamanya ialah: 50 persen dari kredit BP yang macet disalurkan ke grup sendiri (Texmaco). Hal ini jelas melanggar ketentuan perbankan, sedangkan BI sebagai pengawas tak pula mampu melacaknya. Kini, dengan 49 bank telah dilikuidasi, sejak sekarang bank yang melanggar prinsip-prinsip prudential (kehati-hatian) harus segera dijatuhi sanksi, dan kalau kolaps, tentu tak perlu ditolong lagi. BI dan BPPN berhak untuk "kejam", bahkan tanpa menghiraukan apa sebabnya dan siapa pemiliknya. Soalnya, perekonomian Indonesia tetap sulit untuk bangkit tanpa disiplin besi seperti ini. Lagi pula, di mana letak keadilan kalau rakyat banyak yang hidupnya sengsara harus ikut menanggung beban yang tercipta gara-gara ambisi segelintir orang kaya raya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini