Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jam Gadang Saksi Bisu Pengibaran Bendera Pertama dan Demonstrasi Nasi Bungkus pada 1950

Jam Gadang di Kota Bukittinggi saksi sejarah perjuangan bangsa, pernah menjadi tempat pertama bendera dikibarkan dan saksi demonstrasi nasi bungkus.

21 Januari 2024 | 15.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana kawasan Jam Gadang yang sepi di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Jumat, 17 April 2020. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota saat ini mulai memberlakukan aturan PSBB setelah mengajukan usulan yang kemudian disetujui oleh Kementerian Kesehatan yang antara lain diputuskan berdasarkan pertimbangan epidemiologis. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jam Gadang lebih banyak dikenal masyarakat sebagai destinasi wisata ketika berkunjung ke Sumatera Barat. Lebih dari itu, Jam Gadang merupakan monumen dan salah satu simbol dari Kota Bukittinggi. Monumen dengan tinggi sekitar 27 meter itu diresmikan pada 25 Juli 1927 atas perintah Ratu Belanda Wilhelmina. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlepas dari keindahannya, Jam Gadang ternyata pernah menjadi saksi bisu beberapa peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Salah satu peristiwa pentingnya adalah pengibaran bendera merah putih sesaat setelah berita proklamasi tersiar. Saat itu, masyarakat Bukittinggi langsung berinisiatif memasang bendera Indonesia di Jam Gadang meski mendapat pertentangan dari tentara Jepang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 1950, Jam Gadang juga menjadi saksi bisu demonstrasi “nasi bungkus”. Dilansir dari jurnal Studi Amerika berjudul; “PRRI Dalam Perspektif Militer dan Politik Reguonal: Sebuah Reinterpretasi” demonstrasi nasi bungkus adalah sebuah respons atas ketidakpuasan massal yang akhirnya mencapai puncaknya pada akhir 1950. Penyebab dari retaknya hubungan antara daerah dan pusat. Konflik tersebut memiliki imbas psikis dalam pelayanan sektor publik.

Sikap pro dan kontra terhadap unsur “co” (federal atau pro-Belanda) dan “non-co” (pro-Republik) juga muncul di lingkaran pegawai dan pedagang kota. Selama ditinggalkan penduduk, kota-kota di Sumatera Barat termasuk Bukittinggi hanya didiami oleh orang Cina dan pegawai federal yang tidak ikut mengungsi imbas dari Agresi Militer Belanda. 

Akhirnya, aset-aset seperti toko dan pasar yang ditinggalkan diambil oleh orang Cina dan pegawai federal. Namun, ketika kedaulatan diserahkan kembali dan penduduk kembali, mereka tidak mau mengembalikan begitu saja tempat-tempat yang sudah mereka diami berdasarkan kontrak dengan penguasa kota sebelumnya. 

Saat itu, masyarakat mengalami puncak ketidakpuasan dan ketaksabaran melihat perilaku pemimpin mereka yang sejak masa kolonial lebih suka berpolitik daripada memperhatikan persoalan nyata yang dihadapi rakyat waktu itu. Padahal, saat itu jembatan-jembatan dan jalan banyak yang hancur, gedung-gedung serta toko-toko dan rumah banyak yang terbakar akibat politik bumihangus di masa perang kemerdekaan.

Keadaan tersebut diperburuk dengan kebutuhan pokok sehari-hari yang belum terpenuhi secara normal. Dikutip dari buku Ensiklopedi Minangkabau (2005), ada akhirnya, Januari 1950 menjadi momentum berdemonstrasi bagi 10.000 penduduk Bukittinggi dan sekitarnya. Mereka berjalan dari arah Jam Gadang menuju Kantor Gubernur Sumatera Tengah. Tak lupa, mereka membawa puluhan spanduk berisi kalimat kekecewaan. Mereka merasa diabaiakan oleh para pemimpin sipil dan militer yang mereka bantu selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Dengan semangat nyata, mereka menamakan demonstrasi tersebut sebagai demonstrasi nasi bungkus. Nasi bungkus dipilih sebagai simbol bantuan mereka pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Sesampainya di Kantor Gubernur, mereka segera menuntut pemerintah untuk bertindak tegas dengan mengembalikan toko kepada pemilik atau penyewa lamanya. Tak hanya itu, mereka meminta pemerintah menunjukkan sedikit penghargaan kepada bekas pejuang gerilya yang telah mandi keringat dan darah untuk kemerdekaan Indonesia. 

Akibat buruknya persoalan politik nasional di tingkat pusat, kelompok militer dan kaum politisi lokal yang dilanda frustasi mencoba mencari jalan keluar sendiri-sendiri dari krisis ekonomi yang dihadapi. Kelompok militer, dalam hal ini, mengambil langkah sendiri dengan mencoba memenuhi kebutuhan logistik dan kesejahteraan prajurit mereka dengan penyelundupan, dan nantinya turut mempertajam konflik regional dan pusat. 

ANANDA RIDHO SULISTYA  | FACHRI HAMZAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus