BENDERA, spanduk dan penjor janur kelapa menghiasi jalan
sepanjang lapangan terbang Ngurah Rai, Denpasar sampai Pertamina
Cottages di Kuta. Konperensi internasional? Bukan. Semuanya itu
untuk manyambut Munas (Musyawarah Nasional) Golkar ke II, 20 --
25 Oktober yang akan dibuka oleh Presiden Suharto.
Diperkirakan sekitar 1500 orang akan hadir. Peserta seluruhnya
1067 orang dari 26 propinsi, sisanya peninjau dari Timor Timur,
rombongan dari Jakarta serta undangan. Untuk bisa menampung
mereka, ruangan Puri Bunga Pertamina Cottage yang berkapasitas
800 orang terpaksa ditambah dengan emperan di kedua sisinya.
Sebanyak 348 kamar hotel kelas menengah dipesan untuk menampung
peserta.
Panitia Munas setempat cukup dibuat repot karena waktu persiapan
yang mendesak. Bali diputuskan sebagai tempat Munas tanggal 27
Setember hingga permintaan pusat itu membuatkami tidak bisa
menolak," kata Soedarmono Sekretaris Panitia pada I Nengah Wedja
dari TEMPO. Semula Medan ditetapkan sebagai tempat Munas, tapi
kemudian diputuskan Bali "untuk memudahkan transportasi
peserta," kata seorang staf skretariat.
Penentuan tempat Munas bukan tanpa perbedaan pendapat. Pada 7
September, 5 anggota Dewan Pembina Pusat Golkar dan pimpinan
eks Kino (Kelompok Induk Organisasi) Golkar, Mas Isman
(Kosgoro), Suhardiman (Soksi), H. Sugandhi (MKGR), Gatot Suwagio
(Gakari) dan Dr. Amino Gondohoetomo (Profesi) mengirim surat
pada Ketua Dewan Pembina Pusat (Wanbinpus). "Berdasarkan
pertimbangan politis, teknis maupun biaya penyelenggaraan,"
mereka menyarankan agar Munas II Golkar diselenggarakan di
Jakarta. Saran ini rupanya ditolak.
Jawatan
Itu bukan satu-satunya perbedaan pendapat. Rapat gabungan
Wanbinpus dan DPP Golkar 30 Agustus lalu di Istana Wapres
Merdeka Selatan juga mengungkapkan kelemahan-kelemahan Golkar
selama ini. Antara lain: belum mengakar pada rakyat, kemampuan
kader terbatas, pengelolaan organisasi birokratis, tokoh-tokoh
Golkar yang berakar pada massa kurang diikutsertakan dalam
mekanisme Golkar dan Golkar terlampau mengandalkan pada bantuan
ABRI dan aparat pemerintah. Selain itu Golkar dinilai belum
mampu bersaing secara sehat dengan kekuatan sospol lainnya
Pimpinan Golkar dianggap kurang berdialog dan berkomunikasi
secara terbuka dan kegiatan operasionil terlampau didasarkan
pada tersedianya biaya.
Struktur organisasi Golkar saat ini oleh kelima anggota Dewan
Pembina Pusat itu dianggap lebih mirip dengan "jawatan" yang
bergerak secara vertikal ke bawah saja dengan gaya menerima
perintah dinas hingga kurang efektif dan berbobot.
Disimpulkan oleh dewan pembina itu bahwa Golkar sampai sekarang
belum menjadi kekuatan sospol yang mandiri dan bersifat
kerakyatan. Bila terus menyandarkan diri pada ABRI dan KORPRI,
Golkar bisa menjadi "aparatur birokratis yang mati dan tidak
mungkin melahirkan gagasan-gagasan baru." Ini bisa membuat
Golkar menjadi "beban bagi ABRI dan KORPRI yang menjurus
terseretnya ABRI ke dalam situasi konflik yang merugikan dan
melemahkan pemanunggalan ABRI dan Rakyat."
Tanggapan itu dilengkapi dengan saran-saran dan pemikiran untuk
konsolidasi dan perbaikan tubuh Golkar.
Itu bukan kritik pertama pada Golkar. Beberapa bulan terakhir
ini, beberapa organisasi eks Kino seperti Kosgoro, MKGR dan
Soksi telah "meningkatkan" kegiatan mereka dan tak lupa juga
menyinggung keadaan Golkar (TEMPO, 15 Juli 1978).
Menyongsong Munas, cabang-cabang Golkar di daerah tingkat I dan
II menyelenggarakan Rapat Kerja Daerah (Rakerda). Terasa ada
keinginan dari banyak cabang untuk lebih adanya tindakan mawas
diri dan meningkatkan prestasi Golkar.
DPD Golkar Sumatera Utara menurut Sekretaris DPD Mahmudin Lubis,
akan meminta lewat Munas agar introspeksi dalam tubuh Golkar
sendiri dilakukan lebih intensif. "Itu bukan karena ada yang
harus ditendang dari dalam lingkungan sendiri, tapi memang
begitulah bila kita semua ingin maju," kata Mahmudin.
Yang menarik adalah hasil Rakerda Golkar Dati I DKI Jakarta yang
menghasilkan beberapa saran dan pemikiran yang mirip dengan
pendapat kelima eks Kino di atas. Misalnya bahwa Golkar sekarang
dianggap kurang mandiri dan mekanisme kerjanya mirip jawatan
dengan ciri-ciri: ada uang ada kerja. Rakerda antara lain
menyimpulkan perlunya menyempurnakan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Golkar.
Tanpa Komentar
Menurut Sugianto, Ketua DPD Jatim, selain penyempurnaan AD dan
ART, struktur organisasi Golkar sekarang akan dirombak dan akan
disesuaikan dengan partisipasi dalam pembangunan bangsa.
Yang menjadi pertanyaan menjelang Munas adalah: Siapa yang bakal
menjadi pimpinan Golkar? Sebab Munas sebagai forum tertinggi di
samping merumuskan program umum juga akan memilih pengurus baru.
Beberapa nama yang disebut sebagai calon ketua umum antara lain
Jenderal Daryatmo dan Jenderal Amirmachmud. Konon sudah ada
konsensus bahwa ketua umum nantinya harus seorang yang
full-timer.
Pimpinan Golkar sekarang tampak enggan memberi keterangan. Ketua
Umum Golkar, Amir Murtono, yang baru pulang mengunjungi beberapa
propinsi, tidak sebagaimana biasanya pekan lalu tak mau bicara
banyak. "Tidak ada komentar," katanya pada TEMPO. "Maaf, saya
terikat pada ethik sebagai panitia pelaksana untuk tidak memberi
keterangan," kata Moerdopo, Bendahara DPP yang menjabat Sekjen,
dan dalam Munas menjadi Ketua Pelaksana.
Tidak semua DPD agaknya sependapat tentang perlunya kepemimpinan
yang baru. Ketua DPD Jatim Sugianto misalnya berpendapat seorang
pemimpin makin tua akan semakin mantab. Maksudnya? "Kalau sering
berganti pimpinan, kegiatan juga tentu akan mengalami hambatan.
Apalagi pergantian pimpinan itu dilakukan karena suka atau tidak
suka," katanya.
Adanya perbedaan pendapat itu toh tidak menimbulkan perbedaan
tekad semua ingin mensukseskan Munas II ini. Menurut kriteria
sukses masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini