Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Seorang Berminat Tinggal

Desa Pemuda Indonesia (DPI) yang merupakan proyek nasional KNPI, gagal. Desa yang dibangun di labuhan batu sum-ut, ditinggalkan para penghuninya karena panen yang gagal dan kondisi tanah yang kurang sesuai.

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES KNPI sudah di ambang pintu 28 Oktober minggu depan, bertepatan dengan ulang tahun ke 50 Sumpah Pemuda. Sementara pro dan kontra sekitar "Pembinaan dan pengembangan generasi muda" belum selesai, salah satu proyek nasional KNPI yaitu Desa Pemuda Indonesia di Lahuhan Batu, Sumatera Utara, ternyata gagal. Di bawah ini laporan wartawan TEMPO, Amran Nasution, yang meninjau ke sana: Jalan-jalan lengang. Rumah-rumah di kompleks pemukiman itu pun tidak memantulkan kehidupan. Sepi dan lesu. Ilalang sudah mulai tumbuh di perkebunan karet. Meskipun pohon-pohon karet sudah setinggi orang, tapi ada kesan bahwa pemiliknya kurang bergairah untuk mengurus. Ini gambaran selintas hila orang memasuki perkampungan Desa Pemuda Indonesia (DPI) di Labuhan Batu, 50 Km dari Rantau Prapat, Sumatera Utara. Berdiri mulai pertengahan tahun lalu, DPI seluas 108 Ha itu semula dihuni 48 KK. Mereka terdiri dari para pemuda yang mewakili 26 propinsi. Proyek nasional KNPI yang bekerjasama dengan P3RSU (Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara) ini kabarnya juga mendapat bantuan Bank Dunia. Awal Oktober lalu, sudah 29 KK yang meninggalkan DPI. Mula-mula bahkan kepala kampungnya sendiri, Zakheus J. Uduas (asal Irian Jaya) dan Saleh Seber (Maluku) yang Nopember 1977 pulang kampung. Sebulan kemudian diikuti oleh KK yang lain. Yang terakhir, bulan lalu, Harmen beserta anak isterinya pulang ke tempat asalnya, Jambi. Rata-rata mereka pulang dengan ongkos sendiri, setelah panen padi gogo. Yang bernasib sial karena tak berduit buat ongkos pulang adalah Effendi, asal Kalimantan Barat. Tapi memang ada beberapa KK yang dipulangkan atas biaya proyek, yaitu mereka yang dianggap gagal sebagal pionir. "Kalau memang ada uang, semua penghuni memang memilih pulang," kata Effendi. Dimakan Babi DPI yang oleh DPP KNPI disebut "proyek monumental" ini, sebulan sebelum bulan Puasa sudah mulai prihatin. Mereka hanya makan gaplek dan singkong. Menurut DPP KNPI, para penghuni memang pernah dilatih bertanam karet, selain padi. Dulu memang pernah dijanjikan, kepada setiap KK diberikan 2 Ha kebun karet, sawah 1 Ha, rumah dan perabotan. Selama 9 bulan sejak pertengahan 1977 mendapat Rp 15.000 sebulan untuk biaya hidup dan pengobatan. Tapi janji bahwa sesampainya di DPI akan diberi uang muka Rp 10.000 ternyata tidak terpenuhi. Apalagi rata-rata mereka bukanlah pemuda tani, melainkan pelajar, pegawai, guru, buruh. (TEMPO, 26 Nopember 1977). Pernah Muchsin Saleh (DKI) dan Issac Willy (Irja), masing-masing kepala kampung dan sekretaris desa, minta bantuan beras kepada Dinas Sosial kabupaten Labuhan Batu. "Beras untuk gelandangan memang ada. Kamu tidak malu disebut gelandangan?" tanya camat Kualuh Hulu, Nurdin Latif. "Tidak. Buat apa sok jaga gengsi padahal anak-anak kelaparan?" ujar Willy. Mereka berhasil. Dinas Sosial dan Dolog Sumatera Utara turun tangan. Begitu pula DPP KNPl. Kesulitan mereka ternyata bukan soal pangan saja. Balai Desa, KUD dan Poliklinik yang menurut KNPI "sudah lengkap" ternyata kosong. Penghuni yang sakit lebih sering digotong ke Memang Muda yang berjarak 12 Km atau ke Aek Kenopan, 15 Km. Ongkos pengobatan pun dari kantong sendiri. Awal bulan ini, seperti diakui oleh Amaludin Nasution, Kordinator Teknis Proyek, seorang anak yang sakit keras terpaksa dibawa ke Kisaran yang jauhnya 70 Km. Biayanya? Ditanggung oleh P3RSU. "Yah terpaksa kumpul-kumpul uan dari teman-teman," kata Amaludin. Ini semua agaknya lantaran para penghuni tak bisa berdikari seperti diharapkan semula setelah 9 bulan disubsidi. Panen akhir tahun kemarin gagal. Sawah 2 Ha yang mereka garap ternyata hanya menghasilkan rata-rata 1,2 ton. Hanya beberapa KK yang berhasil memetik sebanyak 4 ton. Sebenarnya ini cukup untuk persediaan setahun. Tapi kebanyakan menjual padinya untuk keperluan hidup termasuk modal mengolah tanah untuk bertanam palawija. Malangnya, panen palawija, Juni lalu, juga gagal. Habis dimakan babi hutan. Tanahnya pun kabarnya kurang sesuai. Angkat Tangan Pihak P3RSU sendiri, yang oleh DPP KNPI diserahi menangani DPI, celakanya juga sudah angkat tangan. Agustus lalu Rahman Rangkuti, manajer P3RSU menulis ke kantor KNPI di Jakarta: "Kami sudah tak punya kemampuan memecahkan krisis pangan di DPI." Kepada TEMPO, Amaludin Nasution bahkan menyatakan "Kami sudah angkat tangan. Sekarang terserah kepada DPP KNPI." Anggaran pengolahan tanah sebanyak Rp 12 juta, biaya perbaikan Poliklinik Rp 3 juta dan bantuan beras serta uang untuk tiap KK, sampai bulan kemarin dikatakan belum direalisir oleh DPP KNPI. Padahal mestinya sudah harus dicairkan April lalu. "Tanpa biaya, apa yang bisa kami perbuat?" ujar Amaludin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tak sedikit para penghuni yang menjual radio, kursi, termasuk sepeda sumbangan Presiden Soeharto ketika mula-mula mereka masuk DPI. Bantuan Presiden yang lain, yaitu 2 buah traktor mini, bahkan tak ketahuan ke mana. Ada yang bilang, traktor itu dimanfaatkan oleh Sorta Ginting, ketua DPD KNPI Labuhan Batu. Tapi menurut Sorta, mulanya ia berusaha menyewakan traktor itu untuk mencari dana. "Tapi belum apa-apa sudah rusak," katanya. Satu dan lain hal, katanya, tanah di DPI tidak rata. Ia punya alasan menyewakan traktor, sebab proyek punya hutang Rp 500.000 pada sebuah toko di Aek Kenopan karena bangkrutnya KUD di sana. "Dan hutang itu atas jaminan saya," kilahnya. Sorta Ginting masih sempat bergurau. "Barangkali kelemahan DPI dan cara mengatasinya perlu diseminarkan," katanya. "Tapi DPP KNPI lebih baik bersikap jantan. Akui saja kegagalan DPI dan pulangkan semua penghuninya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus