KONGRES KNPI sudah di ambang pintu 28 Oktober minggu depan,
bertepatan dengan ulang tahun ke 50 Sumpah Pemuda. Sementara pro
dan kontra sekitar "Pembinaan dan pengembangan generasi muda"
belum selesai, salah satu proyek nasional KNPI yaitu Desa Pemuda
Indonesia di Lahuhan Batu, Sumatera Utara, ternyata gagal. Di
bawah ini laporan wartawan TEMPO, Amran Nasution, yang meninjau
ke sana:
Jalan-jalan lengang. Rumah-rumah di kompleks pemukiman itu pun
tidak memantulkan kehidupan. Sepi dan lesu. Ilalang sudah mulai
tumbuh di perkebunan karet. Meskipun pohon-pohon karet sudah
setinggi orang, tapi ada kesan bahwa pemiliknya kurang bergairah
untuk mengurus. Ini gambaran selintas hila orang memasuki
perkampungan Desa Pemuda Indonesia (DPI) di Labuhan Batu, 50 Km
dari Rantau Prapat, Sumatera Utara.
Berdiri mulai pertengahan tahun lalu, DPI seluas 108 Ha itu
semula dihuni 48 KK. Mereka terdiri dari para pemuda yang
mewakili 26 propinsi. Proyek nasional KNPI yang bekerjasama
dengan P3RSU (Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera
Utara) ini kabarnya juga mendapat bantuan Bank Dunia.
Awal Oktober lalu, sudah 29 KK yang meninggalkan DPI. Mula-mula
bahkan kepala kampungnya sendiri, Zakheus J. Uduas (asal Irian
Jaya) dan Saleh Seber (Maluku) yang Nopember 1977 pulang
kampung. Sebulan kemudian diikuti oleh KK yang lain. Yang
terakhir, bulan lalu, Harmen beserta anak isterinya pulang ke
tempat asalnya, Jambi.
Rata-rata mereka pulang dengan ongkos sendiri, setelah panen
padi gogo. Yang bernasib sial karena tak berduit buat ongkos
pulang adalah Effendi, asal Kalimantan Barat. Tapi memang ada
beberapa KK yang dipulangkan atas biaya proyek, yaitu mereka
yang dianggap gagal sebagal pionir. "Kalau memang ada uang,
semua penghuni memang memilih pulang," kata Effendi.
Dimakan Babi
DPI yang oleh DPP KNPI disebut "proyek monumental" ini, sebulan
sebelum bulan Puasa sudah mulai prihatin. Mereka hanya makan
gaplek dan singkong. Menurut DPP KNPI, para penghuni memang
pernah dilatih bertanam karet, selain padi.
Dulu memang pernah dijanjikan, kepada setiap KK diberikan 2 Ha
kebun karet, sawah 1 Ha, rumah dan perabotan. Selama 9 bulan
sejak pertengahan 1977 mendapat Rp 15.000 sebulan untuk biaya
hidup dan pengobatan. Tapi janji bahwa sesampainya di DPI akan
diberi uang muka Rp 10.000 ternyata tidak terpenuhi. Apalagi
rata-rata mereka bukanlah pemuda tani, melainkan pelajar,
pegawai, guru, buruh. (TEMPO, 26 Nopember 1977).
Pernah Muchsin Saleh (DKI) dan Issac Willy (Irja), masing-masing
kepala kampung dan sekretaris desa, minta bantuan beras kepada
Dinas Sosial kabupaten Labuhan Batu. "Beras untuk gelandangan
memang ada. Kamu tidak malu disebut gelandangan?" tanya camat
Kualuh Hulu, Nurdin Latif. "Tidak. Buat apa sok jaga gengsi
padahal anak-anak kelaparan?" ujar Willy.
Mereka berhasil. Dinas Sosial dan Dolog Sumatera Utara turun
tangan. Begitu pula DPP KNPl. Kesulitan mereka ternyata bukan
soal pangan saja. Balai Desa, KUD dan Poliklinik yang menurut
KNPI "sudah lengkap" ternyata kosong. Penghuni yang sakit lebih
sering digotong ke Memang Muda yang berjarak 12 Km atau ke Aek
Kenopan, 15 Km. Ongkos pengobatan pun dari kantong sendiri.
Awal bulan ini, seperti diakui oleh Amaludin Nasution,
Kordinator Teknis Proyek, seorang anak yang sakit keras terpaksa
dibawa ke Kisaran yang jauhnya 70 Km. Biayanya? Ditanggung oleh
P3RSU. "Yah terpaksa kumpul-kumpul uan dari teman-teman," kata
Amaludin. Ini semua agaknya lantaran para penghuni tak bisa
berdikari seperti diharapkan semula setelah 9 bulan disubsidi.
Panen akhir tahun kemarin gagal. Sawah 2 Ha yang mereka garap
ternyata hanya menghasilkan rata-rata 1,2 ton. Hanya beberapa KK
yang berhasil memetik sebanyak 4 ton. Sebenarnya ini cukup untuk
persediaan setahun. Tapi kebanyakan menjual padinya untuk
keperluan hidup termasuk modal mengolah tanah untuk bertanam
palawija. Malangnya, panen palawija, Juni lalu, juga gagal.
Habis dimakan babi hutan. Tanahnya pun kabarnya kurang sesuai.
Angkat Tangan
Pihak P3RSU sendiri, yang oleh DPP KNPI diserahi menangani DPI,
celakanya juga sudah angkat tangan. Agustus lalu Rahman
Rangkuti, manajer P3RSU menulis ke kantor KNPI di Jakarta: "Kami
sudah tak punya kemampuan memecahkan krisis pangan di DPI."
Kepada TEMPO, Amaludin Nasution bahkan menyatakan "Kami sudah
angkat tangan. Sekarang terserah kepada DPP KNPI." Anggaran
pengolahan tanah sebanyak Rp 12 juta, biaya perbaikan Poliklinik
Rp 3 juta dan bantuan beras serta uang untuk tiap KK, sampai
bulan kemarin dikatakan belum direalisir oleh DPP KNPI. Padahal
mestinya sudah harus dicairkan April lalu. "Tanpa biaya, apa
yang bisa kami perbuat?" ujar Amaludin.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tak sedikit para
penghuni yang menjual radio, kursi, termasuk sepeda sumbangan
Presiden Soeharto ketika mula-mula mereka masuk DPI. Bantuan
Presiden yang lain, yaitu 2 buah traktor mini, bahkan tak
ketahuan ke mana. Ada yang bilang, traktor itu dimanfaatkan oleh
Sorta Ginting, ketua DPD KNPI Labuhan Batu.
Tapi menurut Sorta, mulanya ia berusaha menyewakan traktor itu
untuk mencari dana. "Tapi belum apa-apa sudah rusak," katanya.
Satu dan lain hal, katanya, tanah di DPI tidak rata. Ia punya
alasan menyewakan traktor, sebab proyek punya hutang Rp 500.000
pada sebuah toko di Aek Kenopan karena bangkrutnya KUD di sana.
"Dan hutang itu atas jaminan saya," kilahnya.
Sorta Ginting masih sempat bergurau. "Barangkali kelemahan DPI
dan cara mengatasinya perlu diseminarkan," katanya. "Tapi DPP
KNPI lebih baik bersikap jantan. Akui saja kegagalan DPI dan
pulangkan semua penghuninya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini