INI satu lelucon tentang Presiden Kennedy. Dalam kunjungan
kenegaraannya ke kota Berlin, Presiden Amerika itu mengucapkan
satu kalimat Jerman yang membuatnya memikat hati: "Saya seorang
warga kota Berlin." Ich bin ein Berliner. Waktu ia berkunjung ke
kota Hamburg, ia hampir saja mengulangi daya pikatnya "Ich bin
ein Hamburger." Jackie menyenggol sikunya. "Darling, di sini
orang lebih doyan Sauerkraut.
Jackie memang tangkas. Tak seorang Kepala Negara pun, biar dia
dari Amerika, harus diingat sebagai sepotong hamburger. Tampang
hamburger benar-benar jelek, dan apa benar ia lebih lezat dari
kol masam khas Jerman itu?
Tapi baiklah diterangkan lebih dulu, bagi nenek kita yang
tinggal di Wates dan paman yang tinggal di Rimbo Bujang,
segi-segi pokok perihal hamburger ini Hamburger adalah sepotong
daging yang disusun kembali dari kehancuran dan diapit oleh dua
belahan roti, dan kadang disertai potato chips, yang adalah
kentang, yang dipotong-potong, yang digoreng, dan sebenarnya
bisa disebut sejenis kripik, tapi ....
Pendeknya hamburgerlah. Kalau belum paham, datang saja ke
Jakarta.
"Really?," tanya nenek di Wates. "Di Jakarta sudah ada
hamburger? You mean American hamburger?"
Yeah.
Di Jakarta anak-anak dari kelas menengah ke atas sering nampak
duduk di suatu sudut, menggoyang-goyangkan kakinya, menghadapi
milkshake (yaitu minuman kental-manis yang bukan kolak, mbah),
dan mulutnya repot menyesuaikan diri dengan jumlah sentimeter
benda yang disebut hamburger itu. Dan bapak-ibu mereka pun pada
manggut-manggut: "Anak kita sudah seperti anak Amerika. Modern
dan bergizi."
No kidding. Hamburger "sudah" datang. Anak kita "sudah" seperti
anak Amerika. Itu artinya bahwa hamburger merupakan satu tahap
kemajuan, juga "seperti-anak-Amerika" dianggap demikian.
Maklumlah. Hamburger, yang tampangnya benar-benar jelek itu,
memang punya prestise. Ia datang dari sebuah negeri mau. Ia
secara sengaja atau tak sengaja dipromosikan dalam satu paket
Hidup Modern yang menerobos, lalu mengendap, di benak kita.
Maka dengan mudah pun kita menerimanya. Kalau perlu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Dalam hal hamburger, itu berarti ia
dicelupkan ke dalam sambal pedas -- suatu kombinasi yang menurut
seorang ahli sosiologi makanan disebut "hamburger a la mestizo."
***
SYAHDAN, Majalah Squire suatu ketika pernah menulis tentang
potato chips. Judulnya: "Rasa Bersalah Amerika". Barangkali
itulah gejala zaman yang kenyang dari masyarakat yang berlemak:
dirundung rasa bersalah kepada tubuh yang menggendut --
dirundung rasa dosa sebagai makhluk berlebihan di tengah jagat
yang lapar.
Perlahan-lahan, orang Amerika pun mawas diri. Dan mereka melihat
ke orang Tarahumara.
Orang Indian Tarahumara tidak makan American hamburger. Suku
bangsa yang hidup di pegunungan tinggi di utara Meksiko ini
mempunyai menu yang menurut ukuran Amerika mirip menu orang
kelaparan: cuma makan daging dua kali setahun. Selebihnya kalori
mereka berasal dari jagung, kacang-kacangan, buah, sayur,
kentang, atau telor kadang-kadang.
Meskipun begitu orang Tarahumara toh biasa bertanding lari
terus-menerus, sampai dua hari, sepanjang jarak 320 Km. Itu pun
lazimnya didahului dua sampai lima hari persiapan: setengah
puasa.
Tergerak untuk memanfaatkan orang Tarahumara, suatu ketika
pemerintah Meksiko merekrut mereka buat atlit Olimpiade
Dimasukkan ke dalam pusat latihan, mereka diperlakukan menurut
resep atlit modern': makan beefsteak banyak telor dan susu.
Akibatnya: berantakanlah proses perut yang sederhana itu ....
Dan kita tak pernah dengar ada juara marathon dari Meksiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini