NASIB tenaga kerja wanita ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Belum tentu memperoleh pemecahan dalam upaya mencari perlindungan harkat dan martabatnya, para tenaga kerja wanita (TKW) muslim dihadang oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan pengiriman TKW tanpa disertai mahram (keluarga), atau sekelompok perempuan yang layak dipercaya ("niswah tsiqah"). Fatwa setebal tiga halaman folio itu diteken dalam musyawarah nasional ke-6 lembaga ulama itu—memilih ketua umum baru, K.H. Sahal Mahfuz —di Asrama Haji Pondokgede, Jakarta, akhir Juli lalu.
Soal TKW hari-hari ini juga menjadi sorotan sebagian tokoh masyarakat, tak hanya kalangan ulama. Sebab, dari ribuan TKW Indonesia yang dikirim ke luar negeri, terutama Timur Tengah, tak jarang yang pulang membawa oleh-oleh cerita tak sedap tentang kasus pelecehan seksual dan tindakan kekerasan yang mereka alami. Sementara itu, pemerintah Indonesia dinilai belum memberikan perlindungan yang cukup untuk mereka. Karena itu, sekitar 12 lembaga swadaya masyarakat mendesak agar pemerintah untuk sementara menghentikan pengiriman TKW ke luar negeri.
Gayung bersambut. Komisi Kerja Dewan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia kemudian menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri selama 100 hari, sejak 15 Agustus 2000. Hal itu untuk mendesak sekaligus menunggu pemerintah menyusun aturan baru dalam upaya melindungi TKW. Kini, Departemen Tenaga Kerja sedang memperbaiki kebijakan pengiriman tenaga kerja. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tidak berpangku tangan. Dalam bagian fatwa itu, MUI mewajibkan pemerintah menjamin serta melindungi keamanan dan kehormatan TKW. Termasuk dalam kewajiban itu, membentuk lembaga perlindungan hukum atau kelompok niswah tsiqah di negara-negara tertentu.
Fatwa MUI itu didasarkan pada ayat Alquran, beberapa hadis, dan kaidah "ushul" (prinsip dasar) fikih, yang intinya melarang perempuan bepergian, atau berduaan, tanpa disertai mahram. Salah satu hadis yang secara jelas mendukung pendapat itu berbunyi: "Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak halal melakukan perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali disertai ayah, suami, anak, ibu, atau mahramnya." Selain itu, dampak buruk TKW di luar negeri—seperti pelecehan seksual—memperkuat pertimbangan MUI untuk mengharamkan pengiriman TKW. Itu seperti bunyi kaidah ushul fikih yang dikutip: "Menghindari dampak negatif lebih diutamakan dari mengejar manfaat." Lagi pula, mencari nafkah bukanlah kewajiban perempuan. "Mencari nafkah adalah kewajiban laki-laki," kata K.H. Ma'ruf Amin, Ketua Sidang Komisi Fatwa Munas MUI itu.
Persoalannya, relevankah fatwa itu untuk kondisi Indonesia yang sedang dilanda krisis hebat? "Tidak akan efektif," kata Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Soalnya, penerapan fatwa itu akan mengakibatkan kesulitan teknis. Antara lain, soal biaya transportasi dan visa. Larangan itu juga dinilai mengabaikan realitas sosial-politik masyarakat. "MUI dan pemerintah harus melihat realitas sosial dan politik, karena sekarang orang sedang susah," kata Azyumardi. Karena itu, secara implisit ia mengajak untuk melihat kemungkinan menerobos fikih demi maslahat yang lebih besar.
MUI memang masih membuka keluwesan itu. Dalam fatwa itu disebutkan secara tidak langsung bahwa pengiriman TKW dibolehkan, asal dalam keadaan darurat yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara hukum agama, undang-undang, dan adat kebiasaan publik. Jadi, ada keadaan darurat yang membuka peluang penafsiran yang fleksibel dan—seperti kata Azyurmadi—disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi. Bukankah prinsip ushul fikih yang lebih substantif menyatakan keadaan darurat bisa mengubah yang haram menjadi halal?
Kelik M. Nugroho, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini