Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu isi Petisi Bulaksumur dari para civitas akademika UGM untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi adalah mengingatkan janjinya sebagai alumni kampus tersebut. Janji itu tertuang dalam syair lagu Himne Gadjah Mada yang ditulis Suthasoma dengan aransemen RB Sunarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“… Bagi kami almamater, kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara…,” demikian cuplikan syair Himne Gadjah Mada yang dilagukan Guru Besar Psikologi UGM, Prof. Koentjoro saat membaca petisi di Balirung UGM, Rabu, 31 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isi petisi selanjutnya, bahwa alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya, tindakan Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.
Dalam bait terakhir petisi juga dicuplik sederet pesan dari Presiden Sukarno kepada alumni UGM. Pesan itu tertulis pada prasasti di Gedung Pusat UGM.
“Gadjah Mada adalah sumbermu. Gadjah Mada adalah mata airmu. Gadjah Mada adalah sumber airmu. Tinggalkanlah kelak Gadjah Mada ini bukan untuk mati tergenang dalam rawanya ketiadaaan amalan atau rawanya kemuktian diri sendiri, tetapi mengalirlah ke laut, tujulah ke laut, lautnya pengabdian kepada negara dan tanah air yang berirama, bergelombang, bergelora”.
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” pekik Koentjoro mengakhiri pembacaan petisi.
Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari salah satu civitas akademika, Heru. Ia memilih puisi karya penyair sekaligus aktivis ’98 yang hilang, Wiji Thukul pada 1986 yang berjudul “Peringatan”.
“Jika rakyat pergi. Ketika penguasa pidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi. Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Standar Etik yang Brutal
Terkait pembacaan Petisi Bulaksumur itu, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Agus Wahyudi mengungkapkan, bahwa sejumlah profesor, dosen dan mahasiswa sudah lama merasakan dan membaca suara publik atas sepak terjang pemerintahan Jokowi. Mereka pun meriung dan berdiskusi di Kafe PSP.
“Kami berpikir, untuk memberikan posisioning tegas UGM, kami harus bersuara. Jadi ini menjalankan kebebasan berbicara sebagai warga negara,” kata Agus saat ditemui Tempo di Bulaksumur.
Penggunaan nama “UGM”, karena kebetulan civitas akademis tersebut berasal dari satu kampus, UGM. Sementara Jokowi dan orang-orang di pemerintahan tersebut juga bagian dari civitas akademika UGM.
“Jadi kami perlu mengingatkan mereka, bicara dengan bahasa cinta. Lalu mereka mau mendengarkan, mau diingatkan,” kata Agus.
Ia melihat, penyimpangan dalam pemerintahan Jokowi sudah dirasakan sejak periode kedua pemerintahannya.
“Ada hal-hal brutal dari segi standar etik dan demokratik yang terjadi. Padahal demokrasi butuh pemimpin yang jujur,menghindari konflik kepentingan, mengurangi abuse of power (penyalahgunaan jabatan). Itu esensi demokrasi kan,” papar Agus.
Meskipun civitas akademika baru bergerak sekarang, Agus membantah langkah tersebut terlambat.
“Belum terlambat, biar rakyat yang menilai. Mereka (Jokowi dan orang-orang di belakangnya) harus kembali pada koridor demokrasi dan menjalankan prinsip-prinsip norma demokrasi secara teguh,” tukas Agus.