Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jokowi Diingatkan dengan Himne Gadjah Mada, Pesan Sukarno hingga Puisi Wiji Thukul

Petisi Bulaksumur ingin mengingatkan Presiden Jokowi dengan janjinya sebagai alumni UGM. Janji itu tertuang dalam syair lagu Himne Gadjah Mada.

31 Januari 2024 | 22.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu isi Petisi Bulaksumur dari para civitas akademika UGM untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi adalah mengingatkan janjinya sebagai alumni kampus tersebut. Janji itu tertuang dalam syair lagu Himne Gadjah Mada yang ditulis Suthasoma dengan aransemen RB Sunarno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“… Bagi kami almamater, kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara…,” demikian cuplikan syair Himne Gadjah Mada yang dilagukan Guru Besar Psikologi UGM, Prof. Koentjoro saat membaca petisi di Balirung UGM, Rabu, 31 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isi petisi selanjutnya, bahwa alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya, tindakan Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.

Dalam bait terakhir petisi juga dicuplik sederet pesan dari Presiden Sukarno kepada alumni UGM. Pesan itu tertulis pada prasasti di Gedung Pusat UGM. 

“Gadjah Mada adalah sumbermu. Gadjah Mada adalah mata airmu. Gadjah Mada adalah sumber airmu. Tinggalkanlah kelak Gadjah Mada ini bukan untuk mati tergenang dalam rawanya ketiadaaan amalan atau rawanya kemuktian diri sendiri, tetapi mengalirlah ke laut, tujulah ke laut, lautnya pengabdian kepada negara dan tanah air yang berirama, bergelombang, bergelora”.

“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” pekik Koentjoro mengakhiri pembacaan petisi.

Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari salah satu civitas akademika, Heru. Ia memilih puisi karya penyair sekaligus aktivis ’98 yang hilang, Wiji Thukul pada 1986 yang berjudul “Peringatan”. 

“Jika rakyat pergi. Ketika penguasa pidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi. Dan berbisik-bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.

Bila rakyat berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!”

Standar Etik yang Brutal

Terkait pembacaan Petisi Bulaksumur itu, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Agus Wahyudi mengungkapkan, bahwa sejumlah profesor, dosen dan mahasiswa sudah lama merasakan dan membaca suara publik atas sepak terjang pemerintahan Jokowi. Mereka pun meriung dan berdiskusi di Kafe PSP.   

“Kami berpikir, untuk memberikan posisioning tegas UGM, kami harus bersuara. Jadi ini menjalankan kebebasan berbicara sebagai warga negara,” kata Agus saat ditemui Tempo di Bulaksumur. 

Penggunaan nama “UGM”, karena kebetulan civitas akademis tersebut berasal dari satu kampus, UGM. Sementara Jokowi dan orang-orang di pemerintahan tersebut juga bagian dari civitas akademika UGM.

“Jadi kami perlu mengingatkan mereka, bicara dengan bahasa cinta. Lalu mereka mau mendengarkan, mau diingatkan,” kata Agus. 

Ia melihat, penyimpangan dalam pemerintahan Jokowi sudah dirasakan sejak periode kedua pemerintahannya. 

“Ada hal-hal brutal dari segi standar etik dan demokratik yang terjadi. Padahal demokrasi butuh pemimpin yang jujur,menghindari konflik kepentingan, mengurangi abuse of power (penyalahgunaan jabatan). Itu esensi demokrasi kan,” papar Agus.

Meskipun civitas akademika baru bergerak sekarang, Agus membantah langkah tersebut terlambat.

“Belum terlambat, biar rakyat yang menilai. Mereka (Jokowi dan orang-orang di belakangnya) harus kembali pada koridor demokrasi dan menjalankan prinsip-prinsip norma demokrasi secara teguh,” tukas Agus.

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus