Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jungkir Balik Mengejar Tenggat

Penyusunan puluhan buku untuk Kurikulum 2013 harus dikebut kurang dari lima bulan. Kualitas pun dipertaruhkan.

14 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aula di lantai dua Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) disulap menjadi ruang kerja dadakan. Seratusan komputer berjejer mengelilingi ruang seluas 20 x 40 meter di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, itu. Tak ada yang berbicara, semua orang duduk memelototi layar monitor.

"Pak Menteri datang saja kami tidak tahu," kata Direktur Polimedia Bambang Wasito Adi saat ditemui Tempo, pertengahan Juni lalu. "Semua sibuk di depan komputer."

Polimedia mendapat tugas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyunting dan menyusun layout buku-buku tahun ajaran baru yang dimulai 15 Juli ini. Itulah buku-buku yang akan digunakan saat penerapan Kurikulum 2013.

Banyak kalangan mengkritik pemerintah yang memaksakan Kurikulum 2013 harus diterapkan tahun ini juga. Mereka tak yakin para guru akan siap dengan metode tematik integratif andalan barang baru ini. Itje Chodidjah, independent trainer, misalnya, mempertanyakan siapa yang akan melatih para guru tersebut dalam waktu singkat.

Kekhawatiran lain adalah soal kualitas buku yang mesti disiapkan dalam waktu yang sangat mepet. Polimedia, misalnya, mesti menyelesaikan 76 buku pelajaran, antara lain 32 judul untuk sekolah dasar, 30 buku untuk sekolah menengah pertama, dan 6 buku untuk sekolah menengah atas.

Ini bagai pekerjaan Bandung Bandawasa yang harus menuntaskan seribu candi dalam semalam di legenda Rara Jonggrang itu. Bagaimana tidak, sejak ditunjuk menggarap editing dan layout naskah-naskah tersebut Januari lalu, mereka hanya punya waktu kurang dari lima bulan!

Biasanya, proses penyusunan satu buku-dari penulisan hingga penataan desain-setidaknya membutuhkan waktu setahun. Bambang lantas mencontohkan, lembaga penulisan buku di Inggris saja membutuhkan waktu 12-18 bulan untuk mengerjakan satu buku. Di Korea Selatan dan India sekitar delapan bulan. "Rata-rata setahun," kata Bambang.

Kening Bambang makin berkerut ketika mengetahui naskah-naskah buku yang sampai ke lembaganya ternyata masih mentah. Beberapa buku bahkan belum selesai ditulis. Seharusnya naskah-naskah yang masuk ke lembaganya itu sudah matang, sehingga bisa langsung diolah oleh tim penyunting dan desainer.

Kenyataannya, naskah-naskah itu masih harus direvisi. Tim penulis terpencar di sejumlah hotel. Koordinasi pun sulit dilakukan. Padahal tenggat penyelesaian kian mepet. Sampai akhir Januari, belum satu pun naskah diterima tim desain di Polimedia.

Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim kemudian berinisiatif memindahkan tim penulis ke Polimedia. Kebetulan, Polimedia memiliki wisma berkapasitas 80 kamar. "Kami mengumpulkan semua penulis di sini agar lebih efisien," ujar Bambang.

Praktis tim penulis, yang terdiri atas 180 orang, dan 60 desainer-sebagian besar mahasiswa tingkat akhir jurusan desain Polimedia-baru mulai bekerja awal Februari. Mereka tumplek blek di aula dan lima ruang lain di kampus Srengseng Sawah. Tim pengarah yang dipimpin Musliar Kasim memantau langsung proses tersebut.

"Dapur kami tidak pernah berhenti ngebul," kata Bambang. Selain menyediakan penginapan untuk penulis dan desainer, ia mengurusi konsumsi. "Semua tidak terencana. Itu yang bikin kami ngos-ngosan."

Kepala tim desain, Noor Riyadhi, mengatakan jumlah naskah yang harus mereka garap tak sebanding dengan waktu yang diberikan. Imbasnya, penulis dan desainer harus bekerja jungkir balik. Setiap hari mereka bekerja hingga lewat tengah malam dan harus standby kembali di depan komputer pukul delapan pagi. "Saya tak pernah pulang di bawah jam 12 malam," tutur Noor.

Waktu yang mepet tersebut masih harus ditambah persoalan lain: naskah yang selalu berubah karena berkali-kali direvisi. Bagi tim desain, ini persoalan serius. Sebab, setiap kali naskah diubah, desain dan layout pun harus diganti. Dan ini berlangsung puluhan kali. "Tidak terhitung perubahannya," ujar Noor.

Padahal, untuk satu naskah buku sekolah dasar saja, ia harus menyiapkan sedikitnya 300 gambar. Bahkan, khusus untuk buku Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan, ia menyiapkan 1.500 gambar. "Gambar-gambar itu kami buat sendiri," kata dosen desain grafis di Polimedia ini.

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Pusat Kurikulum dan Perbukuan Erry Utomo menyebutkan revisi naskah terus terjadi, terutama pada buku sekolah dasar, yang mulai tahun ajaran baru nanti menggunakan konsep tematik integratif. Dengan konsep ini, materi buku siswa sekolah dasar tak lagi berupa mata pelajaran, tapi berdasarkan tema tertentu. Tema itu antara lain "Diriku Jujur, Tertib, dan Bersih" dan "Lingkungan Bersih, Indah, dan Asri".

Satu tema terdiri atas gabungan sejumlah mata pelajaran, seperti bahasa Indonesia, matematika, dan pendidikan kewarganegaraan. Maka pengerjaan satu buku melibatkan beberapa penulis sekaligus.

Konsep buku tematik integratif ini merupakan "makhluk" baru dalam perbukuan Indonesia, sehingga tak banyak penulis yang bisa menggarapnya. "Mereka belum berpengalaman. Ini pertama kalinya mereka menulis tematik integratif," ujar Erry.

Pengalaman minim, kualitas pun tak maksimal. Semua itu masih ditambah dengan sistem perekrutan penulis yang tak ketat. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, kata Erry, baru mulai menyusun konsep buku pada November tahun lalu. Sebulan kemudian, perekrutan penulis dimulai.

Sebagian besar penulis itu dicomot dari lembaga Buku Sekolah Elektronik. Selebihnya hasil rekomendasi tim pengarah atau diajak oleh penulis Buku Sekolah Elektronik. Artinya, perekrutan penulis tak ketat. "Orangnya terbatas dan waktunya mepet," ujar Erry.

Semua itu diperparah dengan mekanisme penulisan buku yang tak lazim. Biasanya naskah baru ditulis setelah materi kurikulum rampung dibahas. Materi kurikulum itu sebagai patokan penulis saat menyusun naskah. Nyatanya, penulisan buku dan pembahasan materi kurikulum berjalan bersamaan. "Jadi penulisan buku jalan, pembahasan kurikulum juga jalan," kata Erry. "Seharusnya kan kurikulumnya dulu, baru bukunya."

Karena itu, ia maklum jika naskah selalu mengalami revisi selama proses tata letak. Apalagi ini baru pertama kalinya pemerintah menulis buku-setelah hampir tiga dekade selalu membeli dari penerbit.

Musliar Kasim mengakui kualitas para penulis yang menggarap buku tematik integratif masih belum pol. "Menulis buku seperti ini (tematik integratif) tidak gampang. Ada yang biasa menulis tapi tak biasa menulis buku seperti ini," ujar Musliar.

Ini terlihat dari naskah awal buku yang tak memenuhi harapan. Pemerintah, kata Musliar, mematok nilai minimal 7,5 untuk buku-buku tersebut. Tapi kombinasi dari mepet-nya waktu dan minimnya pengalaman penulis membuat buku itu hanya mendapat ponten 6.

Pemerintah kemudian menunjuk Haidar Bagir untuk memoles naskah-naskah buku tematik integratif tersebut. Ia dipercaya lantaran ketokohannya di bidang pendidikan. Haidar juga pendiri Yayasan Lazuardi Hayati-penyelenggara pendidikan SD Lazuardi. "SD Lazuardi sejak tahun pertama didirikan sudah menerapkan metode ini," kata Haidar.

Haidar kemudian membentuk tim khusus yang anggotanya berjumlah 50 orang. Tim itu terdiri atas penulis, layouter, dan ilustrator. Mereka menggarap 16 buku untuk sekolah dasar, yaitu 4 buku untuk siswa kelas I, 4 buku untuk siswa kelas IV, 4 buku untuk guru kelas I, dan 4 buku untuk guru kelas IV. Mereka bekerja mulai Maret lalu.

Haidar mengatakan timnya tak terlalu kesulitan saat memoles buku-buku tersebut lantaran naskah yang sampai ke tangan mereka bukan naskah awal, melainkan naskah yang telah diperbaiki tim sebelumnya.

Naskah tematik integratif mengalami setidaknya tiga kali revisi. Dua revisi naskah pertama dikerjakan tim dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Naskah pertama, menurut Haidar, masih butuh banyak perbaikan. Naskah itu kemudian dipoles lagi oleh tim berikutnya. "Naskah yang dikerjakan tim kedua itu jauh lebih bagus dari yang dikerjakan tim pertama," ujar Haidar. "Kami menyempurnakan naskah dari tim kedua."

Meski begitu, mepet-nya waktu tetap membuat timnya terpaksa bekerja spartan. Di hari-hari terakhir, kata Haidar, "Dua hari dua malam kami tidak tidur."

Naskah dari tim Haidar ini baru selesai awal Juni lalu. Hampir sepekan kemudian, tim Polimedia, yang lebih banyak menggarap buku-buku SMP dan SMA, menuntaskan pekerjaan mereka.

Sebanyak 76 dummy buku itu dijejerkan di atas meja ruang Direktur Polimedia. Softcopy buku-buku tersebut telah dikirim ke tujuh percetakan untuk digandakan. Paling lambat, 14 Juli nanti buku-buku itu sudah sampai di sekolah.

Bambang pun mengempaskan tubuhnya di sofa. Sejak Februari lalu-saat naskah mulai digarap-ia nyaris tak pernah libur. Sabtu-Minggu selalu lembur. "Dari segi waktu, ini pencapaian luar biasa," ujarnya sambil melirik buku-buku di atas meja tersebut. "Tapi jangan lagi-lagi ya kayak gini, capek bener."

Dwi Riyanto Agustiar


Lima Hari Memupus Bingung

Suwirjan mengembuskan asap rokoknya berkali-kali untuk melepas kegalauan di dekat aula Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan DKI Jakarta, Selasa pekan lalu. Bersama 400 rekannya, guru olahraga di SD Bendungan Hilir 09, Jakarta Pusat, itu baru saja usai menjalani tes awal dalam rangkaian pelatihan penerapan Kurikulum 2013. Rupanya, ia merasa kurang mulus mengerjakan 40 soal yang tersedia.

Tapi Pak Guru berusaha menghibur diri. "Jika hasilnya rendah, itu malah lebih baik. Jadi nanti ketahuan bolong-bolongnya," ujar Suwirjan kepada beberapa rekannya. Wajah para sejawat yang tengah duduk bersamanya juga terlihat kurang cerah. "Beginilah orang (kalau) mau melakukan penerapan kurikulum baru. Kita ikuti saja," kata Suwirjan pasrah.

Seusai tes, mereka menjalani pelatihan yang berlangsung pada 9-13 Juli. Didang Setiawan, instruktur nasional, mengatakan tes itu dilakukan untuk melihat kemampuan awal peserta dalam memahami konsep kurikulum, penilaian, dan strategi pembelajaran. "Hasilnya akan menjadi feedback bagi penatar, di mana kelemahan mereka masing-masing," ujarnya.

Suwirjan dan mereka yang tengah menjalani pelatihan itu disebut sebagai guru sasaran. Merekalah nantinya yang berada di garis depan penerapan Kurikulum 2013, yang dimulai pada 15 Juli ini. Pekerjaan tatar-menatar ini memang bagai berburu dengan waktu. Bayangkan, bagaimana mungkin menyiapkan puluhan ribu guru yang akan menerjemahkan kurikulum baru itu di kelas, sedangkan waktu semakin mepet. Di seluruh negeri, ada 6.325 sekolah terpilih yang menjalankan kurikulum anyar tersebut.

Maka inilah yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tim Kementerian awalnya menatar 409 orang (29 Mei-3 Juli) untuk menjadi instruktur nasional. Didang salah satunya. Setelah itu, tim 409 ini menatar guru inti pada 4-8 Juli. Akhirnya, instruktur nasional dan guru inti itu melatih ribuan guru sasaran, ya, seperti yang tengah dilakukan kepada "kloter Suwirjan" itu. Pada 13 Juli pelatihan untuk mereka kelar, dua hari kemudian langsung berhadapan dengan siswa membawakan kurikulum baru. Serba ngebut!

Didang mengakui waktu yang tersedia memang sempit. "Idealnya, dibutuhkan waktu cukup lama," katanya. Namun dia yakin guru tetap akan mampu mewujudkan kurikulum baru dengan baik di kelas. "Sebab, pengetahuan tidak mesti dari instruktur."

Dalam pelatihan ini, guru sasaran akan mempelajari konsep kurikulum serta keterampilan membuat rencana pembelajaran dan melakukan peer teaching. Setelah kelar, "Mereka diharapkan menularkan kepada teman-temannya," ujar Didang.

Didang optimistis karena konten kurikulum 2013 tidak terlalu banyak berbeda dibanding sebelumnya. Bedanya, pada kurikulum gres ini peran guru di kelas berubah, dari instruktur menjadi fasilitator. Guru akan lebih banyak melibatkan siswa dalam mengamati, menanyai, mengumpulkan data, mencoba, dan mengkomunikasikan.

Dalam pengorganisasian kelas, guru dilatih membentuk kelompok, dan menyiapkan media pembelajaran yang murah. Guru juga diharap memperkaya bahan dari luar.

Oh ya, dalam pelatihan, guru juga tidak hanya berorientasi pada pencapaian nilai ujian nasional. "Sikap dan perilaku siswa juga menjadi perhatian," kata Didang. Ini tentu terkait dengan kompetensi inti yang digadang-gadang Kurikulum 2013, yakni religi, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Apakah semua itu cukup dipelajari dalam lima hari latihan? Entahlah. Yang jelas, sejak tes awal saja banyak guru kelimpungan. "Saya kesulitan memahami bahasanya," ujar Ikoh Asaki, guru pendidikan jasmani dan kesehatan SD Al-Falah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Adapun Hafiz Halim, rekan Ikoh, mengaku masih blank dengan kurikulum baru. "Belum ada bayangan mengenai sistem tematik integratif itu," ujarnya.

Pada 15 Juli ii, Suwirjan dan kawan-kawan sudah berada di depan kelas. Mereka sungguh tak punya waktu lagi untuk bingung!

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus