DIBANDINGKAN jumlah prianya, Indonesia kelebihan wanita sekitar 425 ribu. Persisnya, 89.873.406 wanita dan 89.448.235 pria -total 179.321.641 orang -- hasil sensus penduduk 1990 oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Di balik angka raksasa itu, tersirat kabar gembira: sepanjang 1980-90 populasi penduduk Indonesia cuma tumbuh dengan laju rata-rata 1,97% setahun. Jauh di bawah pertumbuhan dekade 1970-1980 yang mencapai 2,32%. Angka 179,32 juta itu agak di luar dugaan. Sebab, BPS sendiri membuat taksiran sekitar 182,7 juta jiwa, dan badan kependudukan PBB memperkirakan 182,1 juta. Sensus penduduk mutakhir ini digarap BPS pertengahan Septem- ber hingga 31 Oktober lalu. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah cacah jiwa, rumah tangga, dan perincian jenis kelamin. Pengolahan datanya usai 20 Desember lalu. Proyek BPS seharga Rp 90 milyar itu tergolong cepat pengerjaannya. "Karena tak ada pertanyaan titipan (dari departemen-departemen)," kata Azwar Rasyid, 56 tahun, Kepala BPS. Dari sensus 1990 itu, terlihat perubahan dalam perimbangan antara desa dan kota. Kini 31% penduduk tinggal di kawasan perkotaan, dan 69% berada di desa. Pada 1990, penduduk desa masih 78%. Tak syak lagi, ini merupakan dampak industrialisasi. Sensus 1990 itu mencatat pula penyebaran penduduk yang lebih sehat. Pada 1980, misalnya, 62% penduduk yang berjubel di Jawa tinggal 60% pada 1990. Namun, secara absolut penduduk Jawa terus tumbuh, hingga kini mencapai angka lebih dari 107 juta. Disusul Sumatera dengan 36,5 juta (20,33%), Sulawesi 12,5 juta (7%), lalu Kalimantan 9,1 juta (5,1%). Dan ribuan pulau lainnya hanya dihuni oleh 133,66 juta jiwa (7,62%). Tingkat kepadatan Jawa mencapai 814 jiwa/km2, Sumatera 77 orang/km2, dan Sulawesi sekitar 66 jiwa/km2. Ada ledakan di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Penduduk Kalimantan Timur tumbuh 4,42% setahun, Bengkulu 4,38%, dan Riau 4,31%. Sementara itu, Jambi, Sum-Sel, Tim-Tim, Kal-Teng, Sul-Teng, dan Ir-Ja tumbuh di atas 3% per tahun. Tak syak lagi, ada kiriman asal Jawa. Pada dekade yang sama, tiga provinsi di Jawa tumbuh dengan kecepatan santai. Ja-Teng tumbuh 1,18% per tahun, Ja-Tim 1,08%, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) cuma 0,57%. Namun, DKI dan Jawa Barat masih tetap tinggi, masing-masing 2,41 dan 2,57%. Toh pertumbuhan DKI tercatat lebih rendah dibanding dekade sebelumnya yang 3,93%. Bengkaknya Jawa Barat, menurut Azwar Rasyid, lantaran ledakan di Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Pertumbuhan di situ sangat tinggi. Bogor mencatat 6,1% per tahun, Bekasi 6,3%, dan Tangerang 6,1%. Ketiganya menerima muntahan Ibu Kota. Kalau dihitung tanpa daerah "Botabek", Ja-Bar hanya tumbuh 1,6%. Dibanding provinsi lain, DIY menunjukkan perkembangan yang unik. Secara keseluruhan pertumbuhannya 0,57%. Paling rendah di antara semua provinsi. Tapi jumlah penduduk pedesaan DIY justru turun 2,77% setahun. Penghuni perkotaannya naik 7,9%. Hal serupa terjadi di Bali, yang secara keseluruhan naik 1,18% -perkotaan naik 7,29% tapi di desa turun 0,3%. Tercatat ada dua kabupaten di DIY yang pertumbuhannya negatif: Kulonprogo (-0,22%) dan Gunungkidul (-0,13%). Secara absolut, Kulonprogro mengalami penurunan sampai 8.300-an jiwa, dari angka sekitar 380 ribu yang terekam pada sensus 1980. Gara-gara transmigrasi dan migrasi. Selama 1980-89, Kulonprogro memberangkatkan 17.400 orang transmigran ke pelbagai tempat. Sementara itu, pedesaan DIY, terutama dari Kulonprogo dan Gunungkidul, dikenal sebagai pemasok tenaga kerja ke pelbagai kota besar. Di antara mereka banyak yang menjadi pedagang kaki lima, tenaga kasar, pemulung, atau pekerja di sektor informal lainnya. Migrasi keluar, menurut Dr. Masri Singarimbun, ahli kependudukan asal UGM, Yogya, merupakan jalan keluar dari im- pitan kemiskinan. "Dengan menjual bakso di kota, mereka bisa mendapat Rp 3.000 bersih. Lebih baik daripada jadi buruh tani dengan upah Rp 1.000," ujarnya. "Maka, di kalangan mereka terjadi perubahan nilai, dari mangan ora mangan asal ngumpul menjadi kumpul ora kumpul asal mangan." Aliran penduduk itu oleh Masri dipandang positif, meskipun menimbulkan problem baru: daerah kumuh di kota besar. "Memang akan baik sekali kalau mereka bisa diarahkan ke kota-kota kecil atau menengah," ujar Masri lagi. Sarana transportasi yang makin baik lebih memacu laju arus migrasi itu. Derasnya migrasi orang Yogya disokong oleh keberhasilan KB. Pada 1985, 54% pasangan usia subur di DIY melanggan alat kontrasepsi. Lima tahun kemudian angka itu melonjak menjadi 68%. KB memang telah "mentradisi" di Yogya. Sebelum fasilitas KB mudah diperoleh, untuk menjarangkan kelahiran, mereka punya kiat: mboten kempal alias tidak kumpul. "Itu terbukti pada penelitian saya tahun 1967-70," tutur Masri. Keberhasilan KB tak hanya ada di Yogya. Secara nasional tingkat kelahiran boleh disebut menyurut. Menurut sensus 1990: jumlah anggota per rumah tangga turun dari 4,9 jiwa pada 1980 menjadi 4,5 jiwa di 1990. Keberhasilan ini menembus kuping PBB sejak beberapa tahun lalu. Maka, Juni 1989 lalu Presiden Soeharto terbang ke New York atas undangan Komite Penghargaan Kependudukan PBB (The Committee for The United Nations Population Award). Mario Moya Palencia, pimpinan komite ini, atas nama PBB, lalu menyerahkan penghargaan kepada Presiden, yang telah berhasil menekan angka kelahiran dari 49 per 1.000 penduduk (1971) menjadi 29 pada 1987. Atas dasar hasil sensus 90 itu, Deputi Bidang Perencanaan dan Analisa Statistik BPS, Sugito, menghitung pendapatan per kapita penduduk mencapai Rp 1,08 juta. Jauh di atas perkiraan semula yang hanya Rp 911 ribu. Angka itu diperoleh dengan bersandar pada nilai produk domestik bruto (PDB) yang sekitar Rp 166,3 trilyun. Lantas, mengingat arus kuat urbanisasi itu, Sugito menaksir, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan akan lebih kecil dari 17% -- angka perhitungan BPS tiga tahun lalu. Putut Trihusodo, Ardian Taufik Gesuri, dan Ajie Surya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini