Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Nasir Ahmad masih ingat ketika ia dan keluarganya harus mengungsi dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, ke Jawa Timur. Ia mengungsi setelah terjadi penyerangan Masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tampunak, Sintang, pada 3 September 2021. Kekerasan terhadap kebebasan beragama ini belum sepenuhnya tuntas hingga tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Akhir 2021, saya dipindahkan ke Jawa Timur karena keselamatan jiwa dan keluarga saya terancam,” kata Nasir, Selasa, 31 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, awalnya sebagian warga memprotes keberadaan Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan tersebut. Warga setempat meminta masjid itu ditutup. Lalu Bupati Sintang Jarot Winarno merespons tuntutan warga dengan mengeluarkan surat penutupan sementara Masjid Miftahul Huda pada 14 Agustus 2021.
Nasir dan anggota jemaat Ahmadiyah di sana mengikuti perintah tersebut dengan menutup masjid. Lalu mereka beribadah dan melakukan pengajian di dalam masjid secara tertutup. “Tapi warga tidak puas,” kata dia.
Situasi itu memicu kemarahan ratusan warga yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam. Mereka merusak Masjid Miftahul Huda dan membakar bangunan gudang yang berada di sebelah masjid, September 2021.
Masjid Miftahul Huda milik jemaat Ahmadiyah yang dirusak di Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, September 2021. Istimewa
Aliansi merujuk pada surat keputusan bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang peringatan dan perintah kepada penganut anggota dan pengurus JAI dan warga masyarakat, yang terbit pada 2008. SKB ini berisi peringatan kepada anggota dan pengurus JAI agar menghentikan penyebaran penafsiran ataupun kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Namun sebagian warga Desa Balai Harapan dan sekitarnya menjadikan SKB tiga menteri itu sebagai dasar pembubaran JAI di sana. Setelah terjadi perusakan masjid, pemerintah dan pemuka agama menggelar berbagai dialog hingga JAI dibolehkan beribadah kembali di Masjid Miftahul Huda. Namun bangunan masjid diubah sebelum digunakan. Misalnya, kubah masjid ditiadakan dan ruangan di dalam masjid disekat menjadi empat bagian. Desain itu membuat bentuk bangunan tidak menyerupai masjid lagi. “Jadi, dibuat seperti rumah,” ujar Nasir.
Kekerasan atas nama agama di Kabupaten Sintang tersebut masuk catatan Setara Institute, lembaga nonpemerintah yang memperhatikan urusan kebebasan demokrasi dan kebebasan beragama.
Setara Insitute mencatat adanya kenaikan tren pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2022 dibanding pada tahun sebelumnya. Pada 2022, terdapat 175 peristiwa kebebasan beragama yang diikuti 333 tindakan pelanggaran. Sedangkan pada tahun sebelumnya, terjadi 171 peristiwa kebebasan beragama yang dibarengi 318 tindakan pelanggaran.
Pelaku pelanggaran terhadap kebebasan beragama ini bukan hanya masyarakat sipil dan organisasi keagamaan, tapi juga pemerintah daerah, kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja, lembaga pendidikan, serta forum koordinasi pemerintah daerah.
Jenis pelanggaran mereka beragam, dari tindakan diskriminasi, kebijakan yang diskriminatif, pelarangan usaha, penolakan pendirian tempat ibadah, menetapkan tersangka dengan tuduhan penodaan agama, pelarangan beribadah, hingga perusakan tempat ibadah.
Peneliti kebebasan beragama pada Setara Institute, Syera Anggreini Buntara, mengatakan, penolakan pendirian tempat ibadah banyak terjadi sepanjang tahun lalu. Angkanya mencapai 50 kasus atau naik enam kasus dibanding pada tahun sebelumnya.
Syera berkesimpulan, penyebab angka penolakan pendirian tempat ibadah cukup tinggi adalah terjadi deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah. Syarat pendirian itu diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan bersama ini mengatur syarat khusus pendirian rumah ibadah, yaitu pengguna rumah ibadah minimal 90 orang, yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk, serta mendapat dukungan dari paling sedikit 60 warga yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Menurut Syera, syarat khusus itu sebetulnya tidak terlalu memberatkan. Tapi, dalam beberapa kasus, masyarakat setempat tetap menolak pendirian rumah ibadah meski sudah memenuhi kriteria. “Di lapangan, banyak intimidasi dan ancaman sehingga syarat 90 pengguna dan dukungan 60 orang itu sulit dipenuhi. Kalaupun sudah dipenuhi, kelompok intoleran menekan pemerintah untuk mencabut izin mendirikan bangunannya,” kata Syera.
Ia mencontohkan kasus pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Cilegon, Banten; Masjid Taqwa milik Muhammadiyah di Bireuen, Aceh; dan GPIB Jemaat Pancoran Rahmat di Depok, Jawa Barat.
Pembongkaran salah satu gereja di Bekasi. Dok. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Pelanggaran Terbanyak di Jawa Timur
Syera Anggreini mengatakan, pelanggaran terbanyak terhadap kebebasan beragama pada 2022 terjadi di Jawa Timur. Setara Institute mencatat 34 kasus pelanggaran terjadi di Jawa Timur, terbanyak berkaitan dengan peristiwa penolakan ceramah agama dan pendirian tempat ibadah.
Kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai dengan catatan Setara Institute, pelanggaran terhadap kebebasan beragama sejak 2007 hingga 2021 paling banyak terjadi di Jawa Barat. Pada tahun ini, terdapat 25 kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Jawa Barat, lalu disusul DKI Jakarta (24), Banten (11), Jawa Tengah (11), Sumatera Utara (10), dan Aceh (7).
Syera menjelaskan, ada dua faktor yang menyebabkan angka pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Jawa Timur meningkat. Pertama, masih kuatnya stigma terhadap tradisi agama atau kebudayaan leluhur yang memicu penolakan dari berbagai kelompok keagamaan. Kedua, kelompok keagamaan tertentu menolak penceramah yang mereka anggap akan mengancam kemajemukan. “Dalam perspektif hak asasi manusia, penolakan ceramah ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat sehingga tetap tidak dapat dibenarkan,” kata Syera.
Wakil Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, memberi catatan agar pemerintah memperhatikan meningkatnya jumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Timur, khususnya pelarangan pendirian rumah ibadah dan penolakan terhadap ritual. “Ini cukup mengherankan,” kata Bonar.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo