Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei: Status Bencana Nasional Sudah Tak Relevan

LOMBOK menjadi rumah kedua bagi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei dalam sebulan terakhir.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei: Status Bencana Nasional Sudah Tak Relevan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOMBOK menjadi rumah kedua bagi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei dalam sebulan terakhir. Dia mendarat di sana kurang dari 12 jam setelah gempa 6,4 skala Richter mengguncang Lombok Timur, Ahad pagi, 29 Juli lalu. Dia menemui Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi dan jajarannya untuk koordinasi pemberian bantuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Willem, 62 tahun, kembali ke Jakarta pada 1 Agustus. Namun dia hanya empat malam menikmati kasurnya. Lindu 7 skala Richter yang meluluhlantakkan Lombok Utara, Ahad malam, 5 Agustus laludisusul gempa 7 skala Richter di Lombok Timur pada Ahad malam, 19 Agustusmembuatnya kembali ke Lombok dan belum juga pulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah, termasuk BNPB, mendirikan Pos Pendampingan Nasional (Pospenas) untuk membantu Satuan Tugas Penanganan Penanggulangan Darurat Bencana Gempa Lombok. Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan para menteri silih berganti meninjau lokasi kejadian. Willem menyebutnya sebagai pengerahan seluruh sumber daya nasional. Hal itu yang menjadi salah satu pertimbangannya menolak penetapan status gempa Lombok sebagai bencana nasional.

Purnawirawan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu mengatakan status bencana nasional tak menjamin penanganan bencana di Lombok lebih baik. "Karena penanganan saat ini sudah yang terbaik," ujarnya kepada wartawan Tempo Linda Trianita dalam wawancara khusus di Lombok Barat, Kamis malam pekan lalu. Buktinya, dia melanjutkan, masa tanggap darurat berakhir pada 25 Agustus 2018 dan tidak akan diperpanjang, sehingga dia menganggap penetapan status bencana nasional tak relevan lagi.

Apa yang Anda lakukan saat pertama kali tiba di Lombok?

Kami datang, melihat situasi, melakukan evaluasi. Kami langsung melakukan rapat dengan Pak Gubernur dan jajarannya di tenda darurat. Wah, waktu itu panik semua. Kami membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan. Pertama, kami mengaktifkan posko dan membentuk satuan tugas, termasuk struktur organisasinya. Saya melihat tanggal 29-31 Juli itu adalah masa panik. Memang harus ada pendampingan dari pemerintah pusat.

Anda merasakan gempa-gempa susulan?

Ya, dalam jam-jam berikutnya. Begitu terasa goyang, saya sampai hafal, "Oh, ini 5 skala Richter, ini 6 skala Richter," he-he-he….

Apa kesulitan terbesar dalam penanganan bencana ini?

Seperti dalam penanggulangan bencana lain, masyarakat terdampak banyak yang belum bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Sebetulnya, sebelum terjadi gempa ketiga (19 Agustus 2018), suasana di sini sudah bagus. Masyarakat sudah bergiat. Pasar sudah mulai ramai. Tapi, begitu ada gempa lagi, dampak psikologisnya lebih dalam. Masyarakat menjadi ragu-ragu terhadap situasi ke depan. Sejak itu, kami mesti berupaya lebih keras untuk memulihkan kondisi psikologis masyarakat.

Upaya apa yang sudah dilakukan?

Dalam masa tanggap darurat, hal pertama yang kami lakukan adalah pencarian dan penyelamatan untuk meminimalkan jatuhnya korban. Lalu kami menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan dasar para pengungsi, seperti makanan, air bersih, dan pelayanan kesehatan. Kami juga sudah melakukan pemulihan trauma, terutama untuk anak-anak sekolah.

Ada kendala?

Ada tantangan di mana kami mesti menyuplai kebutuhan dari luar provinsi karena ketersediaan sumber daya sangat terbatas. Kami mulai dari Bali dan Jawa Timur, terutama Surabaya. Ini perlu waktu sehingga penanganan pada minggu pertama masih banyak kekurangan di sana-sini. Selain itu, warga terdampak tidak bisa dilokalisasi. Penanganan pengungsi yang tersebar di banyak tempat memang tidak semudah jika mereka dikelompokkan. Dalam sepuluh hari pertama, saya masih menerima laporan ada desa yang belum disentuh. Karena itu, satgas berkeliling mencari pengungsi yang tidak terjangkau.

Sejumlah relawan independen menyebut koordinasi penanggulangan gempa di Lombok berantakan….

Ketika terjadi bencana, penanggulangan sangat kompleks dan multidimensional, sehingga memerlukan koordinasi yang bagus. Karena itu, kami membentuk Satuan Tugas Penanganan Penanggulangan Darurat Bencana Gempa Lombok yang dipimpin komandan komando satuan resor militer. Pemerintah pusat pun memberikan pendampingan dalam bentuk anggaran, logistik dan peralatan, serta manajemen dan keahlian khusus. Kami juga mendirikan Pospenas. Jadi tidak ada masalah koordinasi.

Koordinasi dengan relawan bagaimana?

Saya mengakui, dari aspek itu, memang kurang. Dia tidak pernah melapor. Informasi dia simpan sendiri. Kalau dia hadir di sini dan bekerja dengan kemampuannya sendiri tanpa melapor, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya, dia datang ke satgas atau Pospenas. Ada relawan yang merapat ke kami, seperti Palang Merah Indonesia dan Muhammadiyah Disaster Management Center.

Kami mendapati sebagian warga Lombok Timur merasa dianaktirikan setelah gempa Lombok Utara. Bagaimana solusi agar bantuan lebih merata?

Kalau itu yang dirasakan warga, saya minta maaf. Kami sudah memanggil para camat untuk mengumpulkan semua kepala desa. Kami ingin tahu situasi dan kebutuhan mereka di sana. Tapi itu tidak dilakukan karena para kepala desa juga terkena dampak. Karena itu, tadi saya kembali memerintahkan hal yang sama.

Bagaimana alur distribusi bantuan?

Di awal, mekanismenya adalah masyarakat yang punya dapur lapangan mengambil barang di posko. Ternyata ada kelemahannya: orang yang tidak berhak mengaku sebagai korban. Akhirnya, kami ubah dengan mengirimkannya kepada para camat agar mereka yang membagi. Tapi masyarakat mengeluh, "Pak, masak, kami minta minyak telon saja mesti pakai cap dan tanda tangan." Akhirnya, kami kombinasikan. Kami tetap mengirimkan bantuan kepada para camat. Tapi, untuk yang mendesak, kami suplai langsung.

Berapa bantuan yang sudah dikucurkan pemerintah pusat?

Banyak sekali dan masih terus mengucur. BNPB sudah menyalurkan sekitar 30 ribu terpal dan hampir 200 tenda berkapasitas 30-40 orang. Saya akan menyediakan lagi sekitar 100 ribu terpal. Saat ini, total dana untuk logistik dan peralatan sekitar Rp 80 miliar. Ada pula dana bantuan stimulan untuk warga yang rumahnya rusak. Saat ini sudah disalurkan sekitar 5.000 buku tabungan untuk warga yang rumahnya rusak berat, masing-masing Rp 50 juta, totalnya Rp 250 miliar. Tapi rinciannya masih kami kumpulkan dari semua kementerian dan lembaga. Yang jelas, di atas Rp 300 miliar.

Dari data BNPB, berapa banyak rumah warga yang rusak?

Pendataan kami belum selesai. Kami mengutamakan verifikasi rumah yang rusak berat. Kemarin, saat sedang memverifikasi, ada gempa susulan. Nah, rumah yang tadinya rusak sedang menjadi rusak berat. Sampai kemarin (22 Agustus 2018), yang sudah kami verifikasi 12.292 rumah. Dari verifikasi ini, bupati menerbitkan surat keputusan (SK). Sampai saat ini, sudah sekitar 11 ribu SK yang terbit. Setelah SK terbit, pemerintah bisa menyalurkan dana bantuan stimulan. Untuk rumah yang rusak berat, dananya Rp 50 juta, yang langsung ditransfer by name-by address. Tapi statusnya masih diblokir untuk mengamankan. Kalau mereka menggunakannya untuk hal lain, kan, mereka yang susah.

Bagaimana menjamin ketersediaan bahan bangunan bagi puluhan ribu rumah?

Kami akan membangun depo-depo bahan bangunan di setiap kecamatan. Saat Wapres (Wakil Presiden Jusuf Kalla) berkunjung, ada Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga. Nanti Surabaya yang akan jadi sumber bahan bangunan. Beliau juga akan membawa jaringan pengusahanya. Dalam situasi seperti ini, kami mencegah harga melonjak. Tentunya semua diprioritaskan dari lokal. Kalau stok bahan lokal habis, baru ke luar.

Kapan rumah warga kembali dibangun?

Ketika datang ke sini, Wapres memerintahkan kami membangun kembali rumah-rumah warga mulai Senin (27 Agustus 2018). Masa tanggap darurat berakhir 25 Agustus. Sejumlah pejabat daerah sempat mempertanyakan singkatnya waktu tanggap darurat. Tapi presiden telah memerintahkan agar secepatnya melakukan pemulihan. Pemulihan infrastruktur, rumah sakit, sekolah, rumah ibadah. Yang diutamakan adalah perumahan.

Apakah presiden minta masukan BNPB mengenai gempa Lombok?

Beliau paham sekali soal gempa. Beliau hadir di setiap bencana. Jadi beliau mendapat gambaran dan pengalaman sendiri. Contohnya perintah beliau mengubah tahap penanggulangan bencana. Dulu dilakukan secara serial, sekarang paralel. Jadi, walaupun tanggap darurat, lakukan upaya pemulihan. Bapak Presiden memerintahkan, saat pembangunan kembali, bangunan harus tahan gempa. Maka kami mendatangkan mahasiswa-mahasiswa teknik untuk mendampingi warga.

Dengan kondisi saat ini, mengapa gempa Lombok tidak ditetapkan sebagai bencana nasional?

Saya memahami masyarakat yang meminta penetapan status bencana nasional. Itu adalah bentuk simpati, berpikir bahwa dengan penetapan status bencana nasional masalah akan cepat selesai. Tapi, dalam menetapkan status bencana nasional, kami mesti bertanya, apa urgensinya? Kami punya beberapa parameter dalam menetapkan status bencana nasional.

Apa saja parameternya?

Pertama, penetapan status bencana nasional diperlukan jika pemda sudah tidak bisa melaksanakan fungsi pemerintahannya. Pemda di sini masih berfungsi. Kedua, dengan penetapan status itu, akan ada pengerahan sumber daya nasional. Saat ini pemerintah sudah memberikan pendampingan. Saya langsung berangkat ke sini. Presiden pun sudah dua kali berkunjung ke sini untuk berdialog dengan masyarakat dan mengarahkan kami untuk melakukan pemulihan secara cepat. Kunjungan itu ditindaklanjuti oleh Wapres dan para menteri yang juga hadir di sini. Artinya, tidak ada masalah dengan pengerahan sumber daya nasional. Ketiga, penetapan status itu diperlukan jika ada peraturan perundang-undangan yang perlu di-by pass. Saat ini tidak ada yang perlu di-by pass.

Undang-Undang Penanggulangan Bencana menyatakan status bencana berdasarkan jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan. Dari lima variabel itu, apakah gempa Lombok bisa disebut sebagai bencana nasional?

Variabel itu agak sulit dimplementasikan. Kalau bicara jumlah korban, pertanyaannya, berapa patokannya sehingga bisa ditetapkan sebagai bencana nasional? Siapa yang menentukan? Apa dasarnya? Tidak ada. Jadi lima variabel itu tidak ada ukurannya. Saya bisa bilang tidak bisa, Anda bisa bilang bisa.

Menurut Anda bagaimana?

Kalau saya bilang, tidak. Saya melihat dari tiga parameter yang tadi saya jelaskan. Apakah dengan ditetapkannya status bencana nasional penanganan akan lebih baik? Tidak. Jadi, menurut saya, sudah tidak relevan karena penanganan saat ini sudah yang terbaik.

Faktanya, banyak kantor pemerintah daerah hancur....

Ya, kantornya rusak, tapi fungsi pemerintahannya masih berjalan. Saya memberikan dua tenda kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Setiap pagi, bupatinya, sekretaris daerahnya, dan kepala-kepala dinasnya berkantor di situ.

Tapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat meminta Presiden menyatakan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Apa permintaan itu tidak cukup?

Kembali lagi saya katakan, apakah penetapan status bencana nasional akan memperbaiki pelayanan kepada masyarakat menuju pemulihan? Pada 25 Agustus, masa tanggap darurat selesai, tidak akan diperpanjang. Dengan begitu, apakah perlu status bencana nasional?

Status itu membuat bantuan asing boleh masuk....

Boleh atau tidaknya bantuan asing masuk itu tidak pakai status. Sekarang pun, kalau kita mau, bisa. Kita sudah menerima bantuan dari ASEAN. Saya meminta satu tenda besar berukuran 24 x 10 meter untuk gudang. Kami juga meminta 350 tenda yang lebih kecil serta obat-obatan. Jadi bukannya saya alergi bantuan. Kalau saya butuh, tidak perlu pakai status.

Mungkinkah bantuan dari Jakarta jadi lebih besar jika status bencana ditingkatkan?

Tidak ada pengaruhnya. Yang kami berikan sudah maksimal.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan penetapan status bencana nasional bisa menutup pintu wisatawan ke Pulau Lombok, bahkan Bali….

Orang bisa menyampaikannya dari angle berbeda. Salah satu penghasilan NTB berasal dari sektor pariwisata. Dengan ditetapkannya status bencana nasional, akan ada travel warning dari negara-negara lain. Tapi itu tidak penting bagi kami. Yang penting adalah masyarakat.

Apakah pariwisata menjadi pertimbangan utama soal penetapan status?

Pertimbangan utama saya tetap tiga parameter yang tadi saya sebutkan.

Adakah kekhawatiran status bencana nasional mengganggu Asian Games?

Tidak. Asian Games tetap berjalan di Jakarta dan Palembang. Dalam penyelenggaraannya, persiapan mencakup segala bidang, termasuk kebencanaan.

Bagaimana dengan pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali yang akan digelar Oktober nanti?

Itu jelas, orang akan khawatir karena Bali dekat dengan Lombok. Karena itu, besok (Jumat, 24 Agustus 2018), Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyelenggarakan jamuan makan malam di Bali dengan semua duta besar negara peserta, sehingga mereka bisa berbicara secara langsung dengan aparat terkait. Saya dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati diundang.

Willem Rampangilei
Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 9 September 1955
Pangkat: Laksamana Muda Tentara Nasional Indonesia Purnawirawan
Karier: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2015-sekarang), Deputi Bidang Kerawanan Sosial dan Lingkungan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2011-2015), Tenaga Ahli Pengajar Bidang Pertahanan-Keamanan Lembaga Ketahanan Nasional (2010-2011), Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut VIII Manado (2009-2010), Kepala Dinas Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (2007-2009) | Pendidikan: Lembaga Ketahanan Nasional (2008), Master Mariner (2007), Pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (1995), Pendidikan Lanjutan Perwira (1990), Akademi Ilmu Pelayaran (1980)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus