DENGAN wajah guram, lelaki itu menebar pandang ke kebun
karetnya. Ratusan pohon karet muda yang tunduk mengering mati
seakan menyerah kalah dengan rumput liar serta belukar yang
tumbuh dengan bebas dan gairah. "Kalau tahu begini, saya tak
akan mau masuk PRPTE," kata Ngela Bangun, 50 tahun.
Penduduk Desa Turangi, Kecamatan Selapian, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara itu -- terletak 85 km dari Medan -- dengan
singkat menyimpulkan tentang Proyek Rehabilitasi Pengembangan
Tanaman Ekspor (PRPTE). "Proyek ini yang menyengsarakan saya,"
katanya. Hidup Ngela Bangun dan keluarganya selama ini memang
tergantung pada hasil 2 hektar kebun karetnya itu.
Ngela Bangun tidak sendirian. Derita itu ditanggungnya bersama
sekitar 50 keluarga lain di desanya. Padahal pada Desember 1980
dengan bersemangat mereka mendaftar menjadi peserta PRPTE. "Kami
semua ingin taraf hidup yang lebih baik," kata Ngela Bangun.
Berbagai kemudahan yang ditawarkan proyek yang dibiayai APBN itu
mulanya memang menggiurkan. Selain suatu paket kredit-uang,
bibit, pupuk, dan obat-obatan -- para peserta juga dijanjikan
akan memperoleh penyuluhan cara berkebun yang baik. Untuk
persiapan lahan sampai siap tanam, misalnya, peserta mendapat
kredit Rp 211.000 setiap hektar. Guna biaya perawatan disediakan
Rp 88.000 per hektar setahunnya. Biaya ini diberikan sampai
karet berproduksi, setelah sekitar 7 sampai 8 tahun. Baru
setelah itu peserta wajib mengangsur kredit, yang diperhitungkan
sekitar Rp 1 juta, dengan bunga 6% setahun.
Tanpa pikir panjang, setelah menjadi peserta PRPTE, Ngela
Bangun merobohkan pohon-pohon karetnya yang tua, yang selama
ini memberikannya penghasilan Rp 60.000 sebulan. Dia begitu
yakin akan keberhasilan proyek peremajaan perkebunan karet
rakyat yang digalakkan pemerintah guna mendorong ekspor komoditi
nonmigas tersebut.
Tapi lagi-lagi, yang terjadi adalah cerita usang yang entah
mengapa masih terus terjadi di Indonesia: pelaksanaan lain
dengan yang dijanjikan. Dalam persiapan lahan, misalnya,
seharusnya peserta yang mengerjakan. Ternyata yang melakukan
seluruhnya pemborong.
Pekerjaan pemborong dianggap asal jadi. "Apa yang mereka
kerjakan jauh di bawah nilai kredit yang kami tanggung," kata A
Bo, 43 tahun, yang juga petani peserta PRPTE. Tatkala pohon
karet mulai ditanam pada Desember 1982, rumput yang tumbuh
menyemak masih banyak. Pertumbuhan karet terganggu. Lebih-lebih
pada saat menanam, kemarau panjang menyengat. Akibatnya, sekitar
75% pohon karet mati.
Begitu selesai menanam, pemborong juga langsung meninggalkan
lahan yang masih berantakan. Karuan saja para peserta menolak
ketika prayek diserahterimakan pada mereka. Namun tatkala
petugas PRPTE muncul dengan ancaman: kalau peserta menolak
menerima, uang perawatan tidak akan keluar, mereka pun menyerah.
"Penyerahan itu terpaksa kami terima, ketimbang kebun karet itu
semakin rusak," ujar A Bo.
Ternyata uang perawatan yang dijanjikan tak juga muncul. Setiap
kali ditanyakan, jawabnya adalah janji: "menunggu dananya turun
dari pusat".
Para peserta pun diliputi ketidakpastian. Sebagian kini mencari
nafkah dengan menjadi buruh di perkebunan. Ngela Bangun sendiri
bekerja mocok-mocok alias serabutan di Kota Binjai. Padahal
selama ini status mereka dianggap lebih terhormat: petani
pemilik tanah. Kebun karet mereka? "Tak bisa diharap lagi.
Penanamannya harus diulang," kata Ngela Bangun.
Pemandangan seperti itu: kebun karet yang diremajakan tetapi
mati dan membelukar, tampaknya meliputi hampir seluruh areal
PRPTE di Langkat. Di kabupaten ini menurut Dinas Perkebunan
Sum-Ut sebagai pimpinan proyek, terdapat 2.812 hektar kebun yang
di PRPTE-kan, dengan biaya Rp 572 juta.
Tapi menurut Kejaksaan Negeri Binjai, cuma seperempat dari areal
tersebut yang dikerjakan. "Selebihnya, sekitar 75 persen adalah
areal PRPTE fiktif," kata Heru Mustofa, kepala Bagian Operasi
Kejaksaan Binjai. Ia memperkirakan, sekitar Rp 400 juta uang
negara telah diselewengkan oknum-oknum Dinas Perkebunan Sum-Ut
dari PRPTE di Kabupaten Langkat. Beberapa petugas PRPTE kini
sedang diperiksa Kejaksaan Tinggi Sum-Ut. Heru menganggap,
penyelewengan itu yang menyebabkan PRPTE gagal.
Di seluruh Sum-Ut PRPTE meliputi areal 24.000 hektar dan biaya
yang telah dikeluarkan sebanyak Rp 18 milyar. E.W.P. Tambunan,
yang bulan lalu digantikan sebagai gubernur Sum-Ut oleh
Kaharuddin Nasution, pernah ini mengakui, "Sekitar 30 persen
PRPTE di Sum-Ut tak mencapai sasaran". Kegagalan ini, menurut
dia, karena kurangnya personil, gangguan alam, dan menta para
petani karet sendiri. "Banyak petani yang menelantarkan
kebunnya," kata Tambunan. Ia tak menyinggung kemungkinan
penyelewengan.
Suherman, kepala Dinas Perkebunan Sum-Ut, mengakui penyelewengan
d PRPTE "tak mustahil terjadi". "Tapi saya kira tak sebanyak
yang diungkap Kejaksaan," katanya. Beberapa petugas, ia menolak
menyebut jumlah, telah dipecat. Kegagalan proyek, menurut dia,
hanya karena para petugas tak menguasai teknis penanaman karet.
Menteri Muda Urusan Peningkatan Tanaman Keras Hasjrul Harahap
menilai kegagalan pelaksanaan PRPTE di Sum-Ut karena proyek itu
terlalu dipaksakan, hingga berbagai pihak yang terlibat belum
siap. "Seperti orang yang dipaksa menulis memakai pulpen. Karena
tak biasa, sudah tentu tulisannya tak beres," katanya pada
wartawan di Medan dua pekan silam.
Lalu bagaimana nasib PRPTE? "Kami sedang berkonsultasi untuk
memutuskan apakah proyek tersebut diteruskan atau tidak," kata
Hasjrul. Yang jelas tampaknya kepercayaan petani sudah meluntur,
sedang kredi yang dikeluarkan agaknya sulit kembali "Mana
mungkin kami bisa mengembalika kredit, kalau cuma semak yang
kami terima?" kata Ngela Bangun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini