Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karet dicinta, belukar tiba

Proyek peremajaan tanaman karet rakyat (prpte) di sumatra utara gagal. dananya diselewengkan. (nas)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN wajah guram, lelaki itu menebar pandang ke kebun karetnya. Ratusan pohon karet muda yang tunduk mengering mati seakan menyerah kalah dengan rumput liar serta belukar yang tumbuh dengan bebas dan gairah. "Kalau tahu begini, saya tak akan mau masuk PRPTE," kata Ngela Bangun, 50 tahun. Penduduk Desa Turangi, Kecamatan Selapian, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara itu -- terletak 85 km dari Medan -- dengan singkat menyimpulkan tentang Proyek Rehabilitasi Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). "Proyek ini yang menyengsarakan saya," katanya. Hidup Ngela Bangun dan keluarganya selama ini memang tergantung pada hasil 2 hektar kebun karetnya itu. Ngela Bangun tidak sendirian. Derita itu ditanggungnya bersama sekitar 50 keluarga lain di desanya. Padahal pada Desember 1980 dengan bersemangat mereka mendaftar menjadi peserta PRPTE. "Kami semua ingin taraf hidup yang lebih baik," kata Ngela Bangun. Berbagai kemudahan yang ditawarkan proyek yang dibiayai APBN itu mulanya memang menggiurkan. Selain suatu paket kredit-uang, bibit, pupuk, dan obat-obatan -- para peserta juga dijanjikan akan memperoleh penyuluhan cara berkebun yang baik. Untuk persiapan lahan sampai siap tanam, misalnya, peserta mendapat kredit Rp 211.000 setiap hektar. Guna biaya perawatan disediakan Rp 88.000 per hektar setahunnya. Biaya ini diberikan sampai karet berproduksi, setelah sekitar 7 sampai 8 tahun. Baru setelah itu peserta wajib mengangsur kredit, yang diperhitungkan sekitar Rp 1 juta, dengan bunga 6% setahun. Tanpa pikir panjang, setelah menjadi peserta PRPTE, Ngela Bangun merobohkan pohon-pohon karetnya yang tua, yang selama ini memberikannya penghasilan Rp 60.000 sebulan. Dia begitu yakin akan keberhasilan proyek peremajaan perkebunan karet rakyat yang digalakkan pemerintah guna mendorong ekspor komoditi nonmigas tersebut. Tapi lagi-lagi, yang terjadi adalah cerita usang yang entah mengapa masih terus terjadi di Indonesia: pelaksanaan lain dengan yang dijanjikan. Dalam persiapan lahan, misalnya, seharusnya peserta yang mengerjakan. Ternyata yang melakukan seluruhnya pemborong. Pekerjaan pemborong dianggap asal jadi. "Apa yang mereka kerjakan jauh di bawah nilai kredit yang kami tanggung," kata A Bo, 43 tahun, yang juga petani peserta PRPTE. Tatkala pohon karet mulai ditanam pada Desember 1982, rumput yang tumbuh menyemak masih banyak. Pertumbuhan karet terganggu. Lebih-lebih pada saat menanam, kemarau panjang menyengat. Akibatnya, sekitar 75% pohon karet mati. Begitu selesai menanam, pemborong juga langsung meninggalkan lahan yang masih berantakan. Karuan saja para peserta menolak ketika prayek diserahterimakan pada mereka. Namun tatkala petugas PRPTE muncul dengan ancaman: kalau peserta menolak menerima, uang perawatan tidak akan keluar, mereka pun menyerah. "Penyerahan itu terpaksa kami terima, ketimbang kebun karet itu semakin rusak," ujar A Bo. Ternyata uang perawatan yang dijanjikan tak juga muncul. Setiap kali ditanyakan, jawabnya adalah janji: "menunggu dananya turun dari pusat". Para peserta pun diliputi ketidakpastian. Sebagian kini mencari nafkah dengan menjadi buruh di perkebunan. Ngela Bangun sendiri bekerja mocok-mocok alias serabutan di Kota Binjai. Padahal selama ini status mereka dianggap lebih terhormat: petani pemilik tanah. Kebun karet mereka? "Tak bisa diharap lagi. Penanamannya harus diulang," kata Ngela Bangun. Pemandangan seperti itu: kebun karet yang diremajakan tetapi mati dan membelukar, tampaknya meliputi hampir seluruh areal PRPTE di Langkat. Di kabupaten ini menurut Dinas Perkebunan Sum-Ut sebagai pimpinan proyek, terdapat 2.812 hektar kebun yang di PRPTE-kan, dengan biaya Rp 572 juta. Tapi menurut Kejaksaan Negeri Binjai, cuma seperempat dari areal tersebut yang dikerjakan. "Selebihnya, sekitar 75 persen adalah areal PRPTE fiktif," kata Heru Mustofa, kepala Bagian Operasi Kejaksaan Binjai. Ia memperkirakan, sekitar Rp 400 juta uang negara telah diselewengkan oknum-oknum Dinas Perkebunan Sum-Ut dari PRPTE di Kabupaten Langkat. Beberapa petugas PRPTE kini sedang diperiksa Kejaksaan Tinggi Sum-Ut. Heru menganggap, penyelewengan itu yang menyebabkan PRPTE gagal. Di seluruh Sum-Ut PRPTE meliputi areal 24.000 hektar dan biaya yang telah dikeluarkan sebanyak Rp 18 milyar. E.W.P. Tambunan, yang bulan lalu digantikan sebagai gubernur Sum-Ut oleh Kaharuddin Nasution, pernah ini mengakui, "Sekitar 30 persen PRPTE di Sum-Ut tak mencapai sasaran". Kegagalan ini, menurut dia, karena kurangnya personil, gangguan alam, dan menta para petani karet sendiri. "Banyak petani yang menelantarkan kebunnya," kata Tambunan. Ia tak menyinggung kemungkinan penyelewengan. Suherman, kepala Dinas Perkebunan Sum-Ut, mengakui penyelewengan d PRPTE "tak mustahil terjadi". "Tapi saya kira tak sebanyak yang diungkap Kejaksaan," katanya. Beberapa petugas, ia menolak menyebut jumlah, telah dipecat. Kegagalan proyek, menurut dia, hanya karena para petugas tak menguasai teknis penanaman karet. Menteri Muda Urusan Peningkatan Tanaman Keras Hasjrul Harahap menilai kegagalan pelaksanaan PRPTE di Sum-Ut karena proyek itu terlalu dipaksakan, hingga berbagai pihak yang terlibat belum siap. "Seperti orang yang dipaksa menulis memakai pulpen. Karena tak biasa, sudah tentu tulisannya tak beres," katanya pada wartawan di Medan dua pekan silam. Lalu bagaimana nasib PRPTE? "Kami sedang berkonsultasi untuk memutuskan apakah proyek tersebut diteruskan atau tidak," kata Hasjrul. Yang jelas tampaknya kepercayaan petani sudah meluntur, sedang kredi yang dikeluarkan agaknya sulit kembali "Mana mungkin kami bisa mengembalika kredit, kalau cuma semak yang kami terima?" kata Ngela Bangun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus