Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUT muka Dynand Fariz tidak tampak kelelahan. Baru saja kembali dari Solo pagi itu, kini ia sibuk memberikan pengarahan kepada peserta Jember Fashion Carnaval (JFC) XI, yang sedang berlatih pada Selasa sore pekan lalu.
"Tunjukkan bahwa kalian layak ditonton ribuan orang dan disiarkan media ke seluruh dunia," kata penggagas JFC itu memberi semangat. Ratusan peserta yang tampil bergantian di gedung JFC Centre, Jember, Jawa Timur, tersebut pun antusias memamerkan lagak mereka. Apalagi saat itu, selain Dynand, enam pasang mata juri dari sekolah mode Esmod, Jakarta, turut menilai kostum dan lenggak-lenggok para peserta sebelum tampil di karnaval pada 8 Juli kemarin.
Dynand Fariz adalah seorang pegiat mode dari Jember yang mengenalkan karnaval busana pada 2001. Dia mewujudkan sebuah karnaval fashion di jalanan yang diberi label Jember Fashion Carnaval. Menggunakan catwalk berupa jalan utama kota sepanjang 3,6 kilometer—disebut sebagai catwalk terpanjang di dunia—kini JFC semakin matang pada tahun kesebelas.
Jember, kota kecil di sudut tenggara Pulau Jawa yang dikenal sebagai Kota Tembakau, telah berubah menjadi kota wisata mode di Indonesia dan dunia. JFC pelopor fashion carnival di Indonesia, bahkan kini berada di urutan keempat karnaval paling fantastis dan spektakuler di dunia setelah Mardi Grass New Orleans, Amerika Serikat, dan Rio de Janeiro, Brasil; Fastnacht Koln, Jerman; serta National Costume di Taiwan.
Dynand mengakui konsep awal ini meniru karnaval di Rio. Tapi pengajar pendidikan kesejahteraan keluarga di Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya itu mengklaim Jember lebih unik karena busana yang digunakan merupakan karya peserta sendiri. Para peserta adalah desainer sekaligus model yang memperagakan karya mereka sendiri yang berasal dari bahan-bahan murah, bahkan rongsokan dan dedaunan. Mereka juga berasal dari beragam profesi, mulai pegawai negeri dan swasta, pegawai badan usaha milik negara, murid sekolah, personel Tentara Nasional Indonesia, mahasiswa, hingga narapidana. Beberapa napi memang diberi "kebebasan" oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Jember untuk ikut unjuk kebolehan.
Arif Tjahjono, Kepala Kantor Pariwisata Jember, mengakui JFC memberi dampak sosial ekonomi yang sangat besar bagi daerahnya. "Ya, paling tidak setiap tahun sekitar sebulan selama event itu dilakukan bersama event lain, kunjungan wisatawan lokal dan domestik naik drastis," katanya.
Ribuan turis berbondong-bondong mengunjungi Jember. Lihat saja, kata Arif, tiga hari sebelum JFC XI digelar, semua hotel di Jember sudah penuh. "Terpaksa beberapa tamu diarahkan ke hotel-hotel di Kabupaten Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi. Hotel terdekat di Bondowoso dan Lumajang ternyata juga sudah penuh untuk acara ini," ujarnya.
Efek domino JFC juga sangat terasa. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak "alumnus" JFC yang muncul dan menggerakkan kegiatan ekonomi kreatif di tempat asal masing-masing. Mereka membuka usaha mandiri, seperti merancang dan menjahit baju dengan model unik serta menjadi pelopor komunitas fashion, tari, dan menyanyi di sejumlah desa dan kecamatan.
Demam JFC pun "mewabah". Seolah-olah berlomba, dalam dua tahun terakhir sejumlah daerah di Jawa Timur membikin karnaval serupa. Di Malang ada Malang Flowers Carnival, Pasuruan punya Pasuruan Fashion Carnival, di Kediri ada Kediri Fashion Carnival, Lumajang dengan Lumajang on the Street and Stage Carnival, dan di Banyuwangi diberi label Banyuwangi Ethno Carnival. Daerah di luar Jawa Timur juga ketularan, seperti Solo dengan Solo Batik Carnival.
Terkesan latah, tapi wajar karena mereka tentu ingin juga ikut "gemerlap" seperti Kabupaten Jember. Apalagi inisiatifnya justru datang dari pemerintah daerah masing-masing. Seperti diakui Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dia kesengsem saat menonton JFC. Banyuwangi Ethno Carnival pun digelar pada Oktober 2011.Tak tanggung-tanggung, pemerintah Banyuwangi merogoh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah hingga Rp 500 juta demi kesuksesan acara ini.
Berkah buat Dynand Fariz. Sejumlah daerah mendapuknya sebagai konsultan. Ia, misalnya, dikontrak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banyuwangi menjadi konsultan selama tiga tahun, dengan bayaran tak kurang Rp 50 juta per tahun. "Pak Dynand sudah berpengalaman dan sukses. Kami juga belum memiliki seseorang yang mampu menangani fashion," kata Kepala Dinas Pariwisata Banyuwangi Suprayogi.
Dynand tak mau menanggapi saat ditanya soal penghasilannya sebagai konsultan. "Silakan jadikan JFC inspirasi. Kami di Jember, yang tidak punya apa-apa, terbukti bisa, kok," katanya sembari mengakui membimbing penyelenggaraan karnaval mode beberapa kota.
Sukses JFC diakui Maria Majid juga menginspirasi Lumajang. Pada Desember 2011, untuk pertama kalinya Lumajang on the Street and Stage (LOSS) Carnival bertajuk "Glow in the Dark" diselenggarakan. Maria menjadi penggagas karnaval itu dan sukses menampilkan 300 peraga busana di alun-alun kabupaten. Ia mengaku terpicu menjadikan LOSS sebagai ikon budaya Lumajang.
JFC telah bisa menjadi maskot Bulan Berkunjung Jember, Kontes Batik Probolinggo juga telah menjadi ikon Seminggu di Probolinggo. Sedangkan Lumajang, yang letaknya diapit dua daerah itu, tak punya jualan apa pun. Karena itu, kata Maria, muncul ide "1001 Malam di Lumajang" dengan LOSS Carnival sebagai ikonnya.
Berbeda dengan JFC yang digelar pada siang hari, LOSS berlangsung malam hari untuk menonjolkan busana berhiaskan lampion yang bercahaya. Ia menolak disebut meniru JFC, meski diakuinya beberapa kali melakukan diskusi dengan Iwan, adik Dynand Fariz. "Peniru tidak akan bisa lebih baik dibandingkan dengan yang ditiru," ucapnya.
Mahbub Djunaidy, Ikaningtyas, David Priyasidharta, Agussup
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo