Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Idhamsyah Eka Putra, yakin kasus serupa Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, yang diduga mempublikasikan artikel di jurnal predator, terjadi di banyak kampus. Bahlil mempublikasikan dua artikelnya di Kurdish Studies dan Migration Letters—keduanya discontinued sejak 2022—pada Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bukan hanya Bahlil, para dosen, guru besar, bahkan pejabat juga menerbitkan artikel di jurnal predator,” kata Idhamsyah, Kamis, 8 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesimpulan Idhamsyah didasarkan pada hasil penelusurannya di kedua jurnal tempat Bahlil mempublikasikan tulisannya itu. Ketika ia memasukkan kata "Indonesia" ke dalam fitur pencarian di kedua jurnal itu memunculkan ratusan nama akademikus asal Indonesia.
Jurnal predator merupakan jurnal internasional yang dalam penerbitannya tidak melalui proses peninjauan ilmiah. Karena itu kualitas jurnal semacam ini diragukan dunia akademik. Ciri-ciri jurnal predator, di antaranya, adalah per review minim, biaya penerbitan mahal, identitas editornya tak jelas, terbitan sering dan memuat banyak artikel dalam sekali terbit, serta isinya tidak sesuai dengan scope atau cakupan jurnal.
Idhamsyah juga mengutip hasil riset Arief Anshory Yusuf, dosen Universitas Padjadjaran Bandung. Arief menemukan sekitar 27 ribu artikel yang terbit di jurnal predator pada 2023.
Ia mengatakan banyak akademikus Indonesia yang terkecoh oleh jurnal internasional bereputasi Scopus. Scopus merupakan database yang memenuhi standar serta reputasi jurnal internasional. Padahal jurnal predator juga bisa terindeks Scopus. Sebab, Scopus hanya melihat manajemen jurnal itu, seperti jumlah personelnya. “Scopus tak melihat kualitas artikel ilmiah."
Editor pada Journal of Social and Political Psychology ini mengatakan akademikus seharusnya tidak terkecoh oleh jurnal internasional bereputasi. Karena itu, mereka harus memperhatikan nama editor jurnal tersebut. Jurnal berkualitas biasanya memiliki editor yang sudah dikenal oleh masyarakat akademikus dan diakui integritasnya.
Idhamsyah juga menilai kebijakan pemerintah yang mewajibkan dosen dan guru besar menerbitkan artikel ilmiah di jurnal bereputasi internasional memicu pelanggaran akademik.
Ilustrasi profesor mengajar di perguruan tinggi. Shutterstock
Sampai saat ini dosen di Indonesia dituntut mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12/E/KPT/ tahun 2021 pada BAB II tentang pengaturan beban kerja dosen menyebutkan bahwa dosen wajib mempublikasikan karya ilmiah untuk pengembangan karya akademik. Adapun jabatan dosen dari pangkat terendah adalah asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar.
Jabatan lektor kepala, misalnya, paling sedikit mempublikasikan tiga karya ilmiah di jurnal nasional. Sedangkan guru besar paling sedikit menerbitkan tiga karya ilmiah di jurnal internasional dan satu karya ilimiah di jurnal internasional bereputasi.
Publikasi karya ilmiah juga menjadi kebutuhan para dosen agar bisa naik jabatan. Hal itu diatur lewat Keputusan Menteri Nomor 209/P/2024 tentang Petunjuk Teknis Layanan Pembinaan dan Pengembangan Profesi dan Karier Dosen atau PO PAK 2024 yang berlaku mulai 15 Mei 2024. Syarat jabatan lektor kepala naik ke guru besar di antaranya satu karya ilmiah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus sebagai penulis pertama.
Baca juga:
Idhamsyah mengatakan, dalam proses pengajuan guru besar, masih banyak dosen yang menerbitkan artikel di jurnal predator. Namun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak tegas menindak mereka.
Masih dalam PO PAK 2024, penerbitan artikel di jurnal discontinued masih bisa dijadikan syarat seorang dosen menjadi guru besar. Tapi mereka harus dapat menunjukkan bukti korespondensi proses review serta memiliki tulisan yang baik.
“Aturan ini justru membiarkan maraknya jurnal predator. Padahal tak jelas juga ukuran review dengan baik,” ujar Idhamsyah.
Guru besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan sulit bisa menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi Scopus. Soalnya, artikel akan diproses oleh tim editor yang berasal dari para akademikus bereputasi. Karena itu, prosesnya membutuhkan waktu lama. “Tidak bisa dalam waktu dua-tiga bulan,” katanya, Kamis, 8 Agustus 2024.
Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Gunadi mengatakan guru besar yang terbukti melanggar aturan akademik akan dicabut status guru besarnya. Hak-haknya, seperti tunjangan guru besar, juga bisa dicabut. “Selain itu, yang paling penting adalah sanksi sosial. Jadi, dia tidak diterima lagi di kalangan civitas academica,” kata Gunadi.
Tempo meminta konfirmasi kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris dan Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Lukman. Namun, keduanya belum menjawab konfirmasi tersebut.
Sebelumnya, Abdul Haris membantah soal tuntutan pemerintah terhadap kuantitas publikasi jurnal membuat publikasi artikel di jurnal predator meningkat. Ia mengatakan Kementerian telah membangun sistem untuk mendorong peningkatan produktivitas penelitian yang berkualitas dengan tidak melanggar kode etik dan hukum. "Kami harap tujuan tersebut diikhtiarkan lewat cara-cara yang baik dan benar," katanya pada April lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo