Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yusril Sebut Pemerintah akan Pedomani Rekayasa Konstitusional MK untuk Revisi UU Pemilu

Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah masih membahas teknis revisi UU Pemilu, yakni menggunakan metode omnibus atau diamendemen satu per satu.

19 Januari 2025 | 17.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, 17 Januari 2025. ANTARA/Fath Putra Mulya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHKAMAH Konstitusi memberikan lima poin pedoman rekayasa konstitusional (constitutional engineering) saat memutuskan menghapus ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu. Pedoman itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memastikan pemerintah akan memedomani rekayasa konstitusional yang diberikan oleh MK untuk merevisi UU Pemilu setelah dihapusnya ambang batas presiden.

“MK sendiri sudah membuat panduan yang lima itu yang disebut dengan constitutional engineering dan dengan sendirinya pemerintah akan memedomani constitutional engineering itu dalam menyusun amendemen terhadap Pasal 222 (UU Pemilu) dan penambahan pasal-pasal baru terkait dengan pilpres,” ujar Yusril saat ditemui di Jakarta pada Jumat malam, 17 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

MK menyatakan ambang batas presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Di dalam pertimbangan hukumnya, MK mengamanatkan lima poin panduan rekayasa konstitusi kepada pembentuk undang-undang.

“Pemerintah menghormati putusan MK dan sebagai follow up (tindak lanjut) tentu pemerintah akan merevisi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terkait dengan pilpres, mengenai presidential threshold,” ujar Yusril memastikan.

Pakar hukum tata negara itu menyebutkan pemerintah masih membahas perihal teknis revisi UU Pemilu, yakni menggunakan metode omnibus atau diamendemen satu per satu. Yusril pun belum bisa memastikan inisiatif revisi akan dilakukan pemerintah atau DPR.

“Pemerintah akan melakukan, tapi bisa saja DPR mendahului. Kan kewenangan ini (merevisi undang-undang) sama. Tapi sudah pasti pemerintah akan mengubah Pasal 222 itu dan melengkapi dengan pasal baru sehingga memungkinkan Pilpres 2029 itu tanpa threshold lagi,” tuturnya.

Pemerintah juga akan mematuhi amanat MK mengenai larangan dominasi partai politik. Terkait hal ini, kata dia, pemerintah akan menggodok ketentuan dominasi yang belum diatur secara rinci oleh MK dalam putusan tersebut. “Sedang kita pikirkan bagaimana cara yang terbaik untuk itu,” tuturnya.

MK Menghapus Ambang Batas Presiden

Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen pada Pasal 222 UU Pemilu.

MK menyatakan ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

MK menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah menilai presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu, MK mendapatkan dasar yang kuat untuk menggeser pendiriannya yang sebelumnya menyatakan presidential threshold adalah kebijakan hukum terbuka.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Saldi.

Meskipun norma presidential threshold tidak lagi berlaku, MK menegaskan tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat pemilihan presiden. Karena itu, MK memberikan pedoman terkait rekayasa konstitusional tersebut kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.

Adapun alasan lain MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen ini karena Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensial dalam bentuk kepartaian majemuk. 

Saldi meminta agar jumlah pengusungan calon presiden dan wakil presiden sama dengan total peserta yang mengikuti pemilihan umum. Seperti jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, misalnya, dalam kontestasi politik ini total pasangan capres maupun wapres harus terdapat 30 pasangan yang diusulkan oleh partai politik yang mengikuti pemilu.

“Harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu,” ujarnya.

Lima Pedoman Rekayasa Konstitusional dari MK untuk Revisi UU Pemilu

Pada pertimbangan hukumnya, MK memberi lima pedoman bagi pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, untuk melakukan rekayasa konstitusional agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.

Lima poin pedoman tersebut adalah, pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Ragam Respons terhadap Isu Gibran akan Bergabung dengan Partai Golkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus