Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang peselancar mentas dari bibir pantai pesisir laut selatan di Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Pacitan, Selasa pekan lalu. Pakaian dan tubuh pria itu basah kuyup. Dengan menenteng papan selancarnya, turis itu melangkahkan kaki menuju Istana Ombak, penginapan yang hanya berjarak 30-an meter dari pantai. Lalu, byur, dia menceburkan diri ke kolam mini di depan bungalo.
Bungalo-bungalo dengan atap jerami yang menghadap ke biru laut itu menjadi salah satu lokasi favorit turis asing menginap. Mereka adalah peselancar yang datang dari berbagai negara—Jepang, Spanyol, Prancis, Amerika Serikat, ataupun Hong Kong. Puncak kunjungan para surfer biasanya mulai April hingga September. Saat itu, semua kamar habis dipesan. "Pada bulan-bulan itu ombak sedang bagus," kata anggota staf Istana Ombak, Aris Suroso, kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Turis-turis penantang ombak itu belum lama mengalir ke Pacitan. Seingat Aris, mereka mulai berdatangan ke Watukarung pada 2007-an. Jejaring informasi antarpeselancar lokal dengan luar negeri menjadi media promosi. Tak butuh waktu lama, pantai yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Pacitan ke arah barat itu menjadi jujugan peselancar berlatih. Selain pantai di Desa Watukarung, Pantai Pancer Door di Kecamatan Pacitan dan Pantai Srau menjadi lokasi favorit.
Untuk menuju Watukarung tidak mudah. Jalan di salah satu kabupaten termiskin di Jawa Timur itu belum mulus. Selain sempit, berkelok-kelok, dan naik-turun, sebagian besar aspalnya rusak. Kondisi itu membuat sepeda motor menjadi moda transportasi utama para surfer.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pacitan Eni Setyowati mengatakan pantai-pantai di Watukarung dan Pringkuku memang berpotensi untuk wisata surfing. Tak salah bila banyak bule menjadikannya sebagai jujugan. Ombak di pantai itu terkenal ekstrem, tidak mudah pecah dan besar-besar.
Indrata Nur Bayu Aji, anggota Pacitan Surf Club, mengatakan karakter ombak di sini berat dan hanya bisa ditaklukkan peselancar berpengalaman. Paling tinggi ombaknya terjadi saat musim kemarau. Tapi, pada hari biasa, tinggi ombak tak pernah kurang dari dua meter. "Ombaknya unik karena ada barrel, lubang di dalam ombak." Surfer profesional Bruce Irons dan Kelly Slater, kata Aji, beberapa kali menjajal "pipa" Watukarung ini. Kunjungan keduanya mendongkrak pamor Watukarung, yang sudah masuk situs para penggila surfing dunia.
Banyaknya peselancar asing berdatangan ke Watukarung menarik minat sejumlah pengusaha asing untuk berbisnis di sini. Sekitar akhir 2009, Rodney Philips Gordon Steeles membangun homestay Istana Ombak. Menurut Aris, lelaki Australia itu membeli tanah dari warga Watukarung seluas 1.100 meter persegi. Empat tahun lalu, tanah seluas itu dibayar Rodney tunai Rp 60 juta.
Sebelum membeli tanah itu, menurut Aris, Rodney menyurvei selama berbulan-bulan. Setelah ada lokasi yang cocok, ia melobi pemiliknya. Setelah sama-sama sepakat, proses jual-beli melibatkan jasa notaris. Karena warga asing tak gampang membeli tanah di Indonesia, si bos mengatasnamakan lahan itu sebagai hak milik seorang warga Solo, yang mengikat perjanjian kerja sama usaha dengan Rodney.Sukses Rodney diikuti warga asing lainnya, seperti Neil James Hargreaves, pemilik homestay Watu Hutan. Neil, yang juga warga Australia, mengaku menggunakan nama Siti Toifah, istrinya, sebagai pemegang resmi aset tanah dan bangunannya. "Kalau tidak begini, tidak bisa," ujar Neil dengan bahasa Indonesia terbata-bata.
Neil mengungkapkan ia tertarik membuka usaha penginapan di kawasan Pantai Watukarung untuk memudahkan akomodasi para surfer dari Amerika, Australia, Spanyol, dan Italia. Menurut dia, Watukarung memiliki ombak besar dan tidak pecah. "Perfect untuk peselancar profesional."
Selain itu, Watukarung menyuguhkan pemandangan yang indah. Di pantai terdapat lima batu karang besar yang sedap dipandang sambil bersantai di bungalo. Bukan itu saja. Saat air surut, batu dan bunga karang di tepi pantai terlihat jelas. Ombak dan view yang cantik itulah yang semakin menarik pengusaha asing untuk berinvestasi di Desa Watukarung.
Kini hampir seluruh lahan di tepi pantai yang masuk Dusun Ketro dan Gumulharjo, Desa Watukarung, telah berpindah tangan. Beberapa bidang dimiliki warga asing. Secara keseluruhan, menurut Kepala Dusun Ketro, Suprapto, sekitar tujuh hektare tanah di pesisir sudah beralih kepemilikan ke orang luar. Tanah yang jatuh ke pengusaha luar negeri dan luar daerah itu seluruhnya berada di tepi pantai dengan panjang 700-an meter. Bukan hanya di lokasi yang datar, lahan di puncak bukit batu kapur juga telah berpindah tangan.
Penduduk pemilik tanah pun hujan duit. Maklum, harga jual tanah melonjak gila-gilaan mencapai Rp 500-750 ribu per meter persegi, jauh di atas nilai jual obyek pajak yang Rp 20-an ribu. Suprapto tidak banyak tahu bagaimana proses jual-beli terjadi karena pemerintah desa tidak pernah dilibatkan. "Mereka (orang asing) langsung menggunakan jasa notaris. Kami tidak bisa melarang karena yang dijual adalah aset perorangan," ucapnya.
Pemerintah Pacitan tentu senang terhadap masuknya investasi ke daerahnya. Kepala Bidang Penanaman Modal Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Pacitan Ratna Susy Rahayu mengatakan sudah ada tiga pemodal asing masuk Watukarung. Izin mereka di bidang usaha penginapan dan peralatan selancar. Ketiga perusahaan itu adalah PT Indoecosurf, yang memiliki nilai investasi Rp 230 juta; PT Fehu Bali, yang menanam modal Rp 2,4 miliar; dan Homestay Desa Limasan, yang berinvestasi Rp 1,15 miliar.
Masyarakat desa juga mendapat berkah dari bisnis ini. Kepala Desa Watukarung Wiwid Pheni Dwiantani mengungkapkan sejumlah warganya membuka warung makan di pinggir pantai. Selain itu, warga setempat bisa belajar berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Beberapa pemuda desa bekerja sebagai anggota staf hotel.
Sayangnya, kedatangan turis ini berdampak pada gaya pergaulan remaja di situ. Wiwid cemas kunjungan surfer meningkat akan diikuti maraknya peredaran narkotik dan munculnya gaya hidup seks bebas. "Kami mulai bekerja sama dengan Dinas Kesehatan mensosialisasi kesehatan reproduksi dan bahaya narkotik kepada warga," katanya.
Pemerintah desa juga mulai memperketat pendataan wisatawan. Selama ini, menurut Wiwid, pengelola penginapan cenderung mengabaikan pelaporan data pengunjungnya. Upaya itu diharapkan mampu mendeteksi dini terjadinya penyelundupan imigran gelap dari Timur Tengah, misalnya. Terlebih, pada Maret 2011, kepolisian setempat menangkap belasan orang Iran di Watukarung. Mereka memanfaatkan penginapan-penginapan itu sebagai tempat transit sebelum menyeberang ke Australia.
Agus Supriyanto, Nofika Dian Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo