Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kebangkitan Kelas Rewel Dan Kenes?

Gambaran kelas menengah Indonesia. Mereka tak bisa diukur dari tingkat penghasilan atau penampilan. Namun ciri kelas menengah Indonesia seharusnya adalah berani dan punya inisiatif.

22 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA tak lagi kelas yang lapar. Sandang dan papan sudah cukup, ada mobil dan bisa pesiar. Mereka adalah kaum terpelajar. Maka mereka akan menjadi kelompok yang lebih rewel, cerewet, kenes, dan bahkan kepingin ikut serta untuk menentukan sesuatu di negeri ini. Inilah gambaran kelas menengah Indonesia menurut pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi. "Mereka punya keberanian untuk menyatakan 'kami adalah pembayar pajak'. Sehingga mereka bisa pula mengatakan ikut handarbeni, merasa ikut memiliki negara," katanya. Jumlah mereka, menurut beberapa ahli, bervariasi. Tergantung tolok ukurnya. Harold Crouch, misalnya, dengan ukuran jenis pekerjaan memperkirakannya sekitar 5% penduduk. Sedangkan menurut J.A.C. Mackie, dengan ukuran status pekerjaan, pengeluaran, dan lainlain, bisa sampai 10%. Jumlahnya pun bertambah mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi siapa sebenarnya yang disebut kelas menengah? Sosoknya mungkin bisa terlihat dari gaya hidupnya. Tinggal di kawasan real estate atau rumah berlantai marmar dengan pekarangan lebih dari 200 m2 di perkampungan, punya mobil dan televisi. Mereka adalah kaum usahawan, profesional, punya posisi manajerial, atau menyandang gelar akademis. Simbol lainnya yang paling mutakhir, tapi belum merata: punya beberapa kartu kredit dan telepon tangan. Memang tak semua diukur dari tingkat penghasilan atau penampilan. "Buat apa kita menggolongkan kelas menengah hanya berdasarkan ukuran income," kata pakar sosiologi Arief Budiman kepada TEMPO. Suatu strata masyarakat tak sahih disebut kelas menengah kalau belum menjadi suatu unit yang punya kekuatan politik tertentu. Karena itu, seperti kata guru besar psikologi dari Universitas Indonesia, Ny. Saparinah Sadli, ciri kelas menengah Indonesia seharusnya adalah berani dan punya inisiatif. Berani memperjuangkan sesuatu dan mempertahankan harga dan kepentingan dirinya, dan berinisiatif untuk berbuat sesuatu yang bisa berdampak bagi lingkungannya. Salah satu contoh adalah bagaimana kelompok ini gencar menentang three in one dan pelaksanaan UndangUndang Lalu Lintas dan Jalan Raya yang semula akan diberlakukan 17 September ini. Mereka tak setuju dengan rumusan UU yang mengancam sanksi denda jutaan rupiah. Protes keras itu berbuah. Three in one Jalan Sudirman dan Thamrin dibuat peraturan daerahnya, dan UU Lalu Lintas ditunda setahun. Sebelumnya ada pula protes soal monopoli pemungutan iuran televisi oleh PT Mekatama Raya, yang kemudian dibubarkan. Lain halnya kalau kelas menengah dienakkan. Tak seorang pun mengangkat protes ketika jalur Puncak dibebaskan dari bus dan truk di akhir pekan serta dibuat searah pada hari Sabtu dan Minggu petang. Kelas menengah di negara maju sering menjadi agen perubahan dan pembaruan. Di Indonesia mungkin sedikit berbeda. Sebagian kelas menengah Indonesia, menurut sejarahnya, lahir dari fasilitas birokrasi. Usahawan menjadi rekanan, mendapat proyek, kredit ringan, kemudahan, dan bantuan birokrasi. Cendekiawan memperoleh beasiswa atau bekerja pada Pemerintah sebagai peneliti, dosen, atau birokrat. Mereka lebih suka kemapanan, tak mau ribut. Memang hanya sedikit bisnismen yang tergolong entrepreneur sejati yang independen. Inilah, menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada Loekman Soetrisno, yang membuat mereka selalu loyal kepada Pemerintah. Sehingga mereka pasif terhadap problem sosial, ekonomi, dan politik yang muncul sebagai akibat dari beleid Pemerintah. Nasib intelektual juga memprihatinkan. "Mereka ditekan dengan dalih stabilitas," kata Arief lagi. Padahal peran mereka sangat berarti dalam perubahan yang terjadi di masyarakat untuk memberikan visi dan memformulasikan konflik yang terjadi. Tanpa peran intelektual, kalau ada revolusi, "Maka yang terjadi adalah kebrutalan." Karenanya, "Kita kini jangan terlalu berharap bahwa kelas menengah bisa jadi pahlawan," ujar pengamat sosial dari UI Paulus Wirutomo. Namun, bagaimanapun juga, mereka tetap punya potensi untuk suatu perubahan atau pembaruan. Terutama kelas menengah baru, yang lahir setelah negara didanai oleh pembayar pajak. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja dan Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus