Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bagaikan hidup di rumah kaca

Dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, membuat arus informasi tak bisa dikontrol. keterbukaan ini akan membawa masyarakat lebih bebas, kritis dan cerdas. prinsip kesejajaran pembangunan perlu ditumbuhkan.

22 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA, di usianya yang ke 47, masih memiliki batasbatas geografis yang jelas. Namun, atmosfer di atas wilayahnya adalah padang luas tanpa rambu-rambu.Arus informasi yang berseliweran bisa menerobos begitu bebasnya, menembus batas negara, batas provinsi, batas kabupaten, dan masuk ke segala lapisan masyarakat. Itulah dampak dari perkembangan teknologi informasi yangbelakangan ini demikian pesatnya. Dengan keampuhan teknologi komunikasi seperti satelit komunikasi dan serat optik yang tak terhitung jenisnya, setiaphari muncul temuan mesin komunikasi baru di masyarakat. Menurut Marwah Daud Ibrahim, doktor komunikasi yang kini bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, nantinya akan makin berkembang variasigabungan berbagai media. Ketika kita memiliki seperangkat telepon, modem, dan komputer, sesungguhnya di ujung jari kita sudah terbuka kemungkinan untukberhubungan dengan pusatpusat informasi di seluruh dunia. Variasi itu bisa bertambah lagi, misalnya, telepon dengan penayangan visual atau bisa sajaditambah lagi dengan printer. Di bidang audiovisual, dalam dua atau tiga tahun mendatang sudah dipasarkan jenis televisi -- media paling akrab denganmasyarakat -- yang sudah built in dengan antena parabola yang berukuran kecil tetapi berkemampuan besar. Marwah menggambarkan, kemajuan teknologi yang tak mungkin dibendung itu membuat umat manusia ini sebagai warga dunia. "Kita hidup dalam rumah kaca, di mana kita bisa mengintip orang dan kita dengan mudah diintip orang," ujar Marwah, 36 tahun, yang disertasi doktornya mengenai komunikasi satelit itu. Lantas, apa pengaruh kemajuan teknologi itu bagi sebuah negara, seperti Indonesia ini? Yang jelas, Pemerintah akan sulit mengontrol arus informasiitu. Marwah mengambil contoh Tragedi Tiananmen di Beijing -- pembantaian para demonstran prodemokrasi yang terjadi tiga tahun silam. Ketika media massa dibatasi, informasi itu tetap saja mengalir deras lewat faksimile. Begitu pula ketika terjadi kerusuhan rasial di Los Angeles, saat TVRI tidak memberi tempatuntuk penayangan tragedi itu. Bukan menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia. Karena dengan kebijaksanaan opened sky -- orang bebas memiliki parabola -- informasi datang lewat jaringan televisi asing yang tak bisa ditangkal. Harry Tjan Silalahi, pengamat politik dari CSIS, pun sependapat bahwa sikap menutupnutupi informasi yang dianggap rawan oleh pemerintah di masa datangakan sulit dilakukan. "Tak bisa lagi mengatakan no, no, no. Kita larang berita di sini, akan keluar juga di Radio Australia, Radio BBC, atau Radio Hilversum, yang amat mudah ditangkap di sini," katanya. Siaran televisi CNNjuga sudah gampang digaet dengan parabola diameter kecil. "Surat kabar asing yang dilarang masuk, tinggal difaksimile," kata Harry. Jadi? Harry menyarankan berbuatlah seperti public relations alias humas yang baik: jangan melarang yang jelek tetapi lebih menonjolkan yang baik. Dalam kaitan dengan kontrol, Marwah Daud menyebutkan contoh Uni Soviet dan Jerman. Di Uni Soviet terjadi disintegrasi, sementara Jerman malah bersatu.Bagi Marwah, itu memberikan pelajaran bahwa orang tak mau diatur lewat kontrol atau lewat pemaksaan. Orang mau bersatu jika merasa perlu untuk bersatu. Dankesatuan itu bukan lagi berdasarkan letak geografis semata, melainkan lebih bersifat networking, kepentingan. Semuanya ini dijalin lewat jaringan arus informasi. Menurut ahli komunikasi massa Dr. Eduard Depari, dengan arus informasi yang menggebu ini, kecenderungan keterbukaan bukan cuma sesuatu yang didambakan,melainkan suatu keharusan yang akan terjadi dalam era mendatang. Ia mengambil kasus dari makin banyaknya masyarakat penonton televisi dan beragamnya siaranyang bisa ditangkap. Monopoli televisi Pemerintah menjadi tidak efektif lagi.Semestinya Pemerintah mengizinkan dan memperbanyak pusat informasi di dalamnegeri dan memberi peluang lebih terbuka dalam menyebarkan informasi itu. Baik untuk media audio, audiovisual, maupun media cetak. Toh media di dalam negeri itu masih bisa dikontrol dibandingkan arus dari luar yang begitu mudah masuk dan sama sekali tak bisa dikekang. Eduard memang tak menyebutkan contoh jelas, tetapi orang pada maklum bagaimana media cetak begitu seringnya mendapat imbauan, dan radio maupun televisi swasta di Indonesia belum diizinkan menyiarkan berita sendiri --pusat informasi -- dan harus merelainya dari RRI/TVRI. Bagaimana dengan masyarakat lapisan "bawah"? Apa mereka tidak semakin tercecer dalam zaman informasi ini lantaran akses informasi kecil? Rentang pelapisan sosial memang masih lebar dan ini membuat daya serap masyarakatberbeda-beda dalam mengunyah informasi yang datang. Namun, menurut Eduard Depari, dampak informasi itu tetap ada, paling tidak membuat masyarakat semakin kritis. Sekarang ini, katanya, televisi sudah tersebar ke seantero negeri, sampai ke kalangan bawah di gubuk-gubuk. Walau pada masyarakat bawah itu televisi baru merupakan sarana hiburan semata-mata, banyak hiburan yang dikemas dengan sarat informasi. Apalagi masyarakatdihadapkan pada banyaknya pilihan siaran sehingga akhirnya masyarakat punya alternatif untuk membanding-bandingkan. Ini yang membuat sikap kritis itu muncul. Dalam hal ini, Marwah Daud punya contoh. bagaimana "tidak sejajarnya" pembangunan di Indonesia Timur dengan Indonesia Barat. Penonton televisi di pedalaman Sulawesi, misalnya, walaupun yang ditontonnya adalah musik, karena penyanyinya berdendang di daerah mewah Jakarta, mereka tentu merasakan betapaadanya "perbedaan" itu. "Karena itu, prinsip kesejajaran, yang sebenarnya merupakan prinsip berkomunikasi, harus ditumbuhkan," ujar Marwah. Alhasil, dengan derasnya arus informasi memasuki wilayah ini karena pesatnya kemajuan teknologi informasi itu, terjadi banyak perubahan pada masyarakat. Termasuk perubahan pada sosial budayanya sampai pada hal yang "kecil", misalnya pola hubungan antara anak dan ayah -- yang mendapat informasi sama besarnya. Pertanyaannya kemudian, format politik yang bagaimana yang kelak mesti diterapkan di sini setelah mengantisipasi dampak informasi itu? Ardian Taufik Gesuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus