GERAKAN kembali ke kitab suci, tampaknya, tak hanya terjadi pada umat Islam atau Kristen, tapi juga pada umat Hindu. Salah satu indikasinya adalah banyak yang berminat melakukan perjalanan suci atau tirthayatra ke India, yang disebut-sebut sebagai pusatnya Hindu di dunia. Dari Bali, dua pekan lalu, 21 orang melakukan tirthayatra. Menurut Sara Sastra, koordinator perjalanan ini, jumlah itu karena terbatasnya tempat, sementara peminat lebih dari seratus orang. Konon, perjalanan bulan Maret tahun depan, peminatnya lebih banyak. Perjalanan suci ke India ini dilangsungkan dua kali setahun, yakni bulan November dan Maret. Yang dikunjungi adalah tujuh tempat suci, yakni Badrinath (bekas tempat pertapaan Maharshi Vyasa di lereng Himalaya), Haridvar di Sungai Gangga, Ayodya (kota kelahiran Sri Rama), Mathura (kota kelahiran Sri Kresna), Vrindavan (taman bermainnya Sri Kresna ketika masih kecil), Triveni (tempat pertemuan tiga sungai: Gangga, Yamuna, dan Sarasvati). Kegairahan itu memang ada hubungannya dengan semakin banyaknya umat Hindu membaca kitab-kitab sucinya. Dalam kitab- kitab suci Hindu disebutkan, melakukan tirthayatra lebih mulia dari sekadar melakukan yadnya, upacara persembahyangan. Kegairahan ini mulai deras sekitar tiga tahun belakangan. Itu ditandai dengan banyaknya diselenggarakan seminar, diskusi, penelitian, yang dilakukan di kampus-kampus di berbagai kota. Juga berdirinya organisasi Keluarga Mahasiswa Hindu di berbagai kampus di Indonesia dan lahirnya Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Berbarengan dengan itu diterbitkan banyak buku keagamaan dalam kemasan yang lebih memikat. Suasana ini merambat ke pedesaan sehingga kegairahan itu menjadi meluas, terutama di kalangan muda. Faktor lain yang mendorong orang bergairah untuk mendalami kitab suci ini adalah rasa tidak puas terhadap ''hanya melaksanakan upacara''. Itu, menurut pengamatan Prof.Dr. I Gusti Ngurah Bagus, terjadi pada kalangan muda Hindu. ''Tuntutan rohani mereka yang semakin kritis ini tak terpenuhi dengan upacara saja,'' kata Ngurah Bagus, staf pengajar di Universitas Udayana dan salah satu pengurus FCHI. Mereka itu, kata Prof. Bagus, tak ingin beragama secara tradisional, yakni karena faktor keturunan. Mereka ingin memuaskan batin mereka dengan kajian yang kritis kepada agama. Sebelum ini, menurut Ngurah Bagus, kitab-kitab suci Hindu hanya dipelajari kalangan pendeta (ulama), sementara pada masyarakat awamnya, hanya terpaku pada ritual ibadah saja. Pendapat ini disepakati Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia, penerjemah banyak kitab suci Hindu. ''Mereka memang rajin bersembahyang ke pura. Tapi, mereka tak tahu secara benar, apa pura itu dan bagaimana seharusnya berperilaku di pura, apa tujuan bersembahyang, apa arti simbol- simbol di dalam persembahyangan,'' kata Wiana. Di masa silam, kata Wiana lagi, bahkan ada anggapan bahwa bagi ''masyarakat kebanyakan'' mempelajari Weda adalah tabu. Di samping itu, buku-buku Weda yang masih ditulis dalam bahasa Sanskerta belum banyak diterjemahkan. Sekarang, penerjemah sudah banyak. Buku pun sudah tersebar. Dan hambatan psikologis karena soal kasta -- misalnya ''orang kebanyakan'' tabu membaca kitab Weda -- sudah terkikis habis. Namun, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya: kemiskinan dan rendahnya pendidikan di masa lalu. Menurut Ketua FCHI Putu Setia dalam bukunya, Kebangkitan Hindu: Menyongsong Abad Ke 21, meningkatnya taraf pendidikan masyarakat dan membaiknya ekonomi membuat orang mampu membeli buku-buku. Lewat buku itu kemudian mereka mempelajari agama secara benar, agama yang tak cuma berisi masalah ritual. Sebenarnya, upaya memasyarakatkan kitab suci Weda sudah pernah dilaksanakan pada abad ke-10. Yakni pada masa Raja Dharmawangsa Teguh berkuasa di tanah Jawa. Ketika itu, menurut Ketut Wiana dalam bukunya Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan, sebagian dari isi Astadasa Parwa sudah dibahasajawakan. Usaha Raja Dharmawangsa ini bertujuan memenuhi tuntutan masyarakat yang haus akan ajaran yang terkandung dalam kitab Astadasa Parwa itu. Tak heran, bila ketika itu kisah Ramayana dan Mahabharata, yang terkandung dalam kitab itu, sangat menonjol untuk menyampaikan ajaran-ajaran Hindu. Tampaknya, sikap antusias semacam itu yang terulang pada masa kini. Namun, di balik kegairahan ini, terlihat sikap hati-hati dari beberapa cendekiawan Hindu. Banyaknya orang Hindu Indonesia berkunjung ke India, menurut Ketua PHDI Ida Bagus Agastya, akan menimbulkan pluralisme dalam Hindu Indonesia. Yang dikhawatirkannya adalah bila orang-orang itu kembali dan membawa-bawa sekte yang begitu banyak di India. Apalagi bila sekte-sekte yang dibawa itu tidak akur satu sama lain. Itu akan berpengaruh pada budaya setempat. Untuk itu, Agastya meminta, ''Jangan membawa mentah-mentah budaya India ke Indonesia.'' Kekhawatiran ini juga dirasakan Ngurah Bagus. Menurut Bagus, fenomena ini akan memberi peluang bagi sekte-sekte Hindu di India masuk ke Indonesia. ''Inilah yang harus kita waspadai. Orang India sangat ambisius dalam hal ini,'' kata Bagus mengingatkan. Bagus menyarankan, sebelum melakukan tirthayatra ke India, lebih dulu harus memahami Hindu di Indonesia secara konseptual, sehingga bisa membedakan antara Hindu yang di India dan Hindu di Indonesia. Artinya, pendalaman agama boleh dilakukan di India, tetapi kembali ke Indonesia tetap mempergunakan budaya setempat.Julizar Kasiri (Jakarta) dan Putu Fajar Arcana(Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini