PENGGUSURAN pasti minta korban. Kali ini yang terancam menjadi korban adalah Masjid Hidayatullah, diperkirakan berusia 200 tahun, di Karet, Jakarta. Masjid dengan arsitektur bergaya abad ke-18 itu -- antara lain dua menara cungkup seperti Masjid Demak itu -- menurut keputusan Gubernur DKI Jakarta 29 Maret 1993, memang tak tercatat sebagai bangunan bersejarah yang mesti dilindungi. Maka, Senin pekan lalu, tim terpadu pemerintah daerah Jakarta Selatan datanglah ke lokasi. Namun, yang terjadi adalah bentrok antara pengurus, jemaah pendukung masjid di satu pihak dan pengawal developer di pihak lain. Tiga orang pengurus masjid terkena bacokan. Jalan proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) sepanjang 50 meter lebar 4 meter itu, katanya, adalah milik pemerintah daerah dan menjadi bagian tanah yang dilepas kepada PT Danamon dengan ganti rugi Rp 1,8 miliar. ''Tim pemerintah daerah sebenarnya cuma mau membongkar portal dan pagar kawat di jalan menuju masjid, bukan untuk membongkar masjid,'' kata M. Yanis, Kepala Sub-Bagian Humas Jakarta Selatan. Saat ini di lokasi yang akan jadi proyek perkantoran PT Danamon itu, Masjid Hidayatullah terpuruk sendirian. Di sekitarnya tampak tanah kosong yang luas. Dan masjid itu telah mendapat persetujuan dari Pemerintah DKI untuk dibongkar. Sebagai gantinya, pihak developer telah membangun masjid lebih mentereng dengan nama yang sama -- sekitar 1,5 km dari masjid tua itu. Bahkan pihak developer juga telah mendapat persetujuan pertukaran tanah wakaf dari Menteri Agama, bulan Agustus lalu. Dan dua nazir wakaf, K.H. Dimyati Ilyas dan H. Rachman, disebut-sebut telah sepakat menerima ruislag masjid tua itu dengan yang baru. Untuk membangun masjid pengganti, PT Danamon telah mengeluarkan biaya Rp 5 miliar dan memberikan biaya operasi Rp 100 juta plus sebuah Toyota Kijang. Karenanya, pihak developer merasa tak ada masalah. ''Kami telah melakukan negosiasi dengan pengurus masjid, dan tak merasa perlu mengaitkannya dengan masalah intern antar-mereka,'' kata Denny Kailimang, pengacara Danamon. Namun, pengurus masjid dan sejumlah jemaah menolaknya. ''Kedua nama itu sudah dua tahun tak aktif lagi sebagai pengurus masjid. Dan negosiasi dilakukan tanpa sepengetahuan ahli waris pewakaf dan pengurus masjid aktif,'' kata nazir wakaf merangkap pengurus masjid, H. Nawawi Hakam. Menghadapi hal ini, Rachman, satu dari dua nazir wakaf yang melakukan negosiasi dengan developer, memilih diam. Ia melihatnya sebagai persoalan keluarga, antara pewaris dan nazir wakaf. Namun, yang menjadi masalah utama, menurut M. Dault, pengacara warga masjid itu, tentu bukan semata prosedur. Ia mempersoalkan bahwa pemerintah setempat tak memperhatikan nilai sejarah masjid itu. Arsitekturnya unik, dan usianya pun lebih dari 200 tahun. Dault sendiri mengklaim sudah mendapat penegasan dari Dinas Museum dan Sejarah DKI bahwa masjid itu masuk bangunan yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya. Menurut Dault, warga memang menerima bila harus pindah. Tapi tak berarti masjid bersejarah itu lantas boleh digusur. Toh masjid itu bisa dipercantik dan digunakan oleh warga perkantoran, seperti Masjid At Tabi'in di Kalilio, Senen, yang dipertahankan keasliannya. Namun, menurut Pemerintah DKI, masjid itu tak masuk bangunan bersejarah DKI. Dari tujuh buah bangunan cagar budaya dibawah pengawasan Dinas Museum dan Sejarah di Jakarta Selatan, masjid Hidayatullah itu memang tak tercatat. Nunik Iswardhani, Taufik Alwie, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini