Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kesehatan menyetop keterlibatannya dalam proyek vaksin Nusantara.
Pengujian terhadap penelitian tersebut adalah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
BPOM menyarankan tim peneliti vaksin Nusantara mengulang kembali uji praklinis sebelum melanjutkan uji klinis.
JAKARTA – Kementerian Kesehatan menyatakan menyetop sementara keterlibatannya dalam proyek pengembangan vaksin sel dendritik atau vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Juru bicara program vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, mengatakan kemitraan dengan PT Rama Emerald Multi Sukses dan Aivita Biomedical Inc belum dilanjutkan setelah penelitian bergeser dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi Semarang ke RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadia mengklarifikasi peran Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dalam proyek ini hanya menyediakan tempat bagi proses uji klinis vaksin. Dia juga menegaskan, Kementerian tidak mendanai langsung penelitian tersebut. “Kami hanya mengucurkan duit untuk rapat koordinasi,” ujar Nadia, kemarin. Namun dia tidak menjelaskan waktu ataupun besaran anggaran yang dikeluarkan tersebut. Sejauh ini, kata Nadia, sokongan dana hanya berasal dari anggaran RSUP Kariadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemitraan Kementerian, Nadia menuturkan, dapat dilanjutkan jika tim peneliti melengkapi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). "Sementara RS Kariadi kan tidak melanjutkan penelitiannya sambil melengkapi syarat CPOB," kata Nadia.
Adapun pengujian vaksin Nusantara di RSUP Dr Kariadi berhenti setelah tim peneliti bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta pada 10 Maret lalu. Pejabat hubungan masyarakat RSUP Dr Kariadi, Parna, turut membenarkan bahwa penelitian vaksin Nusantara di lembaganya belum dilanjutkan.
Nadia melanjutkan, saat ini proyek vaksin Nusantara berada di tangan peneliti dan RSPAD Gatot Subroto selaku tempat pengujian. Dia mengatakan pemerintah tidak bisa mengintervensi proses tersebut karena sudah masuk ranah peneliti. Adapun pengujian terhadap penelitian tersebut merupakan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Ini ranahnya peneliti dan BPOM," ujar dia.
Meski keterlibatan pemerintah disetop sementara, Nadia mengklaim lembaganya tetap mengawasi relawan yang terlibat dalam uji vaksin di RSUP Kariadi.
Proses uji klinis vaksin Nusantara menuai pro-kontra setelah BPOM merilis hasil inspeksi selama tahapan uji klinis fase pertama. Dalam temuannya, BPOM menyebutkan ada prosedur uji klinis yang tak sesuai dengan kaidah penelitian. Peneliti disebut mengabaikan sejumlah poin persetujuan pelaksanaan uji klinis (PPUK) yang disyaratkan BPOM.
Aburizal Bakrie (kanan) disuntik Vaksin Nusantara oleh dr. Terawan. detik.com/Istimewa
Data interim uji klinis fase I vaksin Nusantara dianggap belum cukup menjadi dasar untuk dilanjutkan ke uji klinis fase II. BPOM mendapati ketidakcukupan keamanan dan kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi serta pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik—metode pengembangan yang digunakan dalam proyek vaksin Nusantara.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menyarankan tim peneliti vaksin Nusantara mengulang kembali uji praklinis sebelum melanjutkan uji klinis. Alasannya, "Di dalam praklinis, aspek perlindungan terhadap subyek relawan uji klinis yang melibatkan manusia bisa dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," kata Penny.
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menilai pemerintah semestinya mencabut dukungan dalam proyek vaksin Nusantara. Salah satu langkah yang bisa dilakukan, kata Dicky, adalah melarang pelaksanaan uji vaksin di RSPAD Gatot Soebroto yang notabene merupakan fasilitas yang dibiayai negara.
Menurut Dicky, tahapan vaksinasi dengan vaksin Nusantara juga memiliki potensi kerawanan berupa infeksi. Sebab, prosesnya mengambil darah dari tubuh subyek lalu dimasukkan kembali. "Pemerintah tidak boleh membiarkan hal seperti ini. Kalau salah secara metode ilmiah, harus diluruskan," kata Dicky.
MAYA AYU PUSPITASARI | FRISKI RIANA | EGI ADYATAMA | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo