Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keputusan memilih pemimpin dan Dewas KPK dari kepolisian menunjukkan DPR tak peka.
Firli Bahuri, Ketua KPK sebelumnya, menjadi tersangka korupsi dan banyak pelanggaran etik.
Rapor merah Firli Bahuri seharusnya tidak menjadi kesalahan yang berulang.
PUSAT Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM menyoroti dominannya aparatur hukum dalam komposisi pimpinan dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) periode 2024-2029. Peneliti dari Pukat UGM, Yuris Rezha, mengatakan keputusan memilih Setyo Budiyanto dan Benny Jozua Mamoto sebagai Ketua KPK dan Dewas KPK menunjukkan Dewan Perwakilan Rakyat tak mampu belajar dari hasil buruk pada periode sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil buruk yang dimaksudkan Yuris adalah ketika KPK periode 2019-2024 dikomandoi Firli Bahuri, yang berasal dari Korps Bhayangkara berpangkat komisaris jenderal. Saat ini, Firli berstatus tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Namun perkembangan kasus Firli di Kepolisian Daerah Metro Jaya mandek selama hampir satu tahun bergulir. “Ini seperti mengulang kesalahan,” ujar Yuris saat dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eks Ketua KPK, Firli Bahuri, setelah diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 1 Desember 2023. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna
Yuris menuturkan Pukat UGM kerap menolak proses seleksi calon pimpinan dan Dewas KPK yang didominasi aparat penegak hukum. Alasannya, KPK seharusnya menjadi lembaga negara yang mampu menyeimbangkan posisinya di antara lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Menurut Yuris, keberadaan KPK sebagai lembaga independen akan membuat peluang pemberantasan korupsi di semua lembaga makin kuat.
Sebab, kata Yuris, persoalan terbesar korupsi di Indonesia adalah korupsi peradilan atau korupsi yang diduga dilakukan aparat penegak hukum. KPK akan sulit memberantas korupsi jika personel di dalamnya diisi oleh mayoritas dari lembaga penegak hukum. “Komposisi KPK saat ini sama saja dengan membunuh lembaga tersebut secara perlahan,” ujarnya.
Komisi III DPR kemarin rampung menggelar fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan bagi 10 nama calon pimpinan KPK serta 10 nama calon Dewas KPK. Hasil voting, komisi yang membidangi hukum itu memilih lima nama sebagai komisioner KPK, yakni Setyo Budiyanto yang berasal dari kepolisian, Fitroh Rohcahyanto (jaksa), Ibnu Basuki Widodo (hakim), Johanis Tanak (jaksa), dan Agus Joko Pramono (auditor Badan Pemeriksa Keuangan). Adapun unsur Dewas KPK terdiri atas Benny Jozua Mamoto (pensiunan polisi), Chisca Mirawati (bankir), Wisnu Baroto (jaksa), serta Gusrizal dan Sumpeno (hakim).
Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan lembaganya mencatat sepak terjang Firli Bahuri dalam 100 hari memimpin KPK periode 2019-2024. ICW menilai KPK di bawah komando Firli minim prestasi dan lebih banyak menuai kontroversi sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah.
ICW setidaknya mencatat tujuh hal kontroversial selama Firli memimpin KPK. Pegiat antikorupsi itu mencontohkan, KPK gagal menangkap Harun Masiku, politikus yang diduga menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPK juga terkesan lamban menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrahman, yang menjadi buron saat itu. Padahal rekam jejak KPK selama ini dikenal cepat dalam menangkap tersangka korupsi yang kabur.
ICW juga mencatat komisioner KPK cenderung tidak memberikan informasi secara transparan kepada publik ihwal penanganan kasus. Salah satunya kejadian penyidik KPK yang diduga disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Ketua Badan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan kontroversi Firli juga menyebabkan sejumlah pegawai terbaik KPK tersingkir atas dalih tes wawasan kebangsaan (TWK). PBHI juga menyatakan mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu pernah disinyalir terjerat sejumlah kasus dugaan pelanggaran kode etik, seperti menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadi, penanganan kasus Formula-E, dan bertemu dengan Lukas Enembe, tersangka korupsi yang tengah beperkara dengan KPK saat itu. “Mestinya perkara Firli menjadi preseden bagi DPR dan panitia seleksi agar tidak mengulangi kesalahan,” ujar Julius.
Dari sejumlah catatan lain, selama masa kepemimpinan Firli, komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, memilih mundur. Lili diduga melanggar etik karena menerima akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP 2022 di Mandalika, Nusa Tenggara Timur, dari salah satu badan usaha milik negara. Lili digantikan Johanis Tanak. Namun dia pun terseret kasus pelanggaran kode etik karena berkomunikasi dengan pihak beperkara di KPK, yaitu pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun Dewas KPK menyatakan Johanis Tanak tidak melanggar kode etik.
Atas berbagai catatan dalam rapor merah Firli Bahuri, menurut Julius, semestinya DPR mampu mengimplementasikan komitmen untuk membenahi masalah KPK dari buruknya opini publik. Selain itu, DPR seharusnya mampu membenahi dengan meningkatkan kemampuan komisi antirasuah menyelidiki sejumlah kasus korupsi sejak Undang-Undang KPK direvisi pada 2019. “Namun hal yang terjadi, DPR mengulangi kesalahan dengan memilih calon yang berpotensi tinggi terjadinya konflik kepentingan lembaga,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan heran akan komposisi pimpinan dan Dewas KPK yang dipilih DPR periode ini. Menurut dia, tidak ada aturan atau pasal yang mewajibkan pimpinan KPK harus berasal dari kalangan aparat penegak hukum. Saut menilai terdapat potensi konflik kepentingan apabila komposisi pimpinan KPK didominasi oleh penegak hukum.
Namun Saut berharap Setyo Budiyanto mampu menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan berkomitmen memperkuat pemberantasan korupsi. Menurut Saut, Setyo, yang pernah menjabat Direktur Penindakan KPK, semestinya dapat membawa angin segar bagi pemimpin lain yang baru menjabat di komisi antirasuah. “Soal bagaimana kinerja, kita ingin lihat pembuktian dulu,” kata Saut.
Nasir Djamil. TEMPO/Imam Sukamto
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, memahami kekhawatiran para pegiat dan peneliti antikorupsi terhadap komposisi pimpinan serta Dewas KPK yang didominasi aparat penegak hukum. Namun dia yakin Setyo tidak akan mengulangi kesalahan pimpinan KPK sebelumnya. Nasir berharap komposisi ini dapat memudahkan KPK untuk bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain. “Sehingga tidak ada yang merasa lebih rendah atau lebih tinggi,” ujar Nasir.
Ihwal tidak adanya perwakilan masyarakat sipil, Nasir menjelaskan, hal tersebut merupakan hasil voting para legislator di Komisi III DPR. “Secara aturan juga memang tidak ada aturan yang mengharuskan pimpinan KPK dari institusi penegak hukum atau masyarakat,” ucap politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Eka Yudha Saputra, Nandito Putra, dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini