Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu siang, Triana Krisandini pulang terburu-buru dari sekolah. Di rumah, siswi kelas II SMA Santa Ursula Jakarta langsung ini menemui ibunya, Krisnina Maharani. Dia menumpahkan kerisauannya sambil menyodorkan buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA. ”Papa kok masih seperti orang yang bersalah,” katanya.
Buku itu dipinjam anak ketiga Akbar Tandjung itu dari teman sekolahnya. Kebetulan, Triana yang duduk kelas II IPS belum mendapatkannya. Dia penasaran ingin membaca buku itu karena, menurut bisikan teman-temannya, ada kasus ayahnya di dalamnya.
Setelah mendapatkan buku itu, Triana langsung memelototinya sepanjang perjalanan pulang bersama sopirnya. Dalam buku karya Retno Listyarti itu terdapat bab ”Keterbukaan dan Jaminan Sosial”. Di bagian ini dibahas antara lain soal korupsi dan dimuat pula potongan berita dari harian Kompas edisi 13 Februari 2004 yang berjudul ”Dissenting Opinion Abdul Rahman Saleh: MA Tidak Boleh Lupakan Perasaan Keadilan”.
Berita itu menyangkut kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar dan Akbar Tandjung menjadi salah satu terdakwanya. Bekas Ketua Umum Partai Golkar ini dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung. Namun, dalam vonis itu, salah seorang hakim agung, Abdul Rahman Saleh, mengajukan pendapat berbeda. Dengan berbagai argumen dia berkeyakinan terdakwa bersalah.
Di bawah penggalan berita ada sejumlah pertanyaan yang mesti dijawab para siswa. Apakah Akbar Tandjung memang harus dibebaskan? Apakah putusan itu telah memenuhi rasa keadilan masyarakat? Kelak, jika sudah mendapatkan mata pelajaran Kewarganegaraan, Triana juga mesti menjawab pertanyaan ini. Itu sebabnya dia risau dan buru-buru mengadu kepada ibunya sesampainya di rumah.
Malam harinya, Kamis dua pekan lalu, keluhan sang putri langsung ditanggapi serius oleh Akbar Tandjung. Berulang kali sang ayah menyimak isi buku terbitan ESIS, anak perusahaan penerbit Erlangga, itu. Atmajaya Salim, salah seorang anggota tim pengacaranya, pun dipanggil. Akhirnya, Akbar memutuskan untuk mengirimkan somasi kepada pengarang dan penerbitnya.
Dilayangkan pada 29 Juli lalu, dalam somasi itu Akbar menuntut permintaan maaf, penarikan buku dari peredaran, dan penghapusan seluruh materi tentang kasus dirinya. Kalau permintaan ini tidak dipenuhi, dia akan membawa kasus ini ke pengadilan.
Menurut Akbar, jika kasusnya dijadikan rujukan dalam materi pendidikan, sajiannya harus seimbang. Pendapat empat hakim agung lainnya semestinya juga dikutip. ”Oleh empat anggota majelis hakim itu saya dinyatakan bebas,” katanya.
Menghadapi somasi itu, Retno Listyarti, 35 tahun, tak gentar. Ibu dua anak yang pernah meraih berbagai penghargaan karena karya tulisnya ini tak merasa bersalah. Ia pun siap menghadapi pengadilan. Di sana, Retno justru akan bisa memperjuangkan haknya sebagai guru dan penulis untuk berkreasi dalam mendidik siswa. ”Kalau mantan pejabat bisa mengatur bagaimana cara guru harus mengajar, bisa gawat negeri ini,” kata guru SMA Negeri 13 Jakarta itu.
Dia juga memprotes tindakan Akbar yang meminta sekolah-sekolah tidak menggunakan buku tersebut dengan dalih sedang dalam sengketa. ”Ini tidak benar. Somasi mereka belum saya jawab, kok mereka melayangkan surat seperti itu ke beberapa sekolah. Ini pemasungan hak pedagogis saya,” katanya.
PT Erlangga Mahameru sebagai induk ESIS sudah menanggapi somasi Akbar Tandjung. Kuasa hukumnya, Sabas Sinaga, juga meminta agar tidak ada tindakan hukum yang merugikan penerbit. ”Saya menyesalkan tindakan yang meminta sekolah-sekolah tidak lagi menggunakan buku klien kami,” kata Sabas.
Menurut Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional, Suwarsih Madya, sebenarnya guru bisa memilih kasus yang dianggap menarik untuk dibahas di kelas. ”Guru berhak membahas kasus apa pun yang terjadi di negaranya sendiri, karena hal itu bagian dari keterbukaan,” katanya.
Namun, SMA Santa Ursula ternyata menghentikan pemakaian buku Retno di sekolahnya. Salah seorang wali kelas, Tuti, mengatakan, keluarga Akbar Tandjung meminta buku itu tidak lagi digunakan. Akbar pun tak membantah hal itu. Menurut dia, istrinya, Krisnina, memang sudah menemui pimpinan sekolah dan meminta buku itu tak dipakai lagi.
Jalil Hakim, Utami Widowati, Rinaldi D. Gultom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo