Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengungkap Misteri Dana Polisi

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalangan kriminolog kerap membagi kejahatan dalam tiga kategori berdasarkan motif di belakangnya. Yang pertama adalah kejahatan emosional, biasanya dilakukan dengan maksud mempertahankan harkat diri atau kelompok. Berikutnya adalah yang berdasarkan hasrat merusak alias vandalisme. Yang terakhir, dan paling banyak, adalah yang dilakukan dengan motif ekonomi. Korupsi, perampokan, pencurian, penyelundupan, dan penggelapan adalah contoh kegiatan haram akibat dorongan mendapatkan keuntungan finansial ini.

Karena maksud kejahatan ekonomi adalah mendapatkan keuntungan, cara menangkalnya tentu dengan menghilangkan keuntungan itu. Di banyak negara, hal ini dilakukan antara lain dengan cara menjatuhkan hukuman lebih tinggi kepada tukang tadah ketimbang pencuri. Maksudnya jelas, bila tak ada yang mau jadi tukang tadah, pencuri dan perampok tak bisa menjual hasil kejahatannya, sehingga tak dapat memperoleh keuntungan. Jika potensi mendapat keuntungan dari menjual barang curian dan barang rampokan hilang, kegiatan haram itu pun akan lenyap atau setidaknya turun drastis.

Teori ini juga diterapkan pada kejahatan ekonomi lainnya seperti judi gelap, pelacuran, penyelundupan, dan korupsi. Hanya saja diperlukan modifikasi dalam metode penangkalannya, karena bentuk ”barang” hasil kejahatannya berbeda dimensi. ”Tukang tadah” dalam kejahatan ini umumnya adalah lembaga pengelola dan penyimpan uang seperti bank. Itu sebabnya kegiatan usaha di bidang keuangan harus diatur agar tak menerima dan mengelola dana haram.

Undang-undang antipencucian uang seperti UU No. 25 Tahun 2003 dibuat dalam rangka mencegah kehadiran tukang tadah di bidang keuangan. Ancaman hukuman bagi pelaku tindak kriminal pencucian uang ini pun cukup menggentarkan: minimum 5 tahun penjara dan maksimum 15 tahun, belum termasuk denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar. Selain untuk perseorangan, hukuman juga dapat dijatuhkan kepada korporasi, baik yang legal maupun yang bukan.

Dengan jaring hukum seperti ini, seseorang atau sebuah korporasi dapat dijerat bila tak dapat menjelaskan asal-muasal dana yang dimiliki atau disimpannya. Untuk menghindar dari tuduhan sebagai ”tukang tadah”, lembaga jasa keuangan seperti bank, yang setiap hari mengolah banyak transaksi keuangan, harus melaporkan setiap penerimaan ataupun transaksi lain yang mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga independen ini akan meneliti lebih lanjut hasil laporan itu, dan bila menemukan dugaan pelanggaran hukum, wajib melaporkannya ke aparat berwenang.

Pelaporan inilah yang terjadi pada 26 Juli lalu, yaitu ketika pimpinan PPATK dan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyerahkan daftar 15 anggota polisi yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan kepada Jenderal Sutanto. Kini menjadi tugas Kepala Kepolisian RI itu untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan tersebut. Kelima belas polisi itu harus mampu membuktikan bahwa berbagai transaksi yang dilakukan halal adanya. Bila tidak, mereka akan masuk penjara minimal lima tahun karena melakukan pencucian uang, tanpa harus dibuktikan melakukan korupsi atau tindak pidana lainnya. Pertanyaannya sekarang: apakah Kapolri mampu dan mau melakukannya?

Sampai tulisan ini dibuat, kesan yang muncul adalah hadirnya kemauan itu, kendati bagi kebanyakan orang prosesnya terasa lambat. Pergantian Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, lembaga yang diperintahkan Jenderal Sutanto mengusut perkara ini, mudah-mudahan adalah langkah awal dari upaya membersihkan lembaga kepolisian dari anggota yang bergelimang uang haram. Namun, bila harapan ini ternyata berbuah pada kekecewaan rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wajib mengambil tindakan tegas, bahkan kalau perlu mengganti pucuk pimpinan polisi dengan sosok yang lebih tegas dan lebih berani.

Soalnya, keberanian untuk membersihkan institusi polisi dari perilaku korup adalah sebuah keniscayaan, bila Presiden Yudhoyono ingin menjalankan janjinya membasmi korupsi di negeri ini. Sebagai lembaga penegak hukum, polisi adalah instrumen vital—bagai sapu untuk membersihkan lantai yang kotor. Bila sapunya kotor, tentu lantai tak mungkin menjadi bersih, malah semakin jorok. Sebab, seperti dikatakan pakar kriminologi Lawrence W. Sherman, bila perilaku korup polisi dibiarkan, ”organisasi polisi akan menjadi lembaga pencipta kejahatan, bukan penangkalnya”.

Peringatan pakar ilmu kepolisian terpandang dari Amerika Serikat ini harus dicermati dengan serius. Presiden Yudhoyono perlu memberikan instruksi kepada Jenderal Sutanto agar lebih cepat dan tegas bertindak. Polisi yang bergelimang dana haram wajib dipecat dan selekasnya digelandang ke pengadilan. Polisi harus segera dikembalikan ke fungsi utamanya menangkal kejahatan, bukan malah menciptakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus