Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Penerus Ki Hadjar di Manokwari

Guru matematika di SMAN 3 Manokwari, Krisye Kloudia Adimin, mengubah cara mengajar dan pola interaksi dengan siswa setelah mengikuti program Guru Penggerak. Inspirasi apa saja yang ia dapatkan dari program ini?

11 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENTING bel penanda selesainya ujian semester di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Manokwari, Papua Barat, telah berlalu lebih dari setengah jam. Sekolah yang sempat riuh oleh ratusan siswa pun berangsur sepi. Tinggal empat siswi berseragam batik biru yang duduk bercengkerama di salah satu sudut sekolah. Krisye Kloudia Adimin, Wakil Kepala SMAN 3 Manokwari, yang tengah berkeliling menghampiri mereka, Kamis siang, 1 Desember lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa ragu, Isye—panggilan akrab Krisye—duduk di antara para siswi. Tak terlihat kecanggungan di tengah para siswi saat Isye bergabung. Malah mereka langsung mengobrol akrab. Murid kelas XII itu rupanya tengah menunggu taksisebutan untuk angkutan umum di Manokwari—yang akan membawa mereka pulang. Di sini taksi memang tak selalu ada setiap saat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menemani para siswa yang menunggu taksi seusai jam pelajaran adalah kebiasaan Isye ketika punya waktu senggang. Ia bahkan kerap membelikan minuman dan makanan ringan untuk bekal perjalanan pulang para siswa.

SMAN 3 Manokwari, sekitar 25 kilometer arah selatan pusat kota, menjadi sekolah tujuan anak-anak yang tinggal di distrik lain. Sebagian siswa menempuh perjalanan 30-45 menit untuk mencapai sekolah. Adapun tempat tinggal Isye berjarak sekitar 2 kilometer dari sekolah. Jadi, setiap selesai jam pelajaran, ia pasti bertemu dengan para siswa yang juga hendak pulang lewat jalan raya Manokwari-Maruni.

Bukan kebetulan Isye suka bertegur sapa serta bercengkerama dengan murid-muridnya. “Belakangan, sejak mengikuti Guru Penggerak, saya memang berupaya untuk lebih akrab dengan semua siswa di sekolah,” kata Isye. Perempuan yang lahir di Minahasa, Sulawesi Utara, 36 tahun lalu, ini juga kerap tiba lebih pagi di sekolah untuk menemui para siswa. Isye adalah peserta Pendidikan Guru Penggerak angkatan kedua pada 2021. “Saya mendapat inspirasi untuk lebih dekat dengan siswa dari program itu."

•••

PERJALANAN Isye menjadi guru di Pulau Cenderawasih bermula pada 2009. Setahun sebelum lulus kuliah, ia mengajar di SMAN 2 Ratahan di kampung halamannya, Minahasa Tenggara. Setelah lulus, ia mengikuti perekrutan guru kontrak di Maybrat, yang waktu itu masih masuk wilayah Papua Barat. Ia diterima bersama 15 sarjana pendidikan lain. “Awalnya coba-coba saja,” ucap perempuan yang sebetulnya tak bercita-cita menjadi guru itu.

Hasrat Isye mengajar kian bergelora begitu ia menginjakkan kaki di Papua. Ia ditempatkan di salah satu desa yang fasilitasnya serba minim dan tanpa sinyal seluler. Tapi Isye merasa kerasan karena diterima dengan baik oleh warga setempat. Waktu itu Isye menjadi guru matematika di SMAN 1 Aifat. “Di sana saya malah mendapat banyak keluarga baru.”

Di Aifat, Isye menyaksikan langsung besarnya ketimpangan pendidikan. Bukan hanya fasilitas yang seadanya, jumlah guru di sekolah itu pun sedikit. Di sana Isye bertemu dengan siswa-siswa yang bahkan usianya jauh lebih tua. “Ada yang sudah berkeluarga, tapi mereka baca-tulis saja belum bisa.”

Demi para siswanya, Isye biasa memberikan pelajaran di luar jam sekolah. “Banyak murid yang tempat tinggalnya jauh. Mereka harus berjalan kaki dan baru sampai di Aifat sore.” Ia bahkan kerap melayani para siswa belajar di tempat tinggal mereka karena para siswa menunjukkan minat belajar yang tinggi. “Materi yang saya berikan pun disesuaikan dengan kondisi mereka.”

Satu tahun menjadi guru kontrak di tempat terpencil, Isye akhirnya berkesempatan mengikuti seleksi calon pegawai negeri di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Di sana Isye mengajar matematika sekaligus fisika di SMA YPPK Santo Arnoldus Janssen. Di kota itu pula Isye bertemu dengan pria asal Kebumen, Jawa Tengah, Bayu Guntoro, yang menikahinya sembilan tahun silam.

Isye sebenarnya sudah telanjur betah di Bintuni. "Sistem sekolahnya sudah berjalan baik, anak-anaknya juga disiplin.” Tapi dia tak menolak ketika dipindahkan ke Manokwari pada 2017. Ternyata, di tempat baru, karier Isye kian moncer. Setahun lebih mengajar, pada 2019 ia ditunjuk menjadi Wakil Kepala SMAN 3 Manokwari.

Bayu, sang suami, selalu mendukung penuh pilihan dan aktivitas istrinya. Termasuk ketika Isye mengikuti program Guru Penggerak, yang membuatnya makin sibuk saja. Beruntung, sebagai inspektur pertambangan, pekerjaan Bayu cukup fleksibel. Ia masih bisa membantu istrinya mengerjakan tugas di rumah. 

Banyak hal positif yang Isye peroleh ketika menjalani program Guru Penggerak yang diadakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Misalnya, dalam salah satu rangkaian program, yakni School Leadership Workshop bersama National Institute of Education dari Singapura, seorang kepala sekolah dari daerah lain bercerita punya kebiasaan mengobrol dengan siswa pada pagi hari. Cara itu dianggap cukup efektif untuk mengenal anak didik lebih dalam. “Dengan mengenal para siswa, kami para guru bisa jadi lebih berempati,” Isye menjelaskan.

Sebelum mengikuti program Guru Penggerak, Isye mengaku sebagai sosok guru yang disiplin dan tegas, bahkan cenderung galak terhadap murid. Ia tak segan memberikan hukuman kepada siswa yang datang terlambat ke sekolah atau tidak mengerjakan tugas. “Dulu, kalau ada anak yang tak mengerjakan tugas, saya marahi dan coret bukunya,” tutur sarjana pendidikan matematika dari Universitas Negeri Manado itu.

Melalui program Guru Penggerak, Isye juga berkenalan lebih dalam dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Yang sangat ia ingat ialah pendidikan harus berasaskan memanusiakan manusia dan memperkuat nilai kemanusiaan. “Pikiran saya jadi terbuka, bahwa mengajar itu bukan sekadar memberikan materi pelajaran," ujarnya. "Guru juga perlu mengetahui kebutuhan para murid yang bisa jadi berbeda-beda." 

•••

SELESAI mengikuti Pendidikan Guru Penggerak (PGP), Isye membuat kesepakatan belajar dengan murid-muridnya. Ia meminta para siswa menyatakan keinginan mereka dalam proses belajar serta metode dan cara penyampaian materi yang disukai. Isye kerap menanyakan pembelajaran seperti apa yang diinginkan para murid untuk pertemuan berikutnya.

Setelah mengetahui pembelajaran yang diinginkan murid, biasanya Isye akan merancang permainan sederhana. Ia kerap memakai permainan papan, seperti ular tangga atau ludo, sebagai media penyampaian materi. Dengan cara ini, murid lebih menyenangi proses belajar. “Jika mereka menyukai proses belajarnya, diharapkan mereka juga bisa lebih memahami materinya, to.”

Isye juga sering menyampaikan materi di luar ruang kelas. Misalnya di halaman sekolah yang teduh dinaungi pohon rambutan, mangga, dan jambu. Suatu kali, Isye membuat skenario bernama “pondok pinang” untuk menyampaikan materi sistem persamaan linear tiga variabel.

Dalam skenario itu, Isye membagi para siswa ke dalam empat kelompok. Mereka memainkan peran berbeda: ada yang jadi menjadi penjual pinang, ada yang menjadi pembeli. Sambil berpura-pura melakukan transaksi sirih pinang, mereka mempelajari rumus-rumus dan cara menyelesaikan persamaan. Isye memilih skenario ini karena nyambung dengan keseharian masyarakat Papua yang terbiasa mengkonsumsi sirih pinang. 

Konsep memanfaatkan lingkungan sekitar dan menyesuaikan materi pelajaran dengan konteks daerah itu juga didapatkan Isye dari PGP. Sebagai guru matematika, Isye menyadari bahwa materi pelajarannya bisa jadi tak bisa cepat dipahami. “Kalau hanya menjelaskan rumusnya, pasti para siswa sulit mengerti. Apalagi kemampuan mereka berbeda-beda.”

Krisye Kloudia Adimin bersana muridnya di SMAN 3 Manokwari, Papua Barat, 1 Desember 2022. TEMPO/Budhi Santoso

Sebelum mengikuti PGP, sebetulnya Isye sudah terbiasa membuat inovasi pembelajaran. Ia gemar mengikuti lomba inovasi guru dan sering menjadi pemenang di tingkat daerah. Namun dari program PGP-lah ia bisa mendapatkan pemahaman lebih, bahwa proses belajar-mengajar tidak mesti harus dilakukan di dalam ruang kelas. “Kalau hanya di dalam kelas, anak-anak cepat bosan.”

Maria, siswa kelas XII SMAN 3 Manokwari, menganggap materi yang disampaikan Isye lewat aneka permainan itu sangat membantunya memahami pelajaran. Apalagi, dia menjelaskan, gurunya tersebut kerap mengadakan kelas di luar ruang. “Jadi seru, tidak mengantuk.” Maria juga mengaku nyaman berbincang dengan Isye. “Saya senang mengobrol dengan Ibu, bukan hanya soal pelajaran, tapi hal lain juga.”

Apresiasi bagi Isye juga datang dari Kepala SMAN 3 Manokwari, Usman Patandean. Ia menilai Isye pantas mengemban tugas wakil kepala sekolah. “Pengalaman dia banyak, meski usianya masih cukup muda,” ucap Usman. 

Usman bercerita, ketika ia ditugasi memimpin SMAN 3 Manokwari pada 2019, banyak permasalahan di sekolah itu, dari data siswa yang separuhnya tak valid sampai persoalan kurikulum. “Saya tunjuk Isye untuk membereskan data sekaligus menangani kurikulum.”

Di luar itu, ada tugas khusus yang diberikan Usman kepada Isye: menjadi wali salah satu kelas yang dianggap bermasalah. “Di sini ada satu kelas yang semua muridnya tidak disiplin,” kata Usman. Ia meminta Isye mencari cara agar para murid bisa berubah, tak lagi berulah dan rajin masuk sekolah.

Isye pun melakukan pendekatan personal terhadap setiap anak. Ia menemui orang tua para siswa untuk mencari tahu persoalan yang dihadapi anak didiknya di rumah. Masalahnya beragam. Ada siswa yang tak lagi tinggal dengan orang tuanya, ada juga yang orang tuanya telah berpisah. Dengan pendekatan itu, para siswa di kelas yang ditangani Isye pun mulai berubah. Mereka menjadi lebih rajin bersekolah.

Selain berdampak positif terhadap para siswa, Usman menilai, kehadiran Isye di sekolah membantu guru-guru lain untuk lebih inovatif dalam menyampaikan materi pelajaran. “Dia kerap jadi motivator dan tempat berkonsultasi guru lain, terutama setelah dia mengikuti program guru penggerak.”

Usman pun merasakan ada perubahan berarti di sekolahnya. Para guru juga kian kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran. Citra SMAN 3 Manokwari yang awalnya dikenal sebagai sekolah pinggiran berubah. “Dulu warga sekitar bahkan enggan menyekolahkan anaknya di sini. Tapi sekarang minat warga untuk menyekolahkan anaknya terus naik.” Pada tahun ini, SMAN 3 Manokwari memiliki 340 siswa, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 220.

Berbagai tugas dan tanggung jawab baru tak membuat Isye mengeluh. Salah satu hal yang membuat Isye terus bersemangat membawa perubahan di sekolah ialah masa depan kedua putrinya. “Saya berupaya menjadi guru yang baik karena saya juga berharap nanti anak-anak saya dididik dengan baik oleh guru-guru mereka.”

PRAGA UTAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus