BANYAK cara menolak calon titipan dari pusat. Karna Suwanda, misalnya, Wakil Gubernur Jawa Barat, yang disodorkan Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet sebagai calon Gubernur Kalimantan Tengah, belakangan diisukan menyuap sejumlah pemimpin fraksi DPRD agar dicalonkan. Nama Karna memang ada di antara lima calon yang diusulkan DPRD Kalimantan Tengah pertengahan bulan lalu. Namun, usaha menentang pencalonan Karna bermunculan, baik dari Golkar di DPRD maupun dari tokoh masyarakat setempat (TEMPO, 27 November 1993). Mereka menginginkan jabatan gubernur mendatang dipegang putra daerah. Sebab, kata mereka, sejak lebih dari sepuluh tahun lalu jabatan gubernur provinsi itu dipegang bukan oleh putra daerah. Alasan lain penentangnya, ''Kalau pusat berkeras mengegolkan Karna, kami khawatir posisi Golkar di mata masyarakat Kalimantan Tengah akan susah,'' kata sekretaris Golkar di sana, M. Silalahi. Suara lebih keras datang dari Rektor Universitas Batang Garing Palangkaraya, Prof. K.M.A. Usop, M.A. ''Jika nama Karna masuk dalam tiga calon definitif yang disetujui pusat, kami akan melakukan unjuk rasa,'' katanya. Memang isu suap itu, antara lain, dipakai untuk mencoret nama Karna dari daftar calon yang sudah ada di meja Menteri Yogie. Disiarkan di Palangkaraya bahwa beberapa anggota DPRD provinsi itu menemui Karna di Bandung, 12 November lalu. ''Kami tak mau membeli kucing dalam karung, mencalonkan tapi tak kenal orangnya,'' kata Ketua Fraksi ABRI, Jahja Aliderus, kepada Almin Hatta dari TEMPO. Semua ketua fraksi kecuali Golkar berangkat ke Bandung. Selain Jahja sendiri, ada lagi Metropol B. Djanguk (PDI), Hedriari Fadli (PPP), dan Wakil Ketua Fraksi ABRI Kadarusman. Seluruh biaya transportasi dan akomodasi di Hotel Panghegar Bandung ditanggung Karna. Karna dan istrinya menemui anggota DPRD itu di hotel pada malam harinya. ''Waktu itu Karna mengucapkan terima kasih atas pencalonannya. Ia juga bilang mengurungkan niat bermukim di Mekah karena diminta Menteri untuk menjadi Gubernur Kalimantan Tengah,'' kata Hedriari. Namun, kemudian merebaklah isu di Palangkaraya bahwa para pemimpin fraksi itu masing-masing juga mendapat sangu Rp 5 juta dari Karna. Tentu mereka menolak isu tersebut. ''Itu fitnah. Uang Rp 5 juta itu terlalu kecil. Kalau satu miliar, saya akan pikir-pikir,'' kata Hedriari. Bantahan senada juga muncul dari Jahja, Kadarusman, dan Metropol. Selain ada isu suap, nama Karna juga disiarkan tak harum di sana. Harian Banjarmasin Post, 25 November lalu, misalnya, menuduh Karna mengantongi dana Festival Film Indonesia (FFI) 1985 di Bandung. ''Saat diadakan verifikasi keuangan panitia, Karna tak bisa mempertanggungjawabkan uang yang dikelolanya, Rp 150 juta,'' tulis koran itu, mengutip sebuah sumber di Bandung. Karna sendiri enggan berkomentar atas isu suap dan penggelapan uang itu. ''Biar saja. Isu itu tak saya pikirkan. Tidak ada pengaruhnya buat saya,'' katanya. Kepala Humas Departemen Dalam Negeri, S.A. Yusacc sebelumnya menjadi Kepala Humas Provinsi Jawa Barat, ketika Yogie menjadi gubernur juga tak mau berkomentar soal suap Karna itu. Ia hanya membantah adanya penggelapan uang FFI 1985. ''Yang benar, dalam acara itu pemerintah daerah memangkas beberapa komponen biaya yang dianggap mahal,'' katanya. Sementara itu, Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Warsito Rasman, bahkan belum melangkah untuk menelitinya. ''Kami menerima itu sebagai masukan,'' kata Warsito. Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini