PERINGATAN hak asasi manusia 10 Desember ini akan diselenggarakan dengan berbagai cara. Ada sejumlah seminar dan upacara. Yang terakhir ini tentu dilakukan oleh Pemerintah, yakni meresmikan keanggotaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi yang ditetapkan Presiden Soeharto bulan Juni lalu itu akan diketuai Ali Said, mantan Ketua Mahkamah Agung. Ia akan didampingi dua wakil ketua dan 25 anggota komisi paripurna. Komisi ini terdiri dari beberapa komisi, seperti Pendidikan dan Penyuluhan Masyarakat, Pengkajian Instrumen Hak Asasi Manusia, dan Pemantauan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia. ''Untuk pertama kali, anggota komisi paripurna diangkat oleh Presiden,'' kata Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono. Tugasnya antara lain memantau keadaan hak asasi manusia, membantu dan menasihati Pemerintah dalam pelaksanaan hak asasi manusia, meningkatkan perlindungan, dan menyebarluaskan wawasan nasional tentang hak asasi manusia. Soal biaya operasi, katanya, Sekretariat Negara yang menyediakan. ''Tapi tak berarti Setneg membawahkan komisi itu.'' Menjelang pelantikan anggota komisi, Ali Said mengaku telah menghubungi sejumlah orang. ''Pokoknya, nama-nama yang saya pilih adalah orang yang punya idealisme dalam menegakkan kebenaran,'' kata Ali Said kepada TEMPO. Sampai pekan lalu, katanya, 15 orang telah memastikan bersedia, misalnya Dirjen Pemasyarakatan Baharuddin Lopa, Satjipto Rahardjo, dan Prof. Miriam Budiardjo. Anggota komisi juga akan diperkuat oleh sepuluh tokoh lembaga swadaya masyarakat. Dengan komposisi pejabat dan mantan pejabat pemerintah, akademisi, dan swasta, katanya, komisi ini diharapkan bisa independen. Adakah komisi akan menentukan sikap untuk peristiwa berdarah yang telah lewat seperti Dili, Lampung, dan Sampang? ''Sebaiknya menatap ke depan saja,'' kata Moerdiono. ''ABRI juga tak ingin menembak. Apa dikira enak menembak orang.'' Jenderal yang baik, katanya, adalah yang berhasil menghindari perang. Dan Ali Said sendiri, yang pekan lalu menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana, mengaku telah mendapat lampu hijau untuk bersikap independen. ''Saya sudah diberi 'jimat' oleh Presiden Soeharto. Beliau bilang, tak usah rikuh pekewuh dalam menegakkan kebenaran,'' katanya. Dan para anggota, seperti Satjipto Rahardjo, ahli hukum pidana Universitas Diponegoro, Semarang, mengaku bersedia menjadi anggota karena jaminan independen itu. ''Paling tidak, komisi ini bisa menjadi pusat dinamika hak asasi manusia di Indonesia,'' katanya. Namun, orang luar, seperti ahli hak asasi manusia Todung Mulya Lubis, menyanksikan kemandiriannya. Sebab, komisi ini dibentuk berdasarkan keputusan presiden dan dananya pun dari Pemerintah. ''Saya tak yakin sebuah fact finding yang dibentuk dan dibiayai Pemerintah bisa bebas dan otonom,'' katanya. Menurut Mulya, yang mengaku sempat ditawari menjadi sekjen, semestinya para anggota komisi terdiri dari orang-orang nonPemerintah. Agus Basri, Andi Reza Rohadian, Leila S. Chudori, dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini