Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Terpeleset pelesetan SDSB

Seorang pengunjuk rasa SDSB ditahan karena mengedarkan stiker pelesetan SDSB. ia dituduh menghina kepala negara atau subversi?

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA demonstran SDSB boleh merasa sukses. Unjuk rasa mereka ujung-ujungnya adalah pencabutan izin peredaran lotere berhadiah semiliar itu. Lain halnya dengan nasib pengunjuk rasa Nuku Soleman. Sehari setelah Pemerintah mengumumkan ''stop SDSB'' 25 November lalu, ia justru dijemput polisi. Karena demo SDSB? Ternyata bukan. Ketua Yayasan Pijar, yang ikut demo di depan gedung DPR ketika Menteri Sosial Inten Soeweno tengah mengadakan dengar pendapat dengan Komisi VIII itu, diciduk polisi karena mengedarkan stiker. Dan stiker berwarna putih dengan tulisan hitam yang memelesetkan kepanjangan SDSB itu, menurut polisi yang memeriksanya, merupakan ''penghinaan bagi kepala negara''. Semula Nuku tak sendirian di sel polisi. Empat mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sempat ditangkap basah karena mereka memegang dan menempelkannya di beberapa mobil. Mereka adalah Abdul Rasyid, Abdul Malik, Cecep, dan Jubair Hasan. Dari tangan keempatnya polisi menyita 10 stiker. Baru semalam menginap di tahanan polisi Jakarta Pusat, mereka dijemput Quraish Shihab, Rektor IAIN. Mereka dilepas dengan jaminan rektornya dan berjanji akan membantu polisi untuk melacak pelaku utamanya. ''Mereka tak bertanggung jawab langsung atas penyebaran stiker itu,'' ujar juru bicara Polda Metro Jaya, Letnan Kolonel Latief Rabar. Nuku, 29 tahun, akhirnya diciduk polisi Jumat dinihari, 26 November. Artinya, ia dianggap melanggar KUHP pasal 134 dan 136 dan diancam hukuman 6 tahun. Namun, boleh jadi ancaman hukumannya lebih berat. Paling tidak menurut seorang jaksa senior di Kejaksaan Tinggi Jakarta, perbuatan Nuku mungkin saja bisa digolongkan tindakan subversi yang hukumannya lebih seram, seumur hidup atau mati. Dua macam tuduhan itu tentu ditolak tim pembela Nuku dari LBH Jakarta. Menurut Hendardi, yang juga mengirim siaran pers ke berbagai media massa, jangankan pasal subversi. Dua pasal lainnya yakni menghina kepala negara yang ancaman hukumannya relatif lebih ringan itu pun sudah ketinggalan zaman. ''Itu bertentangan dengan semangat negara berbentuk republik yang merdeka,'' katanya. Sebab, kata Hendardi, yang juga Direktur Komunikasi dan Program Khusus YLBHI itu, kedua pasal itu dibuat untuk melindungi martabat raja Belanda. Belanda sendiri kini sudah mencabut peraturan itu. ''Semua tuduhan terlalu mengada- ada,'' ujarnya. Sementara itu, ahli hukum pidana UI, Loebby Loqman, memandangnya terlalu jauh bila perbuatan Nuku dikategorikan sebagai tindak subversi. ''Subversi kan harus ada latar belakang politiknya. Apa mungkin tindakan dia bermaksud meruntuhkan negara,'' katanya. Loebby menganggap alasan polisi memeriksa sudah tepat walau harus dibuktikan lebih lanjut. ''Apakah benar perbuatan itu merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik,'' katanya. Didengar atau tidak desakan LBH atau ahli hukum yang lain, nyatanya polisi terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap Nuku. Dan polisi hampir sampai pada taraf kesimpulan bahwa pelakunya adalah Nuku seorang. Hal itu didapat polisi setelah mempertemukan pernyataan Nuku dan pengusaha percetakan stiker di Jalan Pramuka, Jakarta. Menurut si pengusaha, seperti diungkap polisi, Nuku sendirilah yang memesan stiker ''SDSB'' itu. Keterangan polisi ini tentu dibantah Nuku. Mahasiswa tingkat akhir jurusan ilmu politik di Universitas Nasional itu mengatakan bahwa ada seseorang yang mengirimi stiker itu untuk dibagi-bagikan. Namun, kepada polisi, ia mengaku tak tahu siapa si pengirim. Nuku sendiri, ketika ditemui TEMPO di ruang tahanan polisi Kamis pekan lalu, menolak memberikan keterangan. ''Tanyakan saja pada pengacara saya,'' kata pemuda berbadan tegap yang pekan lalu melangsungkan pernikahannya di kantor polisi.Andy Reza Rohadian, Taufik T. Alwie, Bambang Sujatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus