Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah-Kisah Klaten

Tokoh-tokoh Parmusi Klaten Marzuki Mahdy, 42, Harun al Rasyid, 30 th, dan M Yunus Kadir, 30, ditangkap dan ditahan di Semarang. Marzuki Mahdy, lurah desa buntalan, dituduh menyimpan senjata gelap.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBAWAH Bupati Soetijoso jang tahun lalu dihadiahi Presiden sebuah bintang berita dari Klaten lazimnja hanjalah berita pembangunan. Tapi soal pemilihan umum menjibukkan orang disana djuga achirnja. Penangkapan Ketua Umum Wilajah Djawa Tengah Suratman (TEMPO 5 Djuni) disertai djuga penangkapan Drs. H. Marzuki Mahdy, 40 tahun, Harun al Rasjid, 36 tahun dan M. Juni Kadir, 30 tahun. Semuanja dari Klaten dan semuanja tak terlepas dari perkara Pemilu. Paling tidak dalam situasi seperti sekarang soal begitu mau tak mau akan ditanggapi demikian. Barangkali sebabnja karena antara tuduhan dengan riwajat orang-orang Partai Muslimin jang ditangkap dirasa ada sedikit teka-teki. Marzuki Mahdy ditangkap, konon karena menjimpan beberapa sendjata gelap. Pembantu TEMPO Bambang Soebendo menulis bahwa Marzuki memang beberapa tahun jang lalu disebut-sebut Mingguan Chas dalam hubungan dengan Affair Kozek 2 tahun jang lalu --peristiwa sekitar seorang petugas Tjekoslowakia jang dituduh mendjual sendjata kepada orang-orang Indonesia. Bersamaan dengan razia sendjata gelap di Djawa Tengah baru-baru ini, jang kabarnja berada dibeberapa rumah orang tapi kemudian djuga dikatakan berada dirumah-rumah orang lain, tuduhan terhadap Marzuki Mahdy tak terlalu luar biasa. "Ada 16 sendjata gelap jang diselundupkan ke Klaten", kata Majdje Widodo dilapangan Adisutjipto sesaat sebelum memasuki pesawat setelah mengantar Menteri Amir Machmud ke Klaten baru-baru ini. Baru ada 5 jang diketemukan, dan konon "mungkin sekali itu warisan Kozek. Sogok. Tapi disebelah soal tuduhan, sendjata, Bupati Soetijoso mengungkapkan pula soal lain tentang Marzuki Mahdy -- lurah desa Buntalan, jang pernah djadi pembantu sang Bupati sendiri. Menurut Bupati, Marzuki Mahdy pernah menerima uang suap sebesar Rp 123 djuta dari Drs. Soeharto -- itu Ketua Parmusi Ranting Polanhardjo jang dikabarkan sebagai "PKI malam" jang melakukan infiltrasi. Dengan uang sogok sebanjak itu Soeharto berhasil djadi Ketua Ranting Parmusi dan sekaligus Direktur SMEA Batik di Sala. Meskipun demikian, bagi orang-orang Parmusi di Klaten tuduhan terhadap Marzuki Mahdy sulit untuk ditelan "Tuduhan terhadapnja sebagai penjimpan sendjata gelap dan menjiapkan pemberontakan adalah bikin-bikinan sadja" kata Wijono, Ketua Komite Aksi Pemilihan Umum Parmusi Anak rjahang Buntalan Klaten kepada Hermansjah dari TEMPO. "Benar Marzuki punja sendjata tapi sendjata jang sah", tambahnja. Sementara itu seperti jang ditulis Thojib Djumadi untuk TEMPO beberapa hari tentang riwajat hidup Marzuki Mahdy memang menarik. Dia salah seorang terkaja didaerah itu, bekas lasjkar Hisbullah ditahun 1945, bekas anggota DPRD Fraksi Masjumi, dan meskipun amat dekat dengan Parmusi, sebagai lurah Buntalan ia menandatangani pernjataan monolojalitas Kokar-mendagri. Sedang Harun al Rasjid adalah guru SMA Muhammadijah jang djadi pedjabat lurah Kauman dan Junus Kadir anggota pengurus Anak Tjabang Parmusi Polanhardjo. Bagaimana hubungan mereka dengan Drs. Soeharto? Hermansjah melaporkan: "Mulanja penguasa menolak hak pilih Drs. Soeharto, sebelum ia ditahan 7 bulan jang lalu. Harun al Rasjid membelanja -- ia tak tahu bahwa Soeharto dulu bekas aktivis IPPI. Parmusi setempat djuga minta bantuan Marzuki Mahdy untuk membela hak Soeharto, tapi Marzuki jang berhubungan luas dengan pedjabat-pedjabat setempat tak bersedia membelanja. Sepatu. Aneh atau tak aneh, sampai kini ketiga orang itu masih ditahan di Semarang. Tapi mereka boleh bertemu dengan keluarga dan orang-orang Parmusi diizinkan mendjenguk mereka. Sementara setjara umum permukaan Klaten nampak tenang. Dipermukaan djuga hubungan antara Bupati dan para tokoh Parmusi nampak baik. Ketjuali satu insiden ketjil. Beberapa djam setelah terdjadi penangkapan-penangkapan diatas, Bupati mengundang pimpinan Parmusi untuk berkonsultasi. Saking tergesa-gesanja, seorang Parmusiwan lupa pakai sepatu dan datang tjuma bersandal. "Bupati nampaknja tak enak dengan soal itu". tulis Bambang Subendo, "dan dalam beberapa pidatonja ia selalu menjinggung perkara itu". Tapi tak lama. Pada pertemuan berikutnja sang Bupati pun chusus menjiapkan seolang tukang sepatu untuk sang tokoh Parmusi -- jang ternjata kali ini datang dengan rapi dan bersepatu. Gelak tertawapun terdengar. "Kalau pak Bupati mau memberikan sepatu, saja terima kasih", kata si Parmusiwan. Tapi nampaknja Pemerintah Daerah Klaten tak akan mendistribusikan sepatu buat parpol-parpol, sebab mereka sudah terima uang Rp 100.000 masing-masing buat ongkos kampanje.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus