Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Korban Gempa Lombok yang Tinggal di Pengungsian

Syarif mengungkapkan, sejak gempa Lombok yang pertama pada 29 Juli lalu, dia bersama para tetangga masih tinggal di pengungsian.

9 Agustus 2018 | 08.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang wanita memasak di tenda penampungan sementara korban gempa di Lombok, 8 Agustus 2018. Sebanyak 42.239 unit rumah dan 458 sekolah dinyatakan rusak akibat gempa Lombok. AP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Syarif, 32 tahun, warga Dusun Lenah Galung, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, hanya bisa pasrah menyaksikan rumahnya hancur akibat gempa Lombok berkekuatan 7 pada skala Richter, Ahad lalu. “Saya berjalan 3 kilometer dari tempat berdagang di Pelabuhan Bangsal bersama istri dan anak. Begitu tiba, sudah hancur,” kata pedagang kebutuhan wisatawan itu kepada Tempo, Rabu, 8 Agustus 2018.

Baca: Gempa Lombok, BNPB Duga Masih Banyak Korban di Reruntuhan Masjid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syarif mengungkapkan, sejak gempa besar pertama yang berkekuatan 6,4 skala Richter pada 29 Juli lalu, dia bersama para tetangga masih tinggal di pengungsian. Penduduk terpaksa bertahan di pengungsian lantaran takut berada di dalam rumah. Warga Dusun Lenah Galung menghuni dua tenda berkapasitas masing-masing 10 orang. Padahal ada sedikitnya 44 keluarga yang mengungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syarif memilih mengungsi di Desa Sokong yang letaknya lebih tinggi agar terhindar dari tsunami. Soalnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan gempa yang mengguncang Pulau Lombok tersebut berpotensi tsunami. Kenaikan air laut memang sempat terjadi di perairan Lombok setinggi 10-13 sentimeter.

Baca juga: BNPB: H+3 Gempa Lombok Masuk Masa Kritis Evakuasi Korban

Menurut Syarif, para pengungsi berada dalam keterbatasan. Mereka kesulitan berkomunikasi melalui telepon seluler. Listrik juga masih padam. Begitu pula bantuan logistik, tidak tersalurkan hingga ke Desa Sokong. “Makanan siap saji dan selimut habis dihadang warga desa lainnya. Kalau malam, kami kedinginan dan anak-anak kami banyak yang sakit,” tuturnya.

Warga Dusun Torean, Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Hero Sahruyakin, mengungkapkan masih ada ratusan orang dari desa tersebut yang mengungsi di perbukitan. Tak hanya mengalami masalah listrik, para pengungsi kesulitan mendapatkan air bersih. Kondisi serupa dialami warga Desa Anyar, Kecamatan Bayan. “Saat malam, kami mengandalkan genset, tenaga surya, dan lampu isi ulang,” ujarnya.

Baca: BNPB Menilai Perbedaan Data Korban Gempa NTB Lumrah

Hero berujar, hingga Rabu siang, 8 Agustus 2018, tak ada bantuan makanan yang diterima pengungsi korban gempa Lombok. Padahal bantuan itu sangat dibutuhkan karena stok bahan makanan yang dibawa pengungsi kian menipis. Tak hanya itu, ia mengimbuhkan, warga juga butuh bantuan selimut untuk menghalau dinginnya udara perbukitan.

AKHYAR M. NUR | DANANG FIRMANTO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus