Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kisah Masjid Seribu Pintu

Muhadi alias Ahmadi, mendirikan masjid yang dikenal "masjid seribu pintu" di Kampung Bayur Tangerang. Diisukan beraliran sesat.

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jauh, tampak Kampung Bayur ini sedang membikin semacam Dunia Fantasi--itu proyek rekreasi anak-anak di Ancol, Jakarta. Bangunan dari bata yang belum dipoles berdiri tegar dan tampak terbengkalai. Dua menara masih belum dibikin tubuhnya lebih tinggi. Inilah yang disebut orang Masjid Seribu Pintu, yang diberitakan beberapa koran sejak awal bulan ini sebagai masjid aneh dan yang, diasumsikan, berhubungan dengan aliran sesat tertentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan ini didirikan di tanah 2.500 m2 yang dihabiskan semua. Di sisi depan hanya ada dua pintu yang ukuran masing-masingnya 1 x 1,75 meter, kira-kira. Orang-orang tertentu terpaksa menunduk melewatinya. Masuk sekitar dua meter ke dalam, jalan akan menikung ke kiri, lalu gelap. Tampak bayang-bayang petak seluas 1 x 1,5 meter, dengan pintu bermodel lengkung tanpa daun. "Hanya orang yang hafal betul bisa tahu jalanan di sini. Orang sini saja masih jarang yang hafal," kata Sinan, 32, penduduk Bayur, Desa Priok, Kecamatan Jatiuwung, Tangerang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinan mengantar beberapa pengunjung yang pingin tahu, dengan senter yang harus dibelikan baterei oleh tamunya. Makin ke dalam makin gelap. Jalanan makin sempit, hanya sebatas badan berjalan miring. "Aneh, di dalam sini justru dingin, tidak pengap," terdengar suara seseorang. Kemudian rombongan kecil itu sampai ke sebuah kolam yang bentuknya mengesankan sebuah arena Yunani atau Romawi. Ada undak-undakan untuk penonton, layaknya. Di sini cahaya terang-benderang--tapi hanya karena atap belum dipasang, dinding pun belum komplet. Ini nanti bahkan akan menjadi bagian tengah masjid.

Lalu, kita masuk sebuah ruangan yang menyerupai tempat pembakaran kemenyan. Di sini terdapat lukisan sebuah istana, mirip istana boneka di Dunia Fantasi Ancol, dihiasi tulisan Arab. Ada basmalah, ada Asmaul Husna (nama-nama indah Allah) dan segala macam, ditulis kecil-kecil dengan warna hijau, merah, dan hitam. Ada sebuah lampu antik dari kuningan. Lalu, di sebelahnya, ada ruangan yang digelari tikar plastik. Orang menyangka ada ular melingkar. Tidak. Ternyata, sebuah tasbih raksasa, tiap butirnya masing-masing berukuran melebihi bola tenis dan juga diukiri Asmaul Husna yang 99 itu. Untuk memutar tasbih ini digantungkan sebuah kerekan.

Keluar dari sini, ada kolam kecil dari porselen. Belum jadi. "Orang-orang saja yang menyebut masjid ini berpintu seribu. Saya sendiri tak pernah menghitung," kata Muhadi alis Ahmadi, pemimpin mereka seperti ditirukan seorang pengikut. Belum ada aktivitas di masjid ini, yang nantinya akan terdiri dari tiga atau malah lima tingkat, dengan tingkat dua untuk salat jemaah. Hanya, kadang-kadang di malam Jumat ada tawassulan (satu macam upacara tarekat), menurut Sanur, 45, RW di Bayur, yang mengaku bukan pengikut.

Orang Kampung Bayur yang jumlahnya sekitar 50 kk ini pun tak semua menjadi pengikut Muhadi alias Ahmadi alias Madi Kedung itu. "Pengikutnya malah banyak dari luar Tangerang," kata Drs. H.M. Syatibi Muchtar, Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Tangerang. Muhadi sendiri, 43, anak yatim pada usia delapan tahun, berasal dari Rawabokor, dekat Bandara Soekarno-Hatta. Tiga tahun lalu ia tergusur airport, lalu resmi pindah ke Bayur dengan ibunya. Di sini ia, yang bekerja sebagai penjahit, tak menampakkan kegiatan sebagai tokoh agama, kecuali mengajar mengaji anak-anak penduduk yang umumnya buruh tani itu. Sampai kemudian ia kawin dengan gadis Sangiang, Gebang Raya. Muhadi dikenal hanya mengaji pada Habib Abbas, dulu.

Tapi menurut Karim, ayah tiri Muhadi, sesudah dari Habib itu ia pindah ke pesantren-pesantren Tigaraksa-Balaraja dan Cilongok, dua-duanya di Tangerang. Muhadi sendiri, belakangan, kepada TEMPO menyatakan sempat menikmati pendidikan SD hanya sampai kelas II, setelah itu ke pesantren. "Namun Alfaqir (demikian ia membahasakan dirinya) hanya mengharap berkah Guru." "Alfaqir sudah lama menjalani hidup sufi. Berpuasa tak makan nasi sudah 30 tahun. Pernah pula berpuasa tak bicara sama sekali, di tahun 1980," tutur M. Natsir, pengikutnya sejak delapan bulan lalu.

Natsir berasal dari Riau. Habib Abbas mengakui, Muhadi pernah berguru kepadanya. "Tapi hanya sebentar. Ia dulu rambutnya gondrong, lalu saya suruh potong. Ia mau. Dia dulu suka minum," katanya di rumahnya di Rawabokor, dekat tol airport. "Dia memang pernah bilang kepada saya kalau mau bikin masjid. Saya bilang: siapa yang mau pegang itu masjid? Ente.... Saya tahu siapa dia," tutur Habib yang dianggap keramat orang-orang sekitarnya itu. Tapi, benarkah Habib merestui cara Muhadi? Laki-laki 67 tahun itu menyangkal. "Dia sudah menjadi setan," katanya. "Jangan pergi ke sana, deh. Lebih baik ke makam Luar Batang saja. Di tempat Muhadi suasananya sudah diliputi setan dan cari uang."

Menurut Natsir, yang dibawakan Muhadi itu tarekat Qadiriyah wannaqsabandiyah. Tarekat yang dinilai sah. Sebuah sumber di Kesra Pemda Tangerang, yang juga pernah bertatap muka dengan Muhadi, menyebutkan bahwa cara sembahyang orang itu seperti kita ini. "Hanya, kalau salat ia pakai jubah hijau dan pakai igal, seperti orang Arab." Muhadi mengatakan masjid itu dibangunnya berdasarkan ilham, kata sumber itu. Petak-petak sempit itu diperuntukkan bagi para ikhwan--sebutan sesama jemaah--untuk melakukan wirid maupun tidur.

Diakui petugas Pemda itu, Muhadi membangun masjidnya lebih banyak malam hari: sumbangan banyak tiba waktu malam, dan ia tak mau menunda memakainya hingga esok. Tapi menurut pengikutnya, "pekerjaan malam itu akan memunculkan cahaya Allah. Ia tampak seperti petasan yang memuntahkan cahaya," kata Natsir. Bisa dilihat? "Tentu tidak--kecuali oleh orang-orang tertentu," ujarnya Jumat siang--tanpa bersembahyang Jumat, agaknya, karena ia baru saja bangun di masjid itu.

Kata Syarbini Mukhtar yang tadi, Kakandepag Tangerang, dari beberapa berkas yang ia terima dapat disimpulkan ajaran Muhadi sebangsa tarekat yang mengutamakan tawassul. "Tapi keterlaluan. Masa dalam doa tawassul juga disebut Raja Mojopahit, Raja Siliwangi, dan Sang Hyang macam-macam. Juga nama-nama wayang. Apa hubungan tokoh wayang dengan Nabi Muhammad?" Diakuinya, hingga sekarang tak ada keresahan dari masyarakat sekitar. "Apa karena takut, saya tak tahu. Sebab, katanya ada yang mem-backing Muhadi." Yang jelas, di antara pengikutnya memang ada bekas tahanan Kodim juga ada nama haji-haji dari Rengasdengklok dan Banten. "Ini masih kami teliti."

Di Bayur maupun Sangiang, tokoh Muhadi rupanya didukung. Jalan menuju rumahnya di Sangiang dipasangi lampu oleh masyarakat setempat. Setiap orang yang datang ke musalanya yang tiga tingkat (sekitar 12x12 m, di Sangiang) selalu dapat minyak wangi dan dijamin terkabul cita-citanya. Musala itu bagian pertamanya juga terdiri dari petak-petak kecil yang gelap. Di ruang tamu, ada tiga lukisan istana megah impian Muhadi. Lalu, tertulis, Muhadi min Karamatillahi, Empang Nurul Yaqin, Rawabokor, Bayur, Tangerang, dalam huruf Arab. Namanya Muhadi, berkat keramat Allah, d/a Masjid Nurul Yaqin, Empang, berasal dari Rawabokor, pindah ke Bayur, Tangerang. Ini menurut tafsiran orang situ.

Dalam gambar istana itu ada tiga pintu yang ditulis: shalat lail (salat malam) shalat tahajjud, shalat istikharah. Ada juga syair-syair bahasa Indonesia yang ditulisnya dengan mengikuti dasar syair Arab (nadzam), yang menyatakan diri Muhadi semacam wali. "Beliau itu seperti Walisongo, kalau kita nonton filmnya. Bekerja sendiri," kata Natsir, yang menyamakan pembangunan Masjid Nurul Yaqin, Bayur, dengan masjid rintisan para wali di Demak dulu. Ini dibuktikan dengan masjid seluas seperempat hektar yang dibangun tanpa fondasi itu.

Mendengar pembangunan tanpa fondasi, Bupati Tangerang, H. Tajusshabirin, serta-merta minta aparat PU ikut meneliti. Tapi menurut Muhadi sendiri, di Musala Nurul Hidayat yang di Sangiang itu, yang juga menjadi tempat tinggalnya, tak benar bangunan masjid itu tak memakai fondasi walaupun, menurut kesan TEMPO, mungkin juga tidak di seluruh bagian. Lain dari itu, proses pembangunan masjid itu memang unik--sepanjang pengakuan sang pemimpin. Misalnya, rencana bangunan pertama hanya diwujudkannya pada sebuah tampah (nyiru), dengan kapur tulis. "Alfaqir membangun sendirian sampai satu tahun. Beli semen satu kilo, pasir satu ember, sampai seperti sekarang bisa beli satu Colt, dan lain sebagainya," kata ayah seorang anak ini.

Itu bermula di tahun 1983, ketika Muhadi membenahi tanah 100 m2 milik almarhum orangtuanya di Bayur itu, mulai membangun terus-menerus (selalu hanya bagian bawah), dan akhirnya orang-orang menambahkan tanah-tanah sekitarnya dan membantu. "Alfaqir tak punya apaapa. Yang dimakan Alfaqir hanya kelebihan sumbangan orang. Baju ini dikasih orang. Lebaran kemarin ada hadiah 60 baju, semua Alfaqir berikan kepada orang. Alfaqir sendiri pakai baju bekas saja," katanya. Di ruang bawah musala itu ada gudang beras, untuk menjamu para tukang dan tamu. "Sekarang sedang kosong. Baju istri Alfaqir sendiri orang yang ngasi," katanya. Lalu ia menangis. 

Malam Jumat ini, di Sangiang tepat waktu tawassulan. Muhadi sendiri hanya tertawa jika ditanya apakah alirannya sebuah tarekat. "Alfaqir hanya orang bodoh. Banyak berpikir takut salah, katanya. Muhadi bernyanyi, membaca nazam-nazam pujian, membaca salawat Nabi, serta menggumamkan bahasa yang tak dimengerti--mirip bahasa Persia atau bahasa yang ngawur. Tangannya ia angkat, bola matanya naik-turun. Ia mengenakan serban hijau dan baju bersaku bawah hijau muda. Di sakunya terdapat obeng tes listrik, di tangannya buku Quran Juz 'Amma. "Modal Alfaqir hanya ini," katanya, sambil menunjuk Juz 'Amma yang sudah ditambal-tambal. "Alfaqir lebih suka dipanggil Alfaqir, sebab Alfaqir ini orang yang hina, yang fakir, tak punya apa-apa," katanya. Lalu ia menangis.

Apakah Alfaqir masih keturunan Sultan Hasanuddin? "MasyaAllah. Alfaqir ini orang biasa," katanya. Lalu menangis. Tapi M. Natsir sangat mempercayai hal itu. Berkali-kali di musala ini dibacakan Fatihah buat Nabi, Syaikh Abdul Qadir Jaelani, dan Raden Rahmat Sunan Ampel. Tak ada Fatihah buat Siliwangi dan sebagainya. M. Natsir berkisah, ada beberapa orang yang melihat di musala "wali" itu tiga singa, warnanya sama belangnya. "Ada juga yang melihat pembangunan masjid di Bayur dilakukan orang-orang berserban malam hari." Muhadi tidur hanya di dipan semen. "Ini tempat tidur Alfaqir," katanya. Anak istrinya sendiri tinggal di rumah mertua Muhadi.

Di ruang musala ini, tempat ia menerima tamu, terpajang lampu dengan patung dua naga kecil. "Ini penjelmaan Malaikat Jibril," kata Natsir, buruh pabrik besi itu. Menurut Muhadi, "Ini hiasan lampu biasa." Natsir yakin, naga itu satu-satunya di Jawa. Beberapa orang peserta tarekatnya mulai berdatangan. Juga intel-intel dari Kepolisian Tangerang. Beberapa orang jemaah mencium tangannya. Ya Rabbi bil Musthafa....Balligh maqashidana...Puji-pujian ini dilagukan bersama-sama. Suasananya dingin. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis oleh Musthafa Helmy. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kisah Masjid Seribu Pintu"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus